Oleh: NAZIL MUHSININ
Penulis adalah Direktur The Cibinong Center
Data empiris banÂyak membuktikan, hengkangnya elite politik dan pertiÂkaian internal parÂtai lazimnya dilanjutkan dengan pembentukan partai baru, kareÂna kepentingan personal di kalanÂgan elite politik selalu cenderung dipasifkan dengan membentuk partai baru untuk melawan keÂpentingan kolektif yang ada.
Disebut kepentingan perÂsonal, jika berpolitik hanya sekadar mencari posisi dalam kekuasaan. Misalnya, jika posisi kekuasaan berskala nasional suÂlit diraih, maka akan mengincar posisi kekuasaan lokal. Dan, data empiris membuktikan, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berÂhasil memenangi pilpres dua kali setelah melahirkan Partai DeÂmokrat. Keberhasilan SBY terseÂbut tampaknya menjadi spirit bagi kalangan elite untuk mengiÂkuti jejaknya.
Sedangkan yang disebut keÂpentingan kolektif partai adalah berbagai hal terkait upaya memÂbesarkan partai agar menjadi partai yang berkuasa sehingga banyak posisi kekuasaan nasional dapat dibagi-bagi. Dalam hal ini, elite politik yang tetap setia memÂbesarkan partainya pasti beramÂbisi menjadi pemimpin nasional atau minimal menjadi menteri.
Kini, kepentingan personal versus kepentingan kolektif layak diprediksi akan semakin mengkristal. Bersamaan dengan itu, syahwat politik tokoh-tokoh muda cenderung akan menggeleÂgak, sehingga kemungkinan besar akan ada partai baru lagi di negÂeri ini. Misalnya, jika tokoh-tokoh muda dalam parpol-parpol besar merasa perkasa dan akan lebih perkasa di luar setelah berkolabÂorasi dengan tokoh-tokoh muda dari partai lain yang sama-sama memiliki syahwat politik yang beÂsar, bukan mustahil mereka akan membentuk partai baru.
Karena itu, sejak reformasi banyak parpol baru bermunculan dari tubuh parpol lama atau dari tubuh ormas. Sedangkan ideologi parpol-parpol baru tidak berbeda dengan ideologi parpol-parpol lama. Demikianlah fenomena politik pasca reformasi yang tamÂpaknya akan terus berlanjut.
Parpol baru biasanya meruÂpakan pecahan parpol lama. Bahkan, ada satu parpol yang pecah dan kemudian pecahannya menjadi beberapa parpol baru. Dan seperti biasanya, perpecaÂhan parpol dimulai dari konflik internal. Sedangkan biang keladi konflik internal bisa saja hanya perasaan kecewa atau sikap egois sejumlah petingginya yang melÂuas di kalangan akar rumput.
Calon Presiden
Sudah menjadi tradisi bahwa parpol-parpol akan pecah jika ada lebih dari satu pengurusnya yang berambisi menjadi calon presiden. Tradisi ini berdasarÂkan kecenderungan politik naÂsional yang secara umum selalu diramaikan oleh munculnya elite yang ambisius.
Diakui atau tidak diakui, banÂyak elite politik ambisius yang lebih senang menjadi ketua partai baru dan menjadi calon presiden daripada menerima nasib selalu menjadi pecundang di dalam parÂtai lama.
Sikap ambisius di kalangan elite politik nasional sulit direÂdam jika umur mereka masih relatif muda. Dalam hal ini, usia muda bagi elite politik nasional dianggap memiliki magma politik yang bisa mengalami hiperbolÂisasi. Artinya, masa depan elite politik berusia muda bisa cerah jika didukung keberanian untuk mencoba-coba mendirikan partai baru yang memposisikan dirinya sebagai calon presiden.
Selain itu, sikap ambisius dalam berpolitik bagi tokoh-tokoh muda dianggap bukan hal yang negatif, bahkan dianggap berpoÂtensi sangat menguntungkan bagi masa depannya. Misalnya, dariÂpada selalu menjadi pecundang di partai lama, lebih baik mendiriÂkan parpol baru untuk menjadi calon presiden dan jika gagal menjadi calon presiden akan berÂpeluang menjadi menteri.
Lebih gamblangnya, jika mendirikan parpol baru dan berÂhasil masuk 10 besar maka peluÂang direkrut sebagai partai koalisi terbuka lebar. Jika sudah demikiÂan, kursi menteri akan mudah diraihnya.
Peluang Menang
Jika parpol baru dibentuk oleh sejumlah figur dari berbagai latar belakang profesi dan status kemungkinan akan berpeluang menang pemilu atau menjadi parÂpol besar. Sedangkan parpol-parÂpol baru yang dibentuk sejumlah elite politik yang ‘murtad’ dari satu parpol akibat konflik interÂnal, kemungkinan akan menjadi parpol gurem atau bahkan tidak memenuhi syarat untuk dapat mengikuti pemilu.
Untuk saat kini, kemungkinan di atas cukup logis, karena karakÂter politik nasional kita memang masih ditentukan oleh pesona figur daripada ideologi. Dengan kata lain, semakin banyak figur yang menarik di jajaran penguÂrus parpol baru akan membuat parpol baru semakin menarik di mata rakyat, karena rakyat tidak lagi terpesona terhadap ideologi.
Bahkan dalam praktiknya, perkembangan politik nasional seÂmakin mengalienasi ideologi, denÂgan bukti hampir semua partai meÂmiliki anggaran dasar atau anggaran rumah tangga (AD/ART) yang seraÂgam. Ibarat objek yang dikloning, semua partai politik di Indonesia berwajah serupa dan berperilaku sama yang berbeda hanya nama-namanya saja. (intennadya)
sumber : suarakarya.id