Opini-2-KhudoriKITA hargai keteguhan pemerintah untuk tidak menambah kuota impor (daging dan sapi). Ini merupakan bagian dari upaya mencapai target swasembada daging sapi. Namun, tanpa membenahi usaha ternak sapi, rantai pasok (supply chain), moda transportasi, dan RPH, gonjang-ganjing harga daging sapi setiap saat bakal terulang.

Oleh: KHUDORI
Penggiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)

Para jagal dan peda­gang daging sapi segar mogok. Aksi itu meru­pakan protes atas ke­naikan harga daging yang dinilai merugikan jagal dan pedagang di pasar tradisional. Jika ada jagal dan pedagang yang memotong dan menjual dag­ing di pasar tradisional, ia akan didenda Rp 50 juta per hari. Se­belumnya, aksi mogok berjualan telah dilakukan pedagang daging sapi di Jakarta. Mogok dilakukan agar pemerintah turun tangan mengendalikan harga daging. Ke­naikan harga yang tak terkendali membuat pedagang bakso, peda­gang makanan, serta pengusaha restoran dan katering terpukul. Apalagi daging sapi tidak mudah didapatkan di pasar.

Importir dan pemerintah sal­ing tuding. Menurut importir, ke­naikan harga terjadi karena dag­ing langka. Sumber masalahnya, pemerintah memangkas kuota impor daging dan sapi secara drastis. Pada 2011, kuota impor daging dan sapi masing-masing 100 ribu ton dan 560 ribu ekor. 2014, kuota impor daging dan sapi dipangkas tinggal 34 ribu ton (tinggal 34 persen dibanding tahun lalu) dan 283 ekor (50 pers­en). Menurut importir, pemer­intah terlalu optimistis dengan kemampuan pasokan sapi do­mestik. Pendek kata, menurut importir, Indonesia belum siap menghadapi pemotongan kuota impor sebesar itu.

Dilihat dari transmisi harga, kenaikan harga daging saat ini tidak wajar. Transmisi harga dari peternak ke konsumen bersifat asimetris. Ini menandakan pasar daging tak sehat. Dugaan ada sekelompok kecil orang yang me­miliki kekuatan mengendalikan pasokan, dan mengatur harga di pasar, ada benarnya. Tujuannya, agar pemerintah kembali mem­buka impor. Modus ini juga ter­jadi pada kedelai.

BACA JUGA :  KURANG ELOK PRAMUKA BERUBAH DARI EKSKUL WAJIB JADI PILIHAN

Kelangkaan sapi yang dike­luhkan importir dan pedagang juga ada benarnya. Tetapi tentu bukan tanpa alasan pemerintah memangkas kuota impor (daging dan sapi). Pemangkasan impor didasari data populasi ternak do­mestik. Menurut hasil survei pe­ternakan, per Juni 2011 populasi sapi potong mencapai 14,82 juta ekor. Sebelumnya, data populasi ternak ini belum kita miliki. Ke­butuhan daging nasional tahun 2012 mencapai 484.060 ton. Ke­butuhan itu dipenuhi dari daging lokal 399.320 ton, sisanya 84.740 ton (17,5 persen) dari impor. Pa­sokan daging lokal itu setara den­gan 2,4 juta ekor. Dengan popu­lasi sapi potong 14,82 juta ekor, kebutuhan 2,4 juta ekor tentu memadai.

Masalahnya, data-data itu hanya angka mati di atas kertas, yang sama sekali tidak mere­fleksikan kondisi di lapangan. Sampai saat ini struktur indus­tri peternakan domestik untuk semua komoditas ternak, terma­suk sapi, sebagian besar (60-80 persen) bertahan dalam bentuk usaha rakyat dan usaha sambilan yang berciri pendidikan rendah, pendapatan rendah, manajemen dan teknologi konvensional, serta menggunakan tenaga kerja kelu­arga (Yusdja dan Winarso, 2009). Bagi peternak jenis ini, sapi adalah tabungan yang likuid yang bisa dimanfaatkan setiap saat ketika ada kebutuhan mende­sak. Usaha itu tersebar di banyak tempat. Tak mudah memobilisasi ternak-ternak itu untuk memasok kebutuhan mendesak.

Ternak sapi belum menjadi usaha utama karena dua hal. Pertama, akses modal melalui perbankan untuk pengembangan peternakan komersial pengge­mukan maupun pembibitan skala kecil (10-50 ekor per periode 2-4 bulan) cukup sulit diperoleh. Kedua, keterbatasan sumber daya manusia, terutama tenaga kerja, sebagai pencari pakan hi­jauan yang membatasi jumlah pemilikan ternak. Akibatnya, pe­ternak sulit meningkatkan jum­lah ternak, sehingga sapi betina usia produktif terpaksa harus jadi ternak konsumsi. Padahal, untuk menambah populasi, pemotongan sapi betina produktif harus dihindari.

BACA JUGA :  JELANG LAGA MALAM INI, TIMNAS VS AUSTRALIA

Jika pun ternak sudah terkum­pul, tidak mudah mendistribusi­kan dari produsen ke konsumen. Ini terjadi karena jalur distribusi dari produsen ke konsumen amat panjang. Ironisnya, dalam rantai distribusi yang panjang itu, mar­gin tidak terbagi merata. Pangsa terbesar margin pemasaran ada pada pedagang besar. Namun yang menikmati keuntungan besar justru para jagal. Artinya, margin keuntungan tidak terdis­tribusi adil. Selain itu, kita be­lum memiliki moda transportasi khusus. Selama ini sapi dari NTT atau NTB diangkut menggunakan kapal (umum). Ongkos angkut mahal karena, saat balik, kapal kosong. Ini salah satu yang mem­buat harga daging sapi lokal lebih mahal ketimbang impor. Lagi pula, karena kapal tak didesain khusus, selama perjalanan sapi bisa stres dan susut bobot.

Yang tak kalah pelik adalah keberadaan rumah pemotongan hewan (RPH). Saat ini baru ada 25 RPH bersertifikat. Keberadaan RPH bersertifikat amat penting untuk menjamin kebutuhan kon­sumen dan industri berbahan baku daging sapi. Sejumlah RPH inilah yang bakal menjamin paso­kan kebutuhan daging konsumen yang beragam dan berbeda-beda. Masalahnya, selain RPH berserti­fikat jumlahnya belum banyak, kapasitasnya juga terbatas. Kita hargai keteguhan pemerintah untuk tidak menambah kuota im­por (daging dan sapi) tahun ini. Ini merupakan bagian dari upaya mencapai target swasembada daging. Namun, tanpa membena­hi usaha ternak sapi, rantai pasok (supply chain), moda transporta­si ,dan RPH, gonjang-ganjing har­ga daging sapi setiap saat bakal terulang. (*)

============================================================
============================================================
============================================================