KORAN Bogor Today, Senin (18/05) pada salah satu rubriknya mengangkat judul “Perda KTR Tertusuk Djarumâ€. Setelah membacanya, sebagai warga Kota Bogor bersama Organisasi Masyarakat Sipil lain yang dulu pernah ikut mendukung terbitnya Perda No. 12 Tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok, disingkat Perda KTR, kembali mempertanyakan kembali konsistensi Walikota Bima Arya Sugiarto dalam menegakkan Perda aquo.
Oleh: FIRMAN WIJAYA, S.H.
 Walaupun akhirnya Perhelatan Sirkuit Nasional Li Ning Djarum Jawa Barat Open di GOR Pajajaran dipindah ke Pusat Pelatnas Bulutangkis Cipayung, Jakarta. Peristiwa ini menunjukkan kemauan politik (political will) Walikota Bogor masih lemah dalam menegakkan Perda KTR. Terlepas pada kasus aquo terdapat dissubordinasi atau mungkin adanya oknum yang bermain di perizinan. Jika tidak lemah, upaya “coba-coba†yang dilakukan industri rokok untuk menggelar promosi/iklan “berkedok†kegiatan olahraga di Kota Bogor tidak akan terjadi karena ketatnya regulasi lokal terkait sponsorship industri roÂkok yang mengatur, diantaranya Perda No. 12 Tahun 2009 TenÂtang Kawasan Tanpa Rokok jo. Perwali No. 7 Tahun 2010 TenÂtang Petunjuk Pelaksanaan Perda No. 12 Tahun 2009 Tentang KaÂwasan Tanpa Rokok jo. Perwali No. 3 Tahun 2014 Tentang Larangan Penyelenggaraan Reklame Produk Rokok di Kota Bogor.
Tudingan adanya dana asing miliran rupiah mengalir dalam kampanye pengendalian temÂbakau (tobacco control) di Kota Bogor memang tidak perlu dibantah, proyek filantropi itu faktanya masih berlanjut dan mengalir ke salah satu LSM loÂkal di Kota Bogor hingga kini. Hal tersebut menjadi mafhum karena gerakan pengendalian tembakau kini sudah menjadi isu global. Namun kini yang patut diÂapresiasi adalah politik anggaran kesehatan Pemkot Bogor sangat pro KTR. Pemkot telah mengangÂgarkan Rp 600 juta rupiah untuk program Penerapan KTR (lihat : Kode 1.02.1.02.01.19.06 di PerÂwali No. 83 Tahun 2014 tentang Penjabaran APBD Tahun AngÂgaran 2015). Pertanyaannya kini dengan anggaran yang cukup besar tersebut, apakah bisa menÂjamin efektifitas dan konsistensi penegakan Perda KTR di Kota Bogor ?. Selanjutnya, apakah Hari Tanpa Tembakau Sedunia (HTTS), tanggal 31 Mei 2015 nanti masih menjadi magnet bagi peÂgiat tobacco control di Kota BoÂgor untuk rekonsolidasi?
HTTS merupakan sebuah peringatan yang digagas WHO, vide resolusi PBB WHA42.19 dengan tujuan untuk membangun kesadaran global akan bahaya pengguÂnaan produk tembakau. Menurut WHO paling tidak telah membuat 5,4 juta jiwa meninggal dunia karena penyakit yang diakibatkan produk tembakau. HTTS juga merupakan salah satu ajang penggalangan dukungan atas kebijakan politik yang efektif dalam mengurangi konsumÂsi produk tembakau. WHO dalam HTTS tahun 2015 mengambil tema “Waspada! TemÂbakau Ilegal†(Beware! Illegal Tobacco). Tema ini diangkat WHO karena peredaraan temÂbakau ilegal saat ini sudah sangat tak terkendali.
Indonesia merupakan surÂga bagi industri rokok, karena dinegeri ini tembakau dan cukai sangat murah tapi konÂsumen melimpah, ditambah permisifnya regulasi nasional. Itulah faktor yang membuat seÂmakin nyaman industri rokok di negeri ini, sehingga beberapa kapitalis besar industri rokok dunia mengakuisisi beberapa peÂrusahaan rokok besar di IndoneÂsia. Sebaliknya dinegara maju, inÂdustri rokok adalah industri yang diawasi ketat oleh pemerintah. Cukai yang tinggi dan tidak bisa dijual sembarangan, tidak bisa dikomersialisasikan sesuka hati, sehingga tidak ada iklan-iklan rokok dipelbagai sisi dan sudut seperti dinegeri ini. Fakta lainÂnya diluar negeri industri rokok ilegal dianggap sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime).
Menurut FX. Wikan Indarto (2015) satu dari sepuluh batang rokok yang dikonsumsi diseluÂruh dunia adalah ilegal. Hal ini menyebabkan perdagangan ileÂgal produk tembakau menjadi masalah global utama dari berÂbagai perspektif, termasuk keÂsehatan, hukum, ekonomi dan lainnya. Sehingga untuk menÂgantisipasinya banyak negara yang telah meratifikasi protokol untuk menghentikan perdagangan gelap produk tembakau (the protocol to eliminate illicit trade in tobacco product) yang diadopsi tanggal 12 November 2012 di Seoul, Republik Korea.
Namun faktanya Indonesia hingga kini belum meratifikasi maupun mengaksesi Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (Framework ConvenÂtion on Tobacco Control) mauÂpun Protokol untuk MenghentiÂkan Perdagangan Gelap Produk Tembakau (The Protocol to ElimiÂnate Illicit Trade in Tobacco Product). Padahal konsumsi produk tembakau Indonesia kini bukan hanya menjadi masalah kesehatÂan, tetapi juga sudah menjadi maÂsalah ekonomi dan sosial.
Untuk itu HTTS Tahun 2015 harus bisa menjadi momentum rekonsolidasi pegiat tobacco control untuk mendesak Pemerintahan Jokowi-JK segera ratifiÂkasi dan aksesi atas dua konvensi PBB tersebut. Walaupun pada tingkat provinsi, kabupaten dan/ atau kota di Indonesia peneraÂpan KTR sudah semakin maju. Hal itu ditunjukkan dengan semakin meningkatya jumlah provinsi, kabupaten dan/atau kota yang menerbitkan Perda KTR, terakhir adalah Perda No. 3 Tahun 2014 Tentang Kawasan Tanpa Rokok yang diterbitkan Pemerintah Kota Depok.
Penegakan Perda KTR
Penegakan hukum sebagai suatu proses sosial, bukanlah proses tertutup tapi proses yang melibatkan lingkungannya. Oleh karena itu penegakan hukum akan berinteraksi dengan lingÂkungannya, diantaranya unsur manusia, sosial, budaya, politik dan lainnya (Rahardjo : 1977).
Jadi penegakan hukum dipengaruhi oleh berbagai kenyataan dan keadaan yang terjadi dalam masyarakat. Seperti yang diseÂbutkan oleh Soerjono Soekanto (1986), bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan huÂkum diantaranya : (1) hukumnya sendiri, (2) penegak hukumnya, (3) sarana/ fasilitas, (4) masyaraÂkat, dan (5) kebudayaan. Faktor-faktor ini saling keterkaitan dan memiliki arti yang netral, sehingÂga dampaknya, baik positif mauÂpun negatif terletak pada faktor-faktor tersebut. Kelima faktor yang disebutkan bisa menjadi parameter efektifitas penegakan Perda KTR, karena merupakan esensi dari penegakan hukum.
Sebagai sebuah produk huÂkum, secara materiil Perda KTR sangatlah responsif. Fakta hukÂumnya (recht feitelijk) Perda KTR sangat sesuai dengan kebutuhan masyarakat terutama untuk melindungi para perokok pasif. Pemkot Bogor sadar bahwa tidak ada batas aman untuk paparan asap rokok. SehaÂrusnya (das sollen) semakin responsif suatu produk hukum akan memungkinkan seÂmakin baik penegakannya. NaÂmun faktor penegak Perda mungÂkin yang menjadi masalah saat ini. Secara yuridis disebutkan dalam Pasal 148 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah bahwa : “untuk membantu kepala daerah dalam menegakkan PERDA dan penyeÂlenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat dibenÂtuk Satuan Polisi Pamong Praja†.
Kenyataannya (das sein) kuanÂtitas dan kualitas aparatur Satpol Pamong Praja Kota Bogor sebagai garda terdepan dalam penegakan Perda tidak sebanding dengan jumlah Perda yang relatif banyak. Selain itu harus dipahami bahwa secara sosiologis-hukum, yang menentukan proses penegakan Perda ini tidak hanya domain penegak Perda an sich, tapi juga para pihak yang terlibat dalam pembuatan Perda ini. Sehingga dalam penegakan Perda KTR ini, antara legislatif, eksekutif dan yuÂdikatif harus sinergis.
Upaya penindakan melalui operasi Tindak Pidana Ringan (Tipiring) sebagai sarana penegakan Perda KTR harus diirÂingi dengan upaya pencegahan seperti diatur dalam Pasal 27 Perda KTR mengenai sanksi adÂministratif, sehingga penegakan menjadi maksimal. Selain itu sarana yang penting lainnya anÂtara lain mencakup kemampuan aparatur penegak Perda, pengorganisasian yang baik, peraÂlatan penunjang dan anggaran yang cukup. Faktor kesadaran masyarakat, semakin tinggi kualÂitasnya maka semakin memungÂkinkan penegakan Perda KTR berjalan dengan baik dan begitu pula sebaliknya. Harus diakui bahwa ini membutuhkan kerja keras dari Pemkot Bogor, karena budaya hukum di Kota Bogor beÂlum terlalu progresif, khususnya kepatuhan terhadap Perda.
Konsistensi, mungkin itu kunci bagi Walikota Bogor dalam penegakan Perda KTR dan itu merupakan keniscayaan politik-hukumnya. Dengan segala sumÂber daya yang ada pada Pemkot Bogor, terutama anggaran yang cukup besar dalam penerapan KTR pada tahun 2015, seharusÂnya Perda KTR efektif memberiÂkan perlindungan kepada maÂsyarakat Kota Bogor dari bahaya paparan asap rokok. Karena hal itu akan memenuhi ekspektasi masyarakat Kota Bogor terhadap Bima-Usmar yang dalam kampaÂnye Pemilukada Kota Bogor 2013 lalu berjanji akan “Menjadikan Bogor Kota yang sehat dan makÂmur†sebagaimana visi-misinya, wallahu a’lam bissowab. (*)