Oleh: MUHAMMAD FIRDAUS
Guru Besar FEM dan Wakil Ketua LAZ IPB

Membuat saya sulit memejamkan mata. Bukan apa-apa, karena baru akhir Nopember lalu ketika saya dapat tugas mempromosi­kan IPB kepada siswa SMA swasta yang memiliki akreditasi tertinggi di Depok, saat memberikan kata penutup bersama dengan calon Walikota yang baru akan menang Pilkada, Ibu ketua Yayasan tetiba mengambil mik dari saya, dan ber­pesan “Prof, IPB itu sudah hebaat, tapi saya mau mengingatkan 25 tahun yang lalu saya sering den­gar anak IPB kena tifus, hepatitis; mungkin karena kurang gizi ya”. Wahh, pesan Ibu kesampaian, ternyata.

Ya, dari banyak judul di me­dia; semua termasuk Menkes muncul dengan komentar yang hampir sama: sanitasi yang buruk atau kantin yang kumuh.

Mahasiswa mengkonsumsi makanan yang tidak higienis karena kantinnya jorok. Hal yang diban­tah secara resmi oleh Humas IPB, seperti di situs detik.com yang meminta maaf atas kesalahan pem­beritaan; menampilkan gambar ge­dung kumuh yang ternyata bukan kantin di dalam kampus.

Ya, untuk kantin di dalam kam­pus, yang saya sendiri hampir se­tiap hari makan di sana, rasanya sudah jauh lebih higienis dari kan­tin di Pasar Anyar Bogor, atau bah­kan dibandingkan beberapa kantin kampus besar lainnya di Indonesia.

Tapi rasanya akar persoalan utama bukan karena sanitasi yang buruk. Saya coba menilik bebera­pa fakta yang mungkin bisa men­jadi penyebab kejadian tersebut. Pertama, IPB adalah salah satu kampus besar yang diminati oleh siswa SMA yang berasal dari ka­langan berpendapatan rendah.

Sudah sejak dulu IPB dikenal sebagai “kampus rakyat”. Den­gan sistem penerimaan mealalui jalur undangan, yang saat ini diad­opsi menjadi sistem nasional, IPB mendapatkan mahasiswa yang be­rasal dari berbagai pelosok Jawa dan luar Jawa.

Sudah sangat banyak cerita mahasiswa IPB yang sukses men­jadi pembesar di kancah nasional dan internasional, dulunya adalah anak-anak yang sekolah dengan sepasang sepatu usang dan hanya punya satu baju seragam.

Penerima beasiswa Bidik Misi, program beasiswa kebanggan Ke­menterian Pendidikan, salah satu yang terbesar ada di IPB.

Jumlah penerima beasiswa ini bisa mencapai hampir sepertiga dari total sekitar 3.500 yang ma­suk ke IPB setiap tahunnya.

Selain dibebaskan dari biaya kuliah, sejak tahun 2010, setiap ma­hasiswa mendapatkan tunjangan biaya hidup 600 ribu sebulan. Jum­lah ini memang tidak pernah naik, meskipun bila dideflasi tentunya nilai ini setara dengan 300 sampai 400 ribu pada lima tahun yang lalu.

Mahasiswa penerima Bidik Misi biasanya sangat mengandal­kan biaya hidup dari uang terse­but. Bahkan tidak jarang, IPB menegur mahasiswa yang men­girimkan sebagian beasiswanya tersebut untuk membantu biaya hidup keluarga di kampungnya; kemudian yang bersangkutan “tunggang langgang” mencari sumber pendapatan lain seperti nyambi memberi les privat.

Bisa dibayangkan, bagaimana saat ini hidup dengan 600 ribu sebulan untuk tempat tinggal, foto copi dan makan, di Bogor, yang tercatat sebagai salah satu kota yang mempunyai standar biaya hidup tertinggi di Indonesia.

BACA JUGA :  SAHUR OF THE ROAD RAWAN DENGAN TAWURAN PELAJAR

Katakan untuk makan dapat disishkan 400 ribuan per bulan. Berarti seorang penerima bidik misi hanya dapat makan nasi saja dua kali sehari dengan lauk maksi­mum sayur dan telur.

Makan dengan harga 6.000 sampai 7.000 sudah cukup layak bagi seorang mahasiswa. Tapi untuk mendapatkan kantin yang menyediakan menu dengan harga tersebut tapi bersih, apalagi higie­nis, rasanya agak sulit saat harga-harga barang dan upah yang se­makin menggila saat ini.

Kantin yang lebih bersih dan higienis di dalam kampus rata-ra­ta menjual satu porsi makan siang dengan harga minimum 8 sampai 12 ribu rupiah.

Bukan hanya persoalan besa­ran, mahasiswa baru masuk yang mengandalkan Bidik Misi tadi pada tiga bulan pertama datang harus kaget karena ternyata bea­siswa tidak langsung diterima.

Selalu berulang setiap tahun, proses birokrasi di Jakarta me­nyebabkan beasiswa mulai bisa diterima bulan Nopember bahkan Desember, padahal mahasiswa su­dah mulai kuliah di IPB sejak bu­lan Agustus.

Selalu IPB setiap tahun menawarkan talangan, yang tentu tidak bisa penuh dan untuk semua penerima beasiswa. Saya sendiri, secara pribadi saat mengajar di kelas sering mengingatkan maha­siswa: “perhatikan teman Anda. Silakan datang ke saya apabila ada teman Anda yang sudah tidak bisa makan karena tidak punya uang.

IPB memiliki Lembaga Amil Zakat, dari potongan ZIS dosen dan pegawai”. Jadi tidak sedikit mahasiswa IPB, terutama di tingkat pertama, yang kadang ha­rus makan sekali sehari karena kondisi beasiswa tersebut.

Bagaimana tidak hepatitis saat kemudian musim hujan di Bogor tiba?? Rentannya tubuh maha­siswa ditambah karena asupan zat yang kurang baik bagi kesehatan.

Pengawet atau pewarna sep­erti Rhodamin B adalah makanan sehari-hari mahasiswa IPB. Selain mi instan, berbagai jajanan khas Sunda semacam Cimol, Cilok atau Cireng adalah santapan favorit, yang sering dicocol dengan bum­bu-bumbu beraneka warna.

Faktor kedua, terdapat sejum­lah mahasiswa di IPB yang bukan penerima beasiswa Bidik Misi, tetapi kondisinya sama bahkan lebih memprihatinkan.

Bisa jadi karena mahasiswa ti­dak well-inform saat di SMA, atau pada perjalanannya terjadi ke­jadian yang menyebabkan kondisi ekonominya berubah, seperti orang tua yang wafat, berhenti kerja atau di-PHK. Kelompok ma­hasiswa tersebut, bisa jadi berada di tingkat pertama (baru masuk) atau yang sudah di tingkat atas.

Persoalan menjadi semakin rumit, karena hukum alam, ma­hasiswa penerima Bidik Misi atau kelompok ini lah yang paling ban­yak menjadi aktivis organisasi di kampus.

Ya, motivasi untuk menjadi orang besar sering lebih kuat dari dari mahasiswa yang berasal dari keluarga ekonomi susah.

Dengan beban perkuliahan dan praktikum di IPB yang mempunyai standar terbaik di Indonesia, dit­ambah aktivitas ekstrakurikuler tentunya akan memakan energi yang tidak sama dengan anak-anak sebaya yang tidak kuliah.

Mungkin inilah faktor lain yang menyebabkan mudahnya mahasiswa terserang penyakit seperti tifus dan hepatitis; kurang gizi tapi aktivitas luar biasa.

Faktor ketiga, di Bogor banyak daerah yang dikenal dengan nama Babakan, yang menurut KBBI diar­tikan sebagai “dusun yang baru”.

BACA JUGA :  SAHUR OF THE ROAD RAWAN DENGAN TAWURAN PELAJAR

Dulu di kampus IPB lama, mahasiswa banyak yang tinggal di Babakan Fakultas, Babakan Peundeuy atau Babakan Pasar. Biasanya tempat tersebut dihuni oleh mahasiswa yang berasal dari keluarga berpendapatan rendah. Mahasiswa yang secara ekonomi mampu akan tinggal di daerah Malabar, perumahan Baranang­siang atau sekitar Taman Kencana.

Di kampus Dramaga sekarang pun, stratifikasi tempat tinggal ter­jadi. Sepeti halnya di kampus lama, mahasiswa kurang mampu akan tinggal di daerah dengan nama depan Babakan: Babakan Raya, Ba­bakan Lio atau Babakan Lebak.

Tidak semua, namun secara umum dengan biaya sewa kamar setahun kurang dari 2 juta per orang, bisa dibayangkan kondisi tempat tinggal mereka: padat, tan­pa ventilasi atau septic tank yang berada di sisi dapur.

Sedangkan mahasiswa yang lebih mampu, akan memilih ting­gal di daerah Jalan Perwira atau perumahan-perumahan di seki­tar kampus. Lengkaplah sudah: kondisi makan yang kurang gizi, aktivitas luar biasa kemudian beristirahat di kamar kost yang sangat minim kondisinya.

Mencermati beberapa faktor di atas, apa yang kemudian sudah dilakukan IPB? Saya cukup senang dengan salah satu berita hasil visi­tasi Dinas Kesehatan Kab. Bogor ke asrama mahasiswa IPB.

Disebutkan, kondisi asarama tidak jorok, namun kurang rapi. Saya, yang pernah diberi amanah memimpin pengelolaan asrama IPB, menyadari dengan kondisi sekarang tentu bukan yang sangat ideal. Mahasiswa masih tinggal berempat dalam satu kamar.

Namun, apabila kebersihan dan ketertiban selalu terjaga, asrama IPB yang tercatat sebagai asrama kampus yang terbesar di Indonesia, merupakan tempat tinggal dengan kenangan terindah selama kuliah.

Idealnya pula, seperti di luar negeri, mahasiswa sampai tamat bisa tinggal di dalam kampus (baca: college). Suatu saat kita bisa harus sampai ke sana. Namun apa yang bisa kita kerjakan sekarang? Tentu menata sanitasi pemuki­man dan warunng-warung makan di sekitar kampus.

IPB yang memiliki program studi Pengolahan Pangan dan Gizi terbaik di Indonesia pasti­nya mampu membuat terobosan bagi pedagang untuk menye­diakan makanan yang sehat, ber­gizi namun juga tidak mahal. Di dalam kampus sudah ada warung “semur” (baca serba murah); namun volume yang dapat dise­diakan masih terbatas.

Bantuan alumni juga sudah relatif banyak dalam bentuk bea­siswa. Bahkan IPB bisa jadi meru­pakan kampus dimana beasiswa paling banyak tersedia dari berb­agai sumber.

Tentu saja dana-dana tersebut bersifat sebagai pelengkap, dan uang bukan satu-satunya faktor penentu seseorang bisa terkena hepatitis; pola atau gaya hidup yang sehat; istirahat yang cukup, olahraga teratur beberapa hal yang perlu dimotivasi kepada semua.

Mencrmati berbagai kondisi di atas, terasa betul perlunya dukungan berbagai pihak untuk menjamin terlaksananya program Pendidikan Tinggi sebagai kunci kemajuan Bangsa.

Adanya rencana Pemerintah pada tahun depan menurunkan anggaran bagi Perguruan Tinggi, termasuk dukungan dalam bentuk beasiswa bagi yang kurang mampu, sampai rencana untuk menghapus­kan kebijakan Ujian Tulis Masuk Perguruan Tinggi yang gratis, tentu­nya patut dipertanyakan. (*)

============================================================
============================================================
============================================================