MENGAPA Bogor harus hejo dan apa pula hubungan Bogor Hejo dengan Rakyat Ngejo? Bagaimana korelasi penghijauan sebaÂgai bagian dari reforestasi dengan kesejahteraan rakyat.
Oleh : Bang Sem Haesy
SAYA merenung, ketika mengikuti persidangan tenÂtang Sustainable DevelopÂment Goals (SDG’s) sebagai kelanjutan dari Millenium Development Goals (MDG’s) di Markas Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) – New York (2013-2014). Sudut pandang pembaÂhasan para wakil negara-negara bertumbuh (antara lain Brazil, Russia, India, dan China) berpiÂjak konsisten pada Indeks PemÂbangunan Manusia (IPM). Titik beratnya pada lingkungan. YakÂni, lingkungan sehat, lingkungan cerdas, dan lingkungan mampu (seÂcara ekonomi).
Indonesia menerjemahkannya lebÂih operasional dan menjadi kesepahaÂman bersama, yakni : pro growth, pro poor, pro job, dan pro environment. Pembangunan berinti aksi pro perÂtumbuhan ekonomi, penanggulangan kemiskinan, perluasan kesempatan kerja dan berusaha, dan pro lingkunÂgan hidup.
Pencapaian IPM, kemudian disepaÂkati sebagai parameter untuk menilai keberhasilan atau kegagalan seorang Walikota, Bupati, Gubernur, Presiden dan pemerintahannya. Parameter ini juga – dalam bahasa yang lain – yang menjadi tolok ukur para pemimpin di Pakuan, di masa lalu.
Tata kelola ‘pemerintahan’ di masa lalu, antara lain terdapat dalam SangÂhyang Çiksakandha ing Karesian. Salah satunya tersirat dalam kalimat: “SangÂkilang di lamba, trena taru lata galuma, hejo lembok tumuwuh sarba pala wowÂohan, dadi na hujan, landung tilu taun, tumuwuh daek, maka hurip na urang reya.†(Inilah – cara — kita menyejahterÂakan kehidupan. Seluruh penyangga hidup: rerumputan, pepohonan, (ada pula yang) merambat. Semak, hijau subur, tumbuhlah segala ragam buah-buahan, banyak hujan, pepohonan tinggi karena tumbuh subur, memberi kehidupan orang banyak ).
Kalimat itu menegaskan, dalam konteks pembangunan berbasis sumÂberdaya alam, terkorelasi setiap aksi reforestasi (antara lain penghijauan wilayah) dengan kesejahteraan rakyat. Upaya-upaya penghijauan yang dilakuÂkan Prabu Niskala Wastu Kancana, Sri Baduga Maharaja, dan Prabu SurawisÂesa menunjukkan hal itu.
Pemanfaatan sumberdaya alam tidak dilakukan semena – mena, seÂmua diatur dalam batas-batas kewaÂjaran semesta. Muaranya adalah kesÂeimbangan hidup semesta – khasnya kehidupan manusia dan alam lingÂkungan sekelilingnya. Hal itu berada dalam frame of mind – kerangka berÂfikir – keseimbangan, betolak dari Tri Tangtu.
Sekian masa kemudian, para buÂdayawan Sunda secara visioner mengÂingatkan akan terjadinya aksi pengÂhancuran harmoni hubungan alam lingkungan dengan manusia, yang berujung pada kehidupan sosial yang centang-perenang. Mereka ingatkan beberapa indikator, bahwa kesejahterÂaan hidup akan terjadi bila:
Kawung mabur carulukna (lose generation – hilangnya suatu generasi karena madat dan kurang gizi), Gula leungiteun ganduan (aksi pemerintaÂhan dan pembangunan terlepas dari parameter yang benar), Samak tingaleÂun pandanna (aksi manipulatif yang memuja kepalsuan), Cai herang kintun kiruhna – cai amis karih paitna (pembiÂaran atas kerusakan alam dan lingkunÂgan), Kyai lengiteun aji (para pemuka agama tak makbul lagi do’anya), PanÂdita ilang komara (pejabat – intelektual – budayawan hilang wibawanya), (kaÂrena) Kahuruan ku napsuna (terbakar oleh nafsunya). Isyarat ini, mestinya menjadi cermin kini.