Oleh: MUH ARIEF ROSYID HASAN
Ketua Umum PB HMI Periode 2013-2015
Bersamaan dengan itu, umat muslim di belahÂan bumi lain menyembelih hewan ternak sebagai bentuk ibadah qurban. Baik ibadah haji maupun ibadah qurban merupakan pengÂingat sekaligus peringatan tentang keteladanan manusia agung IbraÂhim beserta keluarganya.
Dalam konteks Indonesia, Idul Adha kali ini diharapkan tak berhenti pada pelaksanaan ritual keagamaan di tanah lapang dan masjid saja, atau pun dianggap selesai ketika hewan ternak telah disembelih. Namun peringatan hari raya Idul Adha semestinya menjadi tanda pengagungan terÂhadap tradisi besar Islam, sekalÂigus memberi jeda tafakkur dan tadabbur pada umat Islam di InÂdonesia tentang keberlangsungan kehidupan sosial keagamaan kita yang tak kunjung reda dari krisis kemanusiaan.
Kita bisa membaca kembali kisah ini, ketika Ibrahim di usia tua dan telah lama menanti keÂhadiran anak, akhirnya mendapat karunia kelahiran Ismail kecil, naÂmun kebahagiaan sementara ini harus dihadapkan dengan perinÂtah Allah SWT untuk menyembeÂlih Ismail. Sepenuh kesabaran dan keikhlasan keduanya berserah diri (aslama) akan perintah Allah SWT, hingga sampai saat Ibrahim memÂbaringkan Ismail di saat itu pula kontan Allah SWT menebus Ismail dengan seekor sembelihan yang besar. (QS Ash Shaaffaat,100-111).
Peristiwa inilah yang kemuÂdian menjadi dasar disyariatkanÂnya ibadah Qurban dilakukan pada hari raya Idul Adha. Pada kisah ini kita tak hanya terceÂnung mendapatkan keikhlasan dan kepatuhan Ibrahim yang rela merelakan anaknya terkasih, naÂmun juga juga betapa hebatnya kesediaan Ismail untuk mengorÂbankan dirinya sendiri demi pangÂgilan suci dari Allah Swt.
Dalam hal lain, begitupun perintah berhaji ke Baitullah (Al-Qur’an surah Al-Hajj ayat 26-37), bukan hanya sekedar formalitas untuk meraih sebutan haji atau meningkatkan status sosial keÂagamaan belaka, namun terdapat makna yang mendalam di balik rangkaian ibadah yang agung ini.
Menurut Komaruddin HiÂdayat, ibadah Haji yang diawali dengan menanggalkan pakaian sehari-hari dengan menggunakan pakaian ihram (pakaian putih yang amat sederhana) mengandung makna kita melepaskan pakÂaian keseharian yang merupakan refleksi keakuan serta simbol staÂtus sosial kita menuju kesamaan derajat kita sebagai manusia di hadapan Allah SWT. Karena tak ada yang lebih unggul di mata AlÂlah dari yang lain kecuali karena kualitas taqwanya.
Menjadi Islam Aktual
Pertanyaan yang kemudian mencuat di benak kita, seberapa bermakna rangkaian ritual ini bagi umat Islam? Apa makna yang diÂdapat di saat jutaan umat Islam InÂdonesia tiap tahunnya mendapatÂkan libur untuk memperingati perayaan Idul Adha, dapat berÂkumpul di tanah lapang atau masjid-masjid untuk mengagungÂkan kebesaran-Nya, menyembelih jutaan hewan Qurban, dan tiap tahun pula mengirimkan masyaraÂkatnya untuk berhaji? Bukankah Shalat Idul Adha, penyembeliÂhan hewan Qurban, dan berhaji mempunyai nilai sejarah tentang keikhlasan, kepatuhan, kepasraÂhan, dan berserah diri? Atau meÂmang bagi kita, shalat Idul Adha, penyembelihan hewan Qurban, dan ibadah haji tak lebih sekedar ritual tahunan yang tidak memÂberi makna apapun?
Dengan kembali kepada makÂna asal Islam (aslama) – berserah diri, kepasrahan – Murtadha MuÂtahhari, seorang alim besar dari Iran, menjelaskan dua macam kepasrahan. Pertama, Islam fisik atau Islam Geografis ketika manuÂsia pasrah kepada seseorang atau sesuatu karena terpaksa atau kareÂna mengikuti lingkungannya. MuÂtahhari menyebut istilah al-islâm al-jughrâfî kepada mereka yang lahir, hidup, dan mati dalam lingÂkungan Islam. Kedua, Islam aktual atau al-islâm al-wâqi’î . Islamnya orang yang sudah pasrah kepada kebenaran dengan hatinya. Ia mengamalkan kebenaran yang diyakininya setelah ia menerima kebenaran itu melalui pencarian atau penelitian tanpa fanatisme.
Meninjau perilaku keislaman kita hari ini, mestinya momen hari raya Idul Adha ini menjadi cermin untuk mengintrospeksi diri, apakÂah yang telah kita lakukan hari ini sudah sesuai dengan kebenaran Islam, ataukah sekedar ikut-ikutan fenomena sesaat tanpa ikutan makna yang meyertainya. TentuÂnya menjadi keharusan bagi umat Islam hari ini untuk tidak sekedar berkutat dengan Islam fisik atau Islam geografis, tetapi lebih dari itu yakni Islam aktual, yang kita imani, ilmui, dan amalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Memulai Gotong Royong
Setelah masing-masing kita mencoba membumikan islam akÂtual, maka tanggung jawab beriÂkutnya adalah bagaimana agar kita dengan kesadaran yang sama bergerak dalam satu barisan. GoÂtong royong, yang menjadi budaÂya kita sejak bangsa ini didirikan, harus diarahkan dalam menunaiÂkan kebaikan.
Sebagaimana yang dibahaÂsakan oleh Rhenald Kasali, bahwa untuk melakukan perubahan-peÂrubahan besar-besaran kita memÂbutuhkan kolaborasi besar-besaÂran. Juga dalam QS Ali Imran 104 ditegaskan agar ada sekelompok di antara kita yang menyeru kepaÂda kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung. Dengan semangat gotong royong tersebut, maka peringatan Idul Adha akan menjadi momentum yang sangat berarti untuk mengurai persoalan atau setiap masalah yang sedang menyelimuti kehidupan berbangÂsa dan bernegara kita.
Kedzaliman atau kejahatan terorganisir yang selama ini mengÂgerogoti bangsa ini akan berhaÂdap-hadapan dengan kolaborasi besar-besaran oleh mereka yang senantiasa memperjuangkan keÂbaikan. Segala masalah yang tak habis-habisnya bersimaharajalela sejak hilir hingga hulu kehidupan berbangsa kita dapat direduksi seÂcara berjamaah sehingga sampai kepada perbaikan menyeluruh. Itulah makna qurban yang perlu kita bumikan. (*)