JAKARTA, TODAY — PT PertamÂina (Persero) mengisyaratkan penurunan harga produk liquid petroleum gas (LPG) nonsubsidi pada tahun depan. Sebab saat ini Perseroan bisa menekan biaya disÂtribusi sekitar USD 30-35 per ton.
“Kami belum bisa janji, tapi sampai saat ini kami terus melakukan efisiensi,†kata DiÂrektur Pemasaran Pertamina Ahmad Bambang dalam PerÂtamina Energy Forum 2015 di Hotel Borobudur, Rabu (25/11/2015).
Bambang menuturkan, penurunan harga bisa terjadi jika efisiensi terus dilakukan. Sejumlah usaha yang sedang dilakukan adalah penghemaÂtan biaya angkut mengguÂnakan kapal PertamiÂna dan jika fasilitas regasifikasi bisa pindah ke Arun.
â€Kami juga membabat middle man agar distribusi benar-benar efisien,†ujarnya.
Selain itu, menurut Bambang, jika nilai tukar dolar Amerika tetap sesuai dengan CP Aramco, harga LPG juga bisa turun. “Ya, bisa tuÂrunlah USD 30 per ton dikurskan ke rupiah per kilogram. Saya inginnya masyarakat menikmati harga lebih murah.â€
Sejumlah produk elpiji di bawah kendali Perseroan yang berpotensi turun harganya adalah tabung biru 12 kilogram, Bright Gas 5 kilogram, dan tabung gold 5 kilogram. Saat ini, harga jual elpiji 12 kilogram PerÂtamina rata-rata adalah Rp 142 ribu per tabung di level agen, atau setara dengan Rp 11.833 per kilogram.
PGN-Pertamina Mulai Januari
PT Pertamina (Persero) bersinÂergi dalam hal operasional dengan PT PGN (Persero) bisa dimulai pada Januari 2016. Sementara itu, aksi korporasi bersama ditargetkan bisa dilakukan pada Desember 2016.
“Selama ini, PT Pertagas (anak usaha Pertamina) dengan PGN seÂlalu dipisahkan karena masing-maÂsing berjuang sendiri-sendiri. DamÂpaknya adalah keluhan harga gas,†ujar Direktur Utama Pertamina Dwi Sutjipto, Rabu (25/11/2015).
Kerja sama operasional ini, menurut Dwi, dilakukan berupa peÂnyusunan rencana pengembangan infrastruktur gas bersama. NantinÂya, Pertagas dan PGN saling berbagi wilayah untuk pembangunan infraÂstruktur gas.
Selama ini, pembangunan infraÂstruktur tidak berjalan sinergis anÂtara dua perseroan ini. Karenanya, tidak jarang terdapat dua infrastrukÂtur milik Pertagas dan PGN di satu wilayah. Apalagi dua fasilitas ini tidak bersifat open access sehingga berpotensi melambungkan harga gas di tingkat distribusi dan niaga.
Nantinya, Pertagas-PGN juga bakal berdialog dengan Badan Pengatur Hilir Migas agar bersama-sama menghitung ulang infrastrucÂture fee atau investasi fasilitas disÂtribusi gas.
Kerja sama operasional kedua adalah pembagian fungsi operaÂsional dan perawatan. Selama ini, fungsi tersebut masih bertumpu di masing-masing perseroan.
Jika fungsi dibagi, yakni ada peÂrusahaan yang bertanggung jawab pada operasi maupun pada perÂawatan, biaya bisa lebih ditekan. Ujung-ujungnya, pemisahan ini bisa memangkas harga gas. “Nantinya akan kami atur, siapa yang bertangÂgung jawab di operasional, siapa di perawatan,†ujar Dwi.
Untuk kerja sama korporasi, Pertamina menginginkan adanya pembentukan joint venture PertamÂina-Pertagas khusus untuk memÂbangun infrastruktur. Badan usaha patungan ini terpisah dari fungsi bisnis gas Pertagas dan PGN sehingÂga bisa lebih independen.
Usulan ini senada dengan apa yang dikemukakan Kepala BPH MiÂgas Andy Noorsaman Sommeng. Namun Andi mengemukakan prosÂes kerja sama ini tidak mudah lanÂtaran saham PGN tidak sepenuhnya dikuasai pemerintah. Pertagas dimÂinta lebih aktif berdiskusi dengan Kementerian BUMN bersama PGN agar langkah ini berjalan mulus. “Keputusan itu harus lebih dulu seÂlesai di internal PGN,†ucap Andy.
(Yuska Apitya Aji)