Oleh: DJAGAL WISESO MARSENO
Guru Besar Teknologi Pangan UG; Bekerja di Lemhannas RI
Dalam konteks yang sama, mantan MenÂteri Luar negeri Amerika Serikat HenÂry Kissinger (1970) menyatakan, “Control oil and you control nations; control food and you control the people.“ Saat ini, sebanyak 95% cadangan pangan dunia dalam bentuk grain dikuaÂsai oleh enam perusahaan agrobisÂnis multinasional. Jadi, baik Bung Karno maupun Henry Kissinger sudah memprediksi dengan tepat bahwa pangan adalah komodiÂtas strategis karena mengandung multinilai, yaitu politis, ekonomis, dan biologis.
Pangan tidak semata sebagai komoditas hasil pertanian, tetapi juga memiliki nilai strategis yang berdampak luas dan menjangkau hingga ke ranah politik antarÂbangsa dan negara di dunia. PerÂnyataan dua tokoh besar dunia telah menunjukkan hal tersebut. Pangan dapat dihasilkan dari daratan ataupun lautan sebagai media untuk memproduksi panÂgan. Dengan demikian, untuk menghasilkan bahan pangan akan sangat bergantung pada kondisi geografis-fisik yang dimiliki suatu bangsa dan negara tertentu. Atau, dengan kata lain, bahan pangan dihasilkan di wilayah yang meruÂpakan ruang hidup bagi setiap bangsa dan negara di dunia.
Geopolitik Pangan
Cohen (2003) mendefinisikan geopolitik sebagai analisis interÂaksi geographical settings and perspective dengan proses-proses politik. Interaksi di antara kekuaÂtan prosesproses politik (domesÂtik dan internasional) untuk penÂguasaan kondisi geografis suatu wilayah berlangsung sangat dinaÂmis dan saling memengaruhi. EsÂensi dari geopolitik pangan ialah (1) adanya pemahaman yang menÂdalam terhadap potensi kondisi geografis suatu wilayah dan (2) adÂanya kemampuan (competence) dan kemauan (good will) untuk menyiasati kondisi geografis dalam rangka tujuan pemenuhan d kebutuhan pangan. TerwujudÂnya k swasembada pangan (beras) Indonesia pada 1984 yang diakui FAO dihasilkan dari adanya pemaÂhaman yang mendalam tentang geopolitik pangan oleh pemerinÂtah sejak era 1960-an.
Pengertian dan pemahaman yang mendalam terhadap geopoliÂtik pangan menjadi syarat mutlak untuk terwujudnya kemandirian pangan dan bahkan kedaulatan pangan. Arti penting dan strategis dari geopolitik pangan harus sanÂgat dipahami politisi di pusat atauÂpun daerah yang ada di eksekutif, legislatif, dan yudikatif sehingga dicapai cara pandang yang sama dan kompak dalam mewujudkan pemenuhan kebutuhan pangan secara berdaulat dan tidak terÂgoyahkan oleh kepentingan sesaat yang bersifat pragmatis dan menÂguntungkan segelintir orang.
Fenomena importasi berbagai komoditas pangan, bahkan terÂmasuk garam, dalam jumlah beÂsar dan dalam kurun waktu lama (lebih dari 15 tahun) membuktiÂkan bahwa kita sebagai bangsa secara kolektif belum memahami geopolitik pangan. Apabila hal ini terus berlanjut, jangan harap Indonesia pada 2045 akan men jadi negara yang berdaulat dalam bidang pangan. Sebaliknya, yang akan terjadi justru seperti tikus mati kelaparan di lumbung padi. Sangat ironis bila kemudian bangÂsa Indonesia akan sangat berganÂtung kepada pasokan pangan dari luar padahal secara geografis InÂdonesia adalah lumbung pangan.
Geopolitik Pangan 2045
Sejalan dengan pertambahan penduduk yang tidak dapat diÂhindari, ketahanan dan kebutuÂhan pangan menjadi salah satu isu besar yang membayangi keÂhidupan bangsa-bangsa di dunia. Dengan asumsi laju pertumbuhan penduduk 1,49%, pada 2045 jumÂlah penduduk Indonesia dipreÂdiksi akan mencapai 450 juta jiwa. Artinya, kebutuhan pangan IndoÂnesia meningkat dua kali lipat dari kebutuhan pangan saat ini. Di sisi lain, perlu kita sadari bahwa saat ini, sumber daya lahan di IndoneÂsia semakin menyusut karena diÂkuasai para pemilik modal.
Dalam kurun waktu 20 tahun terakhir, keluarga tani rata-rata hanya memiliki lahan pertanian seluas 0,25 hektare. Sementara itu, para pengusaha dan pemilik modal justru semakin menguasai lahan pertanian dalam areal yang luas.
Oleh karena itu, kita harus menyadari, secara kolektif, untuk mewujudkan kedaulatan pangan pada 2045, masalah kepemilikan (ownership) lahan sebagai ruang hidup bangsa harus dikelola denÂgan berpedoman pada kepentinÂgan bangsa dalam jangka panjang. Untuk itu, diperlukan langkah strategis berupa (1) penyadaran kolektif tentang arti penting laÂhan pertanian dalam perspektif geopolitik pangan bagi para ekseÂkutif, legislatif, yudikatif, dan masyarakat luas di tingkat pusat ataupun daerah; (2) penguatan intelijen bidang pangan; (3) penaÂtaan ulang kebijakan dan kelemÂbagaan bidang pangan; (4) penÂguatan regulasi yang berorientasi pada kedaulatan pangan; dan (5) penguatan infrastruktur produksi pangan.
Lahan sebagai ruang hidup dan penghidupan harus dikuasai negara untuk kepentingan rakyat, dan tidak boleh `digadaikan’ unÂtuk dikuasai pemilik modal secara masif. Lumbung-lumbung pangan harus dibangun sesuai dengan kondisi dan karakteristik geografis lahan dan budaya masyarakatnya. Intelijen bidang pangan meruÂpakan faktor pendukung yang dibutuhkan untuk mendapatkan informasi yang akurat dan tepat tentang kebutuhan jenis dan jumÂlah komoditas pangan ataupun inÂdustri pangan yang berdaya saing di tingkat internasional.
Penataan ulang kebijakan dan kelembagaan bidang pangan harÂus disusun berdasarkan informasi intelijen pangan dan berorientasi pada pemenuhan kebutuhan maÂsyarakat dan kedaulatan pangan. Penguatan regulasi dan infrastrukÂtur produksi pangan untuk memÂbangun kedaulatan pangan harus dilakukan secara komprehensif, mencakup seluruh aspek yang dibutuhkan dari hulu hingga hilir, dan berpihak pada pemenuhan kebutuhan pangan dalam negeri.
Semoga pada 2045, mimpi Indonesia yang berdaulat dalam bidang pangan dapat terwujud. Untuk itulah, geopolitik pangan tiÂdak cukup mencuat hanya sebatas wacana, tetapi harus diterapkan secara nyata melalui program dan indikator yang terukur dalam seÂbuah roadmap kedaulatan pangan Indonesia. (*)