sss-203DALAM suatu dis­kusi sederhana tentang transformasi yang digelar Dewan Kebu­dayaan Jawa Barat, yang saya kemukakan, salah satu persoalan besar yang sering mengemuka adalah: membicarakan trans­formasi dengan cara ‘mencari ketiak ular.’ Transformasi sebagai perubahan dramatik diperlukan, tetapi tak perlu mempersoalkan semua hal yang sudah jelas dan berjalan baik.

Oleh : Bang Sem Haesy

PERUBAHAN dalam bentuk transfor­masi adalah keniscayaan, sebagaima­na reformasi dilakukan. Tetapi, harus dengan pengendalian managerial yang cerdas : rasional dan realistis. Artin­ya, perubahan yang dilakukan mela­lui pembangunan semestinya berpijak pada historical story-nya.

Bila kita hendak membongkar pa­gar di halaman rumah, sebagai bagian dari perubahan, kita perlu bertanya: mengapa dulu pagar itu dibangun dan apa maksudnya. Dengan begitu, perubahan yang kita lakukan, tetap berpijak pada motivasi dan goal yang jelas.

Dari Pajajaran kita mendapatkan nasihat sederhana yang pantas disimak lebih mendalam. Antara lain, terkait dengan prinsip pancer salawe nagara. Dignity statement yang menegaskan, Pajajaran yang berpusat di Pakuan, merupakan sentrum 25 wilayah strategis.

BACA JUGA :  Tragis, Istri di Medan Tewas Tertabrak Kereta, Diduga Sedang Melamun usai Bertengkar dengan Suami

Karenanya, berlaku prinsip : Gunung teu meunang dile­bur, Lebak teu menang diruksak, Larangan teu meunang di­tempak, Buyut teu meunang dirobah.

Jangan menghancurkan sesuatu yang diciptakan Tu­han menjadi bagian penting dari kehidupan kita, khasnya gunung dan lembah. Antara lain dengan cara tidak mem­biarkan berlangsungnya penambangan liar yang merusak, seperti apapun skalanya; Tidak membiarkan terjadinya alih fungsi lahan yang melanggar rencana tata ruang. Tidak mengubah-ubah peraturan hanya untuk kepentingan sesat sesaat. Tidak pula merusak segala artefak yang menyimpan nilai sejarah sebagai energi kehidupan kini dan mendatang. Karena tak pernah ada masa depan tanpa hari ini, dan tak ada hari ini tanpa masa lampau.

Merujuk pada pesan masa lalu Pajajaran, yang sering saya sebut sebagai panceur pakuan, ini yang harus kita laku­kan adalah memilih dan memilah program dan rencana aksi kegiatan pembangunan, baik yang dilakukan oleh pemerin­tah maupun masyarakat. Dalam konteks itu, perubahan atau transformasi harus direncanakan kolektif melalui dialog, yang mempertemukan aspirasi, inspirasi, dan partisipasi rakyat.

BACA JUGA :  Remaja di Cicalengka Bandung Dibacok Geng Motor Slotter

Karena itu dalam konteks perencanaan transformasi, partisipasi (baik individfual dan sosial) menjadi sangat pent­ing. Pola partisipasi berbasis kesadaran kolektif masyarakat, dilakukan dengan cara membangkitkan motivasi untuk ber­partisipasi. Mulai dari badan sakujur, batur sakasur, batur sadapur, dan batur salembur. Mulai dari diri sendiri, isteri dan anak, keluarga, lingkungan masyarakat se kampung, lan­tas se kota atau se kabupaten.

Partisipasi sosial semacam ini akan membawa nilai man­faat yang juga bertingkat, dan kemudian dapat dikontribusi­kan atau didedikasikan menjadi bagi kepentingan bangsa yang lebih luas. Dengan cara ini, Prabu Siliwangi dan Prabu Surawisesa di masanya, mengembangkan seluruh potensi rakyat untuk mencapai kejayaan Pajajaran secara kolektif. Tak terkecuali ketika berlangsung proses pembangunan in­frastruktur, seperti jalan dan tanggul hidup tebing Ciliwung dan Cisadane.

Dalam konteks ini juga, gerakan Bogor Hejo Rakyat Ngejo sebagai salah satu dari beragam program partisipasi sosial, dapat dilihat korelasinya untuk terus memelihara ke­jayaan Bogor, kini dan mendatang.

============================================================
============================================================
============================================================