SEJUMLAH harapan mengemuka menyambut Muktamar Ke-4 Muhammadiyah, 3-7 Agustus di Makassar, Sulawesi Selatan. Publik memberikan sambutan yang cukup antusias.
Oleh: ABD ROHIM GHAZALI
Direktur Eksekutif Yayasan Paramadina; Wakil Ketua Fokal IMM
Selama kurang lebih sebulan sebelum mukÂtamar, setiap hari ada berita atau isu yang muncul terkait MukÂtamar Muhammadiyah. Berbagai pemikiran dan gagasan (baik yang benar-benar baru maupun lama, tapi diperbarui) untuk memajuÂkan Muhammadiyah bermuncuÂlan dari kalangan akademisi dan cendekiawan, baik dari mereka yang merasa dirinya punya atÂtachment dengan MuhammadiÂyah ataupun tidak.
Bagi sebagian kalangan, MuÂhammadiyah merupakan magnet yang dipersepsi bisa mempersatÂukan berbagai ide dan gagasan di tengah pola hidup kompetitif akiÂbat perputaran roda zaman yang kian cepat dan mengakibatkan banyak orang terpelanting atau hanyut dalam arus yang tidak selamanya konstruktif baik bagi dirinya maupun bagi lingkungan sosialnya. Ketika berbicara tenÂtang suksesi kepemimpinan, siaÂpa yang akan menggantikan Prof Din Syamsuddin?
Banyak sekali kader berkualiÂtas yang sudah menyatakan kesÂediaan untuk menjadi pemimpin Muhammadiyah. Sebagian besar cukup mumpuni di bidangnya dengan menyandang gelar PdD atau doktor, dan bahkan Guru BeÂsar. Selain itu, banyak pula kader-kader muda yang belum bersedia menjadi pimpinan, tapi dipreÂdiksi akan menjadi pemimpin-pemimpin Muhammadiyah pada masa yang akan datang. Mereka ini para doktor lulusan luar negÂeri dengan prestasi akademik yang membanggakan atau para mantan ketua organisasi otonom (ortom) Muhammadiyah yang suÂdah melewati proses kaderisasi pada tingkat paripurna. Tapi, di balik harapan-harapan itu, ada juga kekhawatirankekhawatiran yang muncul setelah melihat dan mencermati kenyataan objektif yang berkembang di luar MuhamÂmadiyah.
Tiga pekerjaan (amal usaha) utama Muhammadiyah yakni dalam bidang pendidikan, keÂsehatan, dan pelayanan sosial, meskipun secara kuantitatif beÂlum bisa ditandingi organisasi mana pun, secara kualitatif relatif tertinggal dari yang “sekadar†diÂmiliki yayasan atau bahkan perÂorangan.
Mengenai banyaknya gagasan yang muncul, ada juga kekhawatiÂran akan menjadi gagasan semata karena belum tersedianya infraÂstruktur organisasi yang komÂpatibel dengan gagasan-gagasan tersebut misalnya gagasan tenÂtang “Islam Berkemajuan†atau “Indonesia Berkemajuan†yang diusung menjadi tema MuktaÂmar Muhammadiyah. Masih ada sejumlah prasyarat berkemajuan yang belum dimiliki MuhammadiÂyah misalnya dalam bidang penÂguasaan media massa baik cetak, elektronik, maupun daring. Soal siapa pengganti Din Syamsuddin yang dalam aturan main (Pasal 13 ayat [1-2] Anggaran Dasar MuhamÂmadiyah) tidak bisa lagi menjadi ketua umum karena sudah dua periode berturut-turut ini juga masih dalam tanda tanya besar.
Memang banyak yang ingin menggantikannya, tapi yang memiliki leverage yang setara di tingkat nasional atau internaÂsional harus diakui belum ada. Apalagi kalau ingin mencari yang lebih. Untuk mengatasi kekhaÂwatiran-kekhawatiran ini, diperÂlukan langkah-langkah strategis dan progresif. Dalam bidang penÂdidikan, Muhammadiyah perlu melakukan terobosan-terobosan dengan mendirikan lembaga pendidikan percontohan dengan standar mutu yang tinggi untuk setiap jenjang.
Misalnya di tiap-tiap provinsi untuk jenjang perguruan tinggi/ universitas; di tiap kabupaten untuk jenjang sekolah menengah pertama dan atas; dan di tiap kecamatan untuk sekolah dasar/ madrasah ibtidaiyah. Begitu pun dalam amal usaha bidang keseÂhatan, Muhammadiyah perlu meÂmiliki rumah sakit percontohan dengan standar pelayanan yang excellence. Atau, bisa juga denÂgan mendirikan rumah sakit yang benar-benar gratis untuk maÂsyarakat miskin tanpa harus meÂmiliki asuransi kesehatan terlebih dahulu dengan birokrasi yang berbelit-belit. Dalam pelayanan sosial, Muhammadiyah sudah waktunya meninggalkan manajeÂmen panti asuhan yang dikelola ala kadarnya.
Panti bukan sekadar tempat menampung mereka yang kurang beruntung, melainkan untuk menolong dan memberdayakan melalui program-program yang sesuai kapasitas, namun memiliki nilai manfaat yang produktif sekaÂligus kompetitif pada saat sudah keluar dari panti. Untuk penangaÂnan (korban) bencana alam dan pengelolaan filantropi, peran-peran Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) dan Lembaga Amil Zakat Infak dan SeÂdekah Muhammadiyah (LazisMU) perlu ditingkatkan dan diperluas, setidaknya bisa melebihi kapasiÂtas lembaga-lembaga yang sama yang “hanya†ditangani lembaga swadaya masyarakat( LSM) atau ormas lain yang jika dibandingÂkan dengan Muhammadiyah jauh lebih kecil.
Agak sulit diterima akal seÂhat, Muhammadiyah yang begitu besar, dengan memiliki pedoÂman hidup islami dan sejumlah perangkat aturan keislaman yang lain, dalam mengelola zakat yang menjadi salah satu dari lima ruÂkun Islam yang wajib dijalankan, masih jauh tertinggal dibandingÂkan dengan amil zakat yang diÂmiliki LSM. Karena itu, langkah-langkah strategis dan progresif ini merupakan keniscayaan jika benarbenar ingin menjadikan MuÂhammadiyah mampu menampilÂkan “Islam Berkemajuan†dan atau “Indonesia Berkemajuanâ€.
Caranya antara lain dengan menampilkan kepemimpinan yang kondusif, yang berpikiran maju (progresif) dan terbuka (inklusif), memiliki kapasitas (mumpuni), dan berpengaruh baik di tingkat nasional maupun internasional. Jika pemimpin yang terpilih tidak memadai, usuÂlan-usulan ini kemungkinan besar akan menjadi sebatas gagasan yang tidak bisa direalisasikan. (*)