Neoplatonis ‘Manusia dalam Konstitusi’ dan Jebakan Positivisme-Yuridis
Daniel Zuchron, mengakhiri secara ‘filosofis’ atas masa kerjanya sebagai pejabat Bawaslu Republik Indonesia pada tahun 2017. Ia menerbitkan buku yang diolah dari karya tesis master filsafat Islam sebelumnya, yang bertajuk: “Menggugat Manusia dalam Konstitusi: Kajian Filsafat atas UUD 1945 Pasca-Amandemen“. Disain cover-nya menarik, diterbitkan RAYYANA Komunikasindo (2017) dengan kertas berkualitas tinggi, tapi isinya rumit.
Awalnya, saya menduga buku filsafat manusia konstitusi ini berkisah tentang filsafat hukum. Setelah mendapatkan buku itu langsung dari penulisnya, kening saya berkerut, sambil berdialog dalam diri: ‘sejak kapan Mulla Sadra membahas konstitusi?
Genap seminggu saya berulang kali membaca 200-an halaman buku itu, barulah saya paham, Daniel Zuchron punya proyek pemikiran filsafat Islam yang tidak dikenal dalam diskursus filsafat hukum di Indonesia, sekaligus menyodorkan kajian ontologis dan metafisika yuridis Neoplatonis atas konstitusi secara partikularistik: UUD NRI 1945 pasca-amandemen. Uraian analisis ontologis menggabungkan teologi, intuisi mistis, inspirasi spiritual, dan sekaligus proposisi metafisis tentang ‘Konsep’ yang eksis dalam diri-atau-luar manusia.
Temuan Filosofis: Manusia sebagai ‘Wujud Khariji‘ (Eksistensi dalam Konsepsi)
Berpijak atas analisis ontologis ‘Rakyat’ sebagai gradasi eksistensial (tasykik wujud) maka dengan mudah Daniel Zuchron menemukan konsep primer (ma’qulat awwali) yakni ‘manusia (baca: hak asasi manusia)’ dan ‘orang’ yang mudah dikenali realitasnya. Itulah mengapa para perumus amandemen UUD NRI 1945 tidak banyak berseteru soal itu.
Berbeda halnya dengan konsep penduduk, warga negara, umat, dan seterusnya, penelitian Daniel Zuchron atas rekaman perdebatan dikalangan perumus amandemen adalah upaya keras politis untuk menggali definisi baru tentang penduduk, warga negara (pribumi atau bukan), umat, dan lainnya. Perdebatan berlangsung melalui saling unjuk contoh-realitas sehingga seluruh konsepsi yang ada dikategorikan Daniel Zuchron sebagai konsepsi filsafat sekunder (ma’qulat tsanawi falsafi). Konsepsi filsafat sekunder bekerja dalam dimensi eksistensi-artifisial (i’tibari) atau dikonstruksi dalam suatu konsensus politis, serta dikaji secara epistemologis dan bukan ontologis.