SEBAGAI “guru pencurigaâ€, Nietzsche dengan filsafatnya menelanjangi motif-motif tersembunyi di balik fanatisme. Dan kerap kali kesucian agama hanya jadi topeng bagi jiwa-jiwa yang gelisah dan takut.
Genealogi artinya pencarian asal-usul pohon keluarga. Nietzsche memakÂnai secara khusus genealogi sebagai pencarian moÂtivasi terdasar seseorang. Dalam Genealogi Moral I, § 13, Nietzsche menggambarkan proses lahirnya fanatisme kaum budak bermental gerombolan. Alkisah seekor Domba dimangÂsa si Elang. Para Domba menjadi resah, marah dan benci kepada Elang. “Apa salah kami, kenapa kami yang disasar ?,†gerutu para Domba. Si Elang yang kuat dinilai “jahatâ€. Para Domba mengunyah-unyah dendam tanpa daya. Mengapa? Karena meskipun bersatu menggalang kekuatan, para Domba tetaplah Domba. Mereka tak mampu menjangkau Elang. Mereka penuh bara kesumat, tanpa tahu harus berbuat apa.
Padahal rasa dendam menuntut pelampiasan. DenÂdam membara tanpa solusi akan merusak dan menghancurÂkan para Domba yang defakto hidup dalam kekalahan. Karena membalas keluar tak mampu, maka dendam masuk ke dalam, memunculkan nilai baru serba ideal penuh asketisme (Georges Morel, Nietzsche: Introduction à une première lecture, Paris: Aubier, 1985, hlm. 309).
Para psikolog modern meÂnyebutnya sebagai self defense mechanism. Demi survival, maÂnusia selalu mencari penjelasan atas situasi yang menimpanya. Dan manusia tak mau merasa salah, apalagi kalau kondisinya sedang kalah. Ia perlu menÂemukan “alasan pembenaran†supaya kelamnya eksistensi bisa ia tanggung.
Domba ingin membalas, namun tak bisa. Maka ia menÂcari cara lain: ia menciptakan nilai-nilai yang membuat merÂeka merasa setara bahkan lebih hebat daripada Elang. “Kawan-kawan, kita tidak akan membaÂlas dendam pada Elang. Kalau membalas, apa bedanya kita dengan si Elang? Kita kan jadi jahat seperti mereka. Begini, bukan kok kita tidak mampu. Kita sebenarnya mampu, tapi kita tidak mau melakukannya,†ujar mereka lembut namun dengan mata berkilat.
Sejak itu, para Domba saling bersepakat bahwa “justru denÂgan tidak membalas, mengalah, dan membiarkan supaya TuÂhan sendiri bertindakâ€, mereka bisa memperlihatkan bahwa mereka lebih “baik†daripada Elang yang “jahatâ€. Lewat meÂkanisme seperti itu para Domba menemukan makna “kerenÂdahan hati, kepasrahan dan kebenaran†dalam hidup yang tak adil ini. Ideal yang asketik pun tercipta. Kawanan Domba merasa menang, moralnya setÂinggi langit, dan tak ada yang bisa menghentikan bila mereka menggulirkan revolusi. Mereka tak akan takut menjadi martir demi ideal asketiknya, karena di situ, katanya, ada kebenaran, surga, gantungan makna hidup mereka.
Mental Budak
Kaum Domba bermental buÂdak, menurut Nietzsche, diteÂmukan di kalangan intellektual cemerlang (Kant, SchopenhauÂer), seniman terkenal (Wagner), dan juga kaum lemah dan sakit serta, tak lupa, para imam.
Saat ini, kaum fanatik DomÂba mudah ditemukan di kalanÂgan kaum fanatik agama yang moralnya rigoris serba hitam putih. “Dunia memang jahat, namun kita tidak akan memÂbiarkan diri ikut-ikutan jahat. Kita memang kalah, namun kita buktikan bahwa kita lebih baik. Dunia memang punya mereka, namun kita mendapatkan yang lebih penting: surga. Kitalah sang Pemenangâ€.
Demikianlah analisis NiÂetzsche tentang genealogi munÂculnya nilai universal “baik dan jahat†yang dipegang, diusung dan dipuja gerombolan budak. Dan moral seperti ini jelas berÂguna. Untuk sejenak kawanan Domba bernafas lega karena menemukan “makna†di balik absurdnya eksistensi yang membuat mereka menjadi peÂcundang di dunia.
Teori metafisis atau agamis yang membungkusi moral baik dan jahat, di mata Nietzsche, muncul dari kondisi kehidupan yang sama sekali tidak lucu: keÂgalauan identitas, kebingungan memaknai hidup yang merÂemukkan dan memorakporanÂdakan. Moral baik-jahat kawaÂnan Domba muncul dari reaksi pada kehidupan yang dianggap tak adil. Saat moral ciptaanÂnya memberi makna, dipegang erat dan diimani karena janji surga yang menyertainya, pada saat itulah kawanan Domba siap merevolusi dunia untuk memaksakan moralnya (NiÂetzsche, Beyond Good and Evil § 195, bdk. Genealogi Moral I, § 10: “The slave revolt in morality begins, when ressentiment itÂself becomes creative and gives birth to valuesâ€).
Namun karena reaktif, morÂal ini tergantung pada musuh rekaan yang harus terus-menerus diciptakan (Amerika, Yahudi, atau Pokemon Go). Moral kawaÂnan budak tidak kreatif, apalagi indah. Jauh dari itu semua. Moral ini disetir oleh hasrat membaÂlas, sehingga keutamaan yang dikothbahkan tak lain hanyalah spiritualisasi rasa dendam (resÂsentiment). “Kerendahan hati dan kepasrahan†yang mengalir lancar dari mulut para Domba adalah tipu-tipu rohani pemÂbungkus hasrat balas dendam pada realitas yang membuatnya galau, kacau, tak bisa menerima diri mereka sendiri.