Geliat pariwisata dan pertumbuhan bisnis Meeting, Incentives, Conferences, dan Exhibition (MICE) di Bogor rupanya membuat investor kian optimistis mengembangkan hotel. Salah satunya yang akan segera rampung tiga bulan lagi adalah Salak Tower Hotel besutan Salak Group. Keberadaan hotel ini pun semakin mengukuhkan Bogor sebagai destinasi bisnis dan konferensi yang cocok untuk taraf nasional hingga internasional.
Oleh : Apriyadi Hidayat
[email protected]
Ya, meski hospitality (keramahtamahan) merupakan dasar dari semua bisnis jasa, naÂmun industri ini identik dengan sektor perhotelan. Di berbagai belahan dunia, industri ini cuÂkup mampu mendongkrak perÂtumbuhan negara dan masyraÂkatnya.
“Menurut saya, ekonomi suatu negara banyak ditentuÂkan oleh hospitality. Misalnya negara Swiss. Mereka tidak puÂnya banyak Sumber Daya Alam seperti minyak, batu bara, kayu, dan lain sebagainya. Tapi, Swiss punya hospitality atau kerahamtamahan dengan menawarkan ke seluruh dunia, kalau mau kumpul, pameran atau menggelar konferensi daÂtanglah ke Swiss, khususnya di Kota Jenewa,†ungkap KomisaÂris Salak Group, Hasan HamÂbali, kepada BOGOR TODAY di sela prosesi penutupan atap (topping off ) Salak Tower Hotel Bogor, Selasa (16/6/2015).
Hasan mencontohkan, jika dua negara antara Amerika dengan Rusia menggelar raÂpat, maka Jenewa, Swiss, dipilih sebagai tempat yang netral dan nyaman bagi keduÂanya. “Swiss bisa memberiÂkan jaminan siapapun yang menggelar konferensi atau pertemuan di Jenewa akan aman, tidak ada gangguan kriminal, tidak akan ada keraÂcunan makan, dan jaminan lainnya. Makanya indsutri hospitality di Jenewa sangat tumbuh pesat,†terangnya.
Hanya bermodalkan keramahtamahan, negara yang luas wilayahnya lebih kecil dari Provonsi Jawa Barat dan Banten ini, sangat membantu dalam meningkatkan pendapaÂtan per kapita masyarakatnya, yakni mencapai USD87.000 per tahun.
“Bahkan Singapura yang luas negaranya lebih kecil lagi, income per kapitanya mencaÂpai di atas USD60.000 per taÂhun. Negara ini sangat menganÂdalkan hospitality. Orang kita merasa bangga jika berbelanja dan berlibur ke Singapura. SeÂmentara, Indonesia yang kaya dengan sumber daya alam hanya memiliki income per kaÂpita USD3.500 per tahun. Kecil sekali,†tandas Hasan.
Lantas, apakah Indonesia bisa seperti Swiss atau SingapuÂra? Hasan menjawab dengan tegas, “Bisa!.†Menurut Hasan, bergairahnya sektor perhoteÂlan di berbagai kota di IndoneÂsia, termasuk Bogor, menjadi bukti bahwa industri ini sedang berjalan ke arah yang hampir sama dilakukan oleh negara-negara tersebut.
“Bogor ini sangat mirip dengan Jenewa. Pemandangannya ada, dekat dengan bandara, hotel menjamur dengan kurang lebih ada 50 brand hotel, conÂvention juga ada. Tinggal bagaimana kita mengemasnya saja. Pemerintah sebenarnya ingin seperti itu. Namun, seluÂruh stakeholders belum bergerak bareng. Untuk mengemÂbangkan industri ini tidak bisa jalan sendiri-sendiri,†kata ahli perminyakan yang nyebur di bisnis hotel ini. .
Mengenai SDM, kata Hasan, Bogor sudah bisa bersaing dengan kota-kota besar lainnya. Tumbuhnya jenjang pendidiÂkan mengenai perhotelan dan pariwisata turut mendorong kompetitifnya SDM. “Kalau diÂberi kesempatan bisa semua. Seperti di Salak Tower ini 90 persen lebih itu karyawannya berasal dari Bogor. Sekolah perÂhotelan juga banyak. Banyak juga yang sudah menguasai baÂhasa asing,†tandasnya.
Namun, yang perlu dipacu, lanjut dia, adalah gelaran event-event bertaraf internasional. “Padahal kita ada perguruan tinggi ternama, bahkan sudah dikenal dunia. Harusnya kita bisa banyak menggelar kegiaÂtan konferensi internasional. Belum lagi di bidang lain. Atau kalau perlu Konferensi Asia Afrika nanti harus digelar di Bogor, tidak di Bandung. KaÂrena sejarah mencatat KAA itu tercetus dari Istana Bogor,†pungkasnya.