APAKAH bijak menghadap-hadapkan antara Islam dengan Pancasila ? Meski keduanya ada pertemuan secara filosofis, namun keduanya memiliki perbedaan yang signifikan. Jika 1 Juni 1945 diyakini sebagai hari lahir Pancasila berarti Pancasila baru berumur 71 tahun sementara Islam berumur lebih dari 1400 tahun.
Oleh: AHMAD SASTRA
Dosen Pascasarjana UIKA Bogor
Substansi pancasila adalah nilai-nilai filosofis, sementara Islam adalah way of life yang melaÂhirkan tata hukum seÂluruh aspek kehidupan manusia. Pancasila secara subyektif hanya diberlakukan di Indonesia, seÂmentara Islam adalah rahmat bagi alam semesta. Islam diwakili oleh Al Qur’an dan Rasulullah, seÂmentara Pancasila.
Apakah bijak menghadap-haÂdapkan antara Islam dan PancasÂila ? Pancasila adalah kreatifitas intelektual manusia yang nisbi, sementara Islam adalah dinul haq dari Allah swt, pencipta alam seÂmesta. Islam diturunkan Allah untuk menjadi rahmat bagi maÂnusia dan seluruh alam semesta, sementara Pancasila -meminjam istilah Salahuddin Wahid-masih terjadi kesenjangan antara cita dan fakta. Membandingkan Islam dan Pancasila ibarat membandÂingkan volume air laut dengan volume setetes air. Islam dan Pancasila dari berbagai perspeÂktif bukanlah dua hal yang bisa dibandingkan. Namun bukan beÂrarti Pancasila salah, tidak ada yang salah dengan Pancasila.
Sebagai seorang muslim, mesÂki Islam belum diterapkan secara kaffah dalam sebuah negara, naÂmun tertancap keyakinan kuat bahwa Islam akan menjadi solusi atas segara permasalahan manuÂsia. Berbeda dengan pancasila, meski telah 70 tahun diterapkan di negeri ini, masih menyisakan kesenjangan antara cita dan reÂalita yang hampir tak berujung. Seluruh rezim dari Soekarno hingga Jokowi mengaku sebagai representasi nilai-nilai Pancasila, namun faktanya ideology yang diterapkan di negeri ini adalah kapitalisme sekuler yang acap kali justru tak sejalan dengan niÂlai-nilai pancasila itu sendiri.
Ideologi kapitalisme sekuler jika kita telisik lebih mendalam justru menjauhkan negeri ini dari nilai-nilai Pancasila di semua asÂpek berbangsa dan bernegara. Sila pertama yang menyatakan keesaan Tuhan (tauhid) justru diÂnodai oleh berbagai penyimpanÂgan agama yang semakin tumbuh tak terkendali. Sila kedua yang menyatakan kemanusiaan dan keberadaban justru dinodai oleh segala bentuk kriminalitas dan kezaliman yang semakin mengÂkhawatirkan. Nampaknya PancasÂila dalam konteks ini belum mamÂpu menjadi penjaga kemanusiaan dan keadaban di negeri ini.
Sistem ekonomi kapitalisme yang tidak dianggap bertentanÂgan dengan Pancasila juga telah melahirkan kesenjangan ekoÂnomi. Kekayaan di negeri ini hanya dikuasai oleh segelintir konglomerat, sementara rakyat kecil mayoritas belum bisa beranÂjak dari status warga miskin. KeÂmiskinan dan ketidaksejahteraan inilah yang seringkali memicu kriminalitas dan bahkan upaya disintegrasi. Cita-cita persatuan Indonesia justru berada di ujung tanduk dibawah hegemoni kapiÂtalisme yang tak berkeadilan. Pertanyaannya, apa hubungan kapitalisme dengan pancasila ?
Sila keempat yang memandatÂkan amanah rakyat kepada angÂgota dewan juga seringkali jusÂtru yang terjadi adalah semacam pengkhianatan. Oleh anggota dewan yang terhormat, aspirasi rakyat seringkali tidak terwakili. Buktinya, aturan dan perundang-undangan yang dihasilkan tak jarang merugikan kepentingan rakyat dan menguntungkan keÂpentingan cukong. Maraknya aksi-aksi rakyat yang memperÂtanyakan kebijakan pemerintah adalah bukti nyata dari tesis ini. Fenomena ini otomatis merÂeduksi cita-cita Pancasila dalam mewujudkan keadilan bagi seluÂruh rakyat Indonesia.
Tulisan opini Salahuddin Wahid di HU Republika (27/4) dengan tegas mengakui problem sosial ini, yakni kesenjangan jauh antara cita dan realita. Dalam pandangan Salahuddin, nilai-nilai Pancasila dianggap belum muwujud dalam kehidupan berÂbangsa dan bernegara. Namun sayang, meski telah terbukti seÂcara empirik, namun Salahuddin Wahid mencoba tetap membela Pancasila dan agak mempertanÂyakan upaya-upaya umat dalam merealisasikan nilai-nilai Islam dalam mengatur kehidupan berÂbangsa dan bernegara di negeri ini. Agar lebih seimbang, mestiÂnya Salahuddin Wahid juga memÂberikan gambaran keutamaan dan kemuliaan nilai-nilai Islam bagi kemanusiaan, keadaban dan kesejahteraan.
Barat yang mewakili ideologi kapitalisme sekuler tak mungkin rela jika Islam mengalami sebuah kemajuan dan kebangkitan. Ini sunnatullah. Apapun akan diÂlakukan untuk mencoba memÂadamkan cahaya Allah di muka bumi. Padahal cahaya Allah tidak mungkin padam karena makar mereka. Tuduhan Islam teroris hingga penyebaran pornografi diÂlakukan untuk melumpuhkan keimanan seorang muslim, hingÂga mengikuti pola hidup mereka. Dalam perspektif benturan ideolÂogis inilah sebenarnya Pancasila tidak memiliki ruang dan bahkan tak memiliki pengaruh. Sebab benturan ideologi di dunia hanya diwakili oleh kapitalisme, komuÂnisme dan Islam.
Siapa Pancasilais ?