Anom Surya Putra, SH

‘Pamulang of Inclusive Law’

 

Konflik transportasi ‘online’ dan angkutan kota di Bogor, mengejutkan publik. Walikota Bogor Bima Arya cepat mengantisipasinya melalui penyediaan angkutan alternatif dan rangkaian mediasi antarpihak. Terciptalah suasana ’gencatan senjata’ yang dijamin dengan peraturan kebijakan dari pusat, khususnya tentang penentuan tarif atas dan tarif bawah (revisi Permenhub No. 32/2016 Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek).

Benarkah isu tarif ini menjadi sentral dari masalah hukum transportasi kita? Transportasi ’online’ dan konvensional sudah menyatu bagaikan ’minyak dan air’ dalam satu gelas, tapi butuh cita etis untuk ‘hidup bersama’ dalam suatu sistem transportasi publik. Masalah tarif atas dan bawah hanyalah puncak gunung es dari problematika hukum dan masyarakat transportasi. Kebijakan hukum transportasi sedang berada pada persilangan antara kekuasaan negara untuk mengatur transportasi dan kebebasan aktor korporasi dalam berbisnis lintas batas negara.

BACA JUGA :  JELANG LAGA MALAM INI, TIMNAS VS AUSTRALIA

Semiotika Hukum ‘TNCs’

Realitas objektif konflik antar penyelenggara transportasi publik membuka mata kita tentang hukum dan masyarakat transportasi. Secara fundamental, konflik itu berada dalam relasi korporasi, negara, dan warga negara. Perusahaan yang mengelola Uber, Grabb, Go-Jek dan semacamnya adalah subjek hukum baru dalam sejarah transportasi publik. Selain itu, komposisi saham sampai dengan terobosan manajerialnya memungkinkan mereka untuk ekspansi lintas-batas negara, melalui asas kebebasan berkontrak dan pengetahuan manajemen transnasional.

BACA JUGA :  KUSTA, KENALI PENYAKITNYA RANGKUL PENDERITANYA

Terbitnya suatu peraturan menteri (delegated legislation) ataupun revisinya, tak menjamin peristiwa konflik itu akan reda. Jakarta, Depok, dan Bogor, sudah terbukti sebagai lokus dari konflik layanan transportasi ‘online’ dan konvensional. Hukum Inklusif berupaya cermat untuk menyatukan pandangan jurisprudence (ilmu hukum doktriner) dan sociology of law (sosiologi hukum), ibarat ‘minyak dan air’ dalam koeksistensi pengetahuan Hukum –yang sebangun dengan masalah transportasi ‘online’ dan ‘konvensional’ itu sendiri.

============================================================
============================================================
============================================================