Untitled-8Wilson Pesik sendiri merupakan generasi ketiga dari suksesi pe­rusahaan tersebut. Wilson hany­alah anak muda penuh gairah seperti kawula muda kebanyakan. Bedanya sejak usia dini sudahlah dibebani tanggung jawab besar memimpin perusahaan. “Jauh sebelumnya, ketika masih sekolah saya sudah sering terlibat,” jelasnya.

Sejak tahun 2007- 2008 dirinya sudah diperkenalkan kepada lingkungan bisnis. Hingga ketika harus diberi tanggung jawab mengambil tongkat kepemimpinan; dia sudah merasa di rumah. PT Indah Jaya kini dipegang oleh sosok lulusan Marketing dan Entrepre­neurship salah satu univesitas Amerika. Meru­pakan genarsi ketiga yang mencoba mematah­kan kutukan.

Kutukan tersebut adalah kutukan ten­tang perusahaan keluarga. Dimana generasi pertama adalah sosok dari fondasi bisnisnya. Kemudian dilanjutkan oleh generasi kedua yang menyempurnakan suksesnya. Semen­tara itu tidak lain sosok generasi ketiga men­jadi “penghabisan”. Wiliam sendiri mungkin sadar akan hal tersebut. Ia membuktikan diri bahwa dirinya layak. Hasilnya adalah cara marketing modern yang tidak biasa. Tidak biasa dari pendahulunya dalam soal urusan handuk.

Mengendalikan pabrik seluas 40 hek­tar berkaryawan sekitar 5.000 orang di Tangerang; tak membuatnya jadi gentar. Pen­getahuan selama di Negeri Paman Sam nam­paknya sangat berguna. Ia bahkan membawa gariah baru dalam marketing dan bisnis Terry Palmer. Sebagai sosok nahkoda, sosoknya ma­sih unyu- unyu kata anak muda jaman seka­rang, namun punya latar belakang pendidi­kan luar biasa.

Jikalau dilihat dari wajahnya bukanlah tipikal anak manja. Terlihat dari sorot mat­anya saja merupakan sosok muda penuh visi. “Sewaktu saya ditugaskan untuk memimpin perusahaan ini sudah sangat nyaman, dan saya sudah sangat memahami brand ini,” jelasnya.

Sebelumnya, diakui Wilson perusahaan dijalankan dengan cara tradisional. Hingga ilmunya masuk merubah peta bisnis Terry Palmer dari sekedar handuk. Sekali masuk sudah percaya diri membuat aneka trobosan dalam hal marketing; tanpa keraguan dan tri­al- error. Langsung tancap gas istilahnya buat mengembangkan brand miliknya.

Terlibat Langsung

Jangan salah, Wiliam paham betul soal proses produksi, dan baginya merupakan satu kepastian buat tau apa itu pemilihan ba­han baku (raw material) dan barang jadi. Hal-hal mendasar itu sudahlah diajarkan bahkan sejak masih kecil. Dia sudah sering diajak ke eksibisi, pameran Home Textile di Jerman, pameran terbesar yang diselenggarakan di awal tahun. Produk Terry Palmer sudah pasti mengikuti ajang tahunan tersebut. Ia belajar banya disana.

Belajar tentang produk- produk handuk diluar sana. Wiliam bahkan sudah mengang­gap mereka menjadi satu pesaing. “Saya be­lajar dari segi desain dan taste,” imbuhnya. Dari sang ayah dipelajarinya bagaimana cara agar membedakan handuk berkualitas dan mana jelek. Dia sendiri merasa tidak terbe­bani. Ketika pulang ke Indonesia dari studi di Amerika sama sekali tidak ada paksaan. Bah­kan sang ayah santainya mengirim SMS ketika pesawatnya mendarat. “Welcome home, mari kita jalani bersama- sama, meraih kesuksesan bersama- sama,” kenang Wilson.

BACA JUGA :  Timnas Indonesia Optimis Raih Poin di Laga Piala Asia U-23 Lawan Australia

Itu hal paling diingatnya ketika kembali ke Indonesia. Ayahnya meyakinkannya bahwa dia percaya. Padahal dia baru saja pulang, belum mengerti, belum punya pengalaman di perusahaan. Tetapi ayahnya memberinya satu kepercayaan besar. Merasa terbebani? Ternyata tidak, karena sejak awal mau berku­liah, dirinya sudah diwanti- wanti akan tang­gung jawabnya.

Suatu hari pasti akan memimpin perusa­haan selanjutnya. Dari segi mental sudahlah sangat siap bahkan jauh sebelum memilih jurusan kuliah. Soal marketing menurut Wil­iam, produk Terry Palmer terlalu bermain safe cuma berkutat di itu- itu saja. Marketinga menurutnya adalah out side the box, dimana menurutnya diluar sana banyak sekali con­tohnya. Bahkan tidak terpikirkan sebelumnya pernah ada oleh masyarakat awam. Ia menye­but marketing tidak monoton.

“Saya baru tahun ini menjalani krativitas di Terry Palmer, di mana saya bisa melakukan out side the box,” ujar Wilson

Melalui event Miss World 2013, nama Ter­ry Palmer mencuat bahkan penulis sempat mengira ini produk apa ya. Penulisa sempat berpikir apakah Terry Palmer adalah produk impor. Melalui acara tersebut perusahaan di­tangannya melalukan aneka branding. Tidak sama dengan ketika perusahaan dikontrol 100% oleh ayahnya. Terry Palmer begitu be­rani melakukan strategi marketing besar- be­saran di televisi. “Padahal kami merasa bukan seperti produk elektronik atau makanan,” jelasnya.

“Mana ada handuk di dunia yang mau muncul di TVC. Tapi, saya berani mengam­bil langkah itu,” jelasnya penuh kebang­gaan.

Bukan cuma mensponsori karena kalau sponsor sudah banyak. Lebih jauh lagi bahkan menjadi bagian dari tiap kegiatannya. Melaku­kan aktifitas promosi paralel jalannya acara tersebut. Tidak cuma berhenti di acara Miss World. Wilson meyakinkan kita bahwa Terry Palmer merupakan produk bernyali. Mereka sudah siap cara marketing lain di internalnya. Pokoknya akan menjadi surpraise jelasnya kembali. Tujuannya apalagi kalau bukan un­tuk brand awareness.

Menarik perhatian masyarakat sekarang tak cuma kelas menengah- atas. Bahkan selu­ruh Indonesia sudahlah bertanya- tanya apa sih Terry Palmer. Fakta bahwa sosoknya masi­hlah sangat muda tak diambil pusing. Ia meya­kinkan jangan menganggap remeh dirinya. Semuanya berjalan seperti biasanya. Wilson merasa dirinya telah mendapatkan respect dari orang sekitarnya.

Target bisnis

Ada target yang harus dipenuhinya yakni memperkenalkan Terry Palmer. Tidak cuma bermain dipasar lokal tapi harus berani men­capai pasar global. Ia melihat bahwa kuali­tas produknya tak kalah dari pemain bisnis handuk asal Eropa. Bahkan menurutnya sebagian lini- produknya lebih baik. Wilson masih sangat melihat ada peluang buat pasar global.

Tahun- tahun ini sudah masuk ke pasar Singapura, Malaysia, Australia, bahkan siap masuk pasar China. Jika ibaratnya handuk China masuk Indonesia, kini, giliran Terry Palmer asal Indonesia memasuki pasaran China. Ia terlihat percaya dirinya menjelaskan targetnya. Hasilnya cukup baik memang kare­na standar produknya itu sudah world class. Meski bicara soal teknik, Wilson meyakinkan kamu, bahwa teknik, mesin, dan bahan baku miliknya sudah terbaik.

BACA JUGA :  Tak Sama dengan Nyamuk yang Lain! Ini Dia 5 Ciri Nyamuk Penyebab DBD

Ambil contohnya bahan utamanya meng­gunakan egyptian cotton atau kapas mesir terbaik. Dari halnya segi teknologi pun sudah bisa bersaing dengan produk dunia. Komposi­si lokal- ekspor memang baru mencapai angka 70:30 sebelumnya 50:50. Jangan salah sangka menurut penjelasannya kenapa buat lokal jadi naik, ternyata ada startegi marketing khusus. Memang buat lokal naik karena memang ini khusus pasaran dari Terry Palmer sendiri.

Pasar ekspornya masih difokuskan di pasaran Asia. Berapa banyak perusahaannya menjual makan jawaban darinya 1.000 ton per- bulan. “Kami memproduksi sesuai apa yang kami jual. Produksi kami masih kami maksimalkan hingga 1.300 ton per bulan,” terangnya kembali. Tentang inovasi, Wilson masih terus mau untuk mengeksplor, tentu bermodal jiwa mudanya. Menurutnya orang masih menganggap handuk cuma bagian dari kebutuhan sehari- hari.

Belumlah berbicara tentang mode (fash­ion) atau lifestyle. Nah, inilah tengah dicoba olehnya, bahwa handuk itu juga mempercan­tik kamar mandi. Jadi bahkan tanpa meng­ganti warna tembok kamar mandi terlalu sering sudah teratasi. Handuk berwarna akan membuat suasana kamar mandi berasa ber­beda. Salah satu inovasi yang tengah dipikir­kannya adalah handuk berkristal swarovski. Ini akan membuat handuk jadi berkesan lebih luxury.

“Inovasi pentinga agar makin sulit ditiru pesaing,” jelasnya, dimana Terry Palmer sendiri sudah bisa menguasai 30% pasaran Indonesia. Di Indonesia sendiri masih sedikit pamain diproduksi kain handuk. Cuma 1 sam­pai 2 perusahaan besar mendominasi dan ini bisa jadi kesempatan bagi kita.

Arti karyawan baginya adalah memberi­kan kesempatan belajar dan membimbing mereka. Seperti halnya dulu ayahnya yang mensekolahkan dirinya sampai Jerman. Kes­empatan itupula lah yang diberikan olehnya kepada karyawannya. Dia menciptakan sua­sana bersaing tapi menyenangkan. Tidak ada namanya generation gap antara dia dan kary­awannya.

“Sebenarnya secara profesional hanya ada mutual respect. Tentu saya juga melihat ada beberapa karyawan yang ketika kakek saya memimpin, mereka sudah bekerja di sini,” jelasnya kembali.

Memang ketika Wilson masih kecil sudah dibiasakan, umur 4 tahun, dia sudah diajak berkeliling- keliling ke kantor milik ayahnya. Dia melihat sendiri ada karyawan ayahnya yang masih bertahan. Justru dari merekalah dirinya belajar banyak. Disisi lain, ia mencoba menempatkan dirinya sebagai anak, meya­kinkan mereka para karyawan tuanya agar mau mengikuti langkahnya. Dia meyakinkan mereka melalui cara hormat, penuh rasa me­nolong.

Oleh : Apriyadi Hidayat
[email protected] (pengusaha)

============================================================
============================================================
============================================================

1 KOMENTAR