TITIK pangkal masalah sosial-ekonomi di Ibu Kota Jakarta adalah kemampuan luasan lahan yang tidak mampu menampung populasi penduduk dengan segala aktifitasnya. Jakarta adalah kota metropolitan yang masuk ke dalam kelompok 5 kota terpadat di dunia. Total luasan Jakarta sekitar 661,52 Km2 dengan jumlah penduduk 12,7 juta di waktu siang dan 9,9 juta di waktu malam. Artinya, ada penambahan penduduk 2,8 juta dari Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Bodetabek) yang bekerja di dalam kota Jakarta di siang hari. Ketidak-mampuan menampung populasi inilah yang akhirnya menyebabkan masalah yang selama ini dihadapi oleh Pemda DKI.
Oleh: Nurkhamid Alfi
Chief Representative Zelan Holdings Sdn Bhd
Menjabat sebagai Pemimpin di DKI Jakarta dengan kerumitan maÂsalah yang sudah sampai kata “susah†diurai itu, membutuhkan bukan hanya keÂpopuleran semata, tetapi perkawiÂnan antara tiga sikap yang tidak bisa dipisahkan: sikap kepintaÂran, kejujuran, dan keberanian. Kepintaran dibutuhkan untuk melakukan indentifikasi masalah dan mencari solusi atas masalah. Keberanian dibutuhkan untuk melaksanaan dan memutuskan atas solusi yang telah diperoleh. Sementara kejujuran adalah akhlak mulia yang menuntun PeÂmimpin untuk menjadi amanah.
Macet: Musuh Utama Warga Kota
Masalah pokok Jakarta yang sampai saat ini masih belum terÂpecahkan adalah (1) Kemacetan dan Transportasi masal; (2) BanÂjir dan sistem drainage umum; (3) Perwajahan kota yang tidak manusiawi dan kumuh; (4) Tata-kelola dan adminisitrasi kota; (5) Kemiskinan kota. Namun, tulisan ini hanya akan berbicara pada satu masalah saja, yakni: upaya mengatasi kemacetan denÂgan mengekplorasi kemampuan transportasi masal dan meneÂjemen pengelolaannya. Ikhtiar untuk mengatasi kemacetan perlu terus dilakukan, karena ia (kemacetan) adalah musuh utama kota Jakarta, yang selalu dirasakan oleh semua lapisan maÂsyarakat kota setiap hari.
Kenapa menjadi musuh utaÂma warga? Menurut penelitian Japan International Cooperation Agency ( JICA) tahun 2004, bahÂwa akumulasi kerugian ekonomi warga akibat macet sebesar Rp 65 triliun per tahun. Kerugian ini terdiri atas Rp 28,1 triliun unÂtuk tambahan biaya operasional kendaraan dan Rp 36,9 triliun unÂtuk waktu perjalanan yang lebih lama. Itu penelitian lama di tahun 2004. Penelitian terbaru, seperti yang dilakukan oleh Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) bahwa warga Jakarta dan sekiÂtarnya ( Jabodetabek) telah diruÂgikan oleh kemacetan sebesar Rp 150 trilian per tahun. Sebuah kerugian amat sangat besar yang melebihi Anggaran Pendapatan dan belanja Daerah DKI Jakarta 2016 yang “hanya†mencapai Rp 67,1 triliun.
Ikhtiar Mengurai Kemacetan
Kemacetan timbul dikarenaÂkan tidak sebandingnya antara laju jumlah kendaraan dengan volume jalan raya yang tersedia. Penambahan jalan-jalan baru susah diadakan karena keterbaÂtasan lahan. Jadi logikanya, JakarÂta akan terbebas dari kemacetan jika jumlah kendaraan berbandÂing lurus dengan luasan jalan yang tersedia. Sehingga, secara matematis bisa dikatakan, kondiÂsi jalan tidak akan macet jika ada upaya pengurangan kendaraan bermotor secara massif di JakarÂta. Maka, tidak ada cara lain kecuÂali membatasi jumlah kendaraan yang berada di atas jalan Jakarta. Badan Pusat Statistik DKI Jakarta mencatat jumlah kendaraan berÂmotor di Ibu Kota pada 2014 menÂcapai 17,52 juta unit atau melonÂjak 46% ketimbang 2010. Artinya, setiap tahunnya laju kenaikan jumlah kendaraan di Ibu Kota sebesar 11,5% per tahun.
Jika tidak dibatasi, maka kendaraan yang akan memakai jalan di Jakarta pada 2020 sekitar 25,5 juta unit, baik roda dua mauÂpun empat. Anda bisa membayÂangkan akan berubahnya jalan raya menjadi ruang parkir rakÂsasa akibat kemacetan.
Transportasi umum seperti bus-way, Commuter-Line, Trans- Jakarta yang telah ada, belum mampu mendorong warga untuk menanggalkan kendaraan pribÂadinya karena ketiadaan fasilitas pendukung. Kalangan Menengah ke Atas (bermobil) tetap mengalaÂmi kesulitan memakai transportasi umum untuk menuju ke stasiun dan terminal, yang tetap macet dan tidak nyaman. Bahkan LRT (Light Rail Transit) dan MRT (Mass Rapid Transit) sekalipun, yang saat ini sedang dalam proses pengerÂjaan, tidak akan bisa mengatasi kemacetan secara efisien jika tidak ada terminal induk sebagai penduÂkungnya secara integral.
Perencanaan transportasi Jakarta tidak bisa dilakukan seÂcara parsial seperti sekarang ini. Ia (transportasi) membutuhkan perencanaan transportasi pubÂlik yang terintegrasi, tidak sepoÂtong-sepotong untuk mengurai kemacetan. Ibarat aliran air, haÂrus dipikirkan proses aliran dari sumber air sebagai aliran induk ke aliran-aliran sekunder dan tersier. Orang membawa mobil dari rumah, dan bisa memarkir mobilnya dengan aman di termiÂnal induk. Selanjutnya, menuju pusat kota memakai transportasi umum yang nyaman untuk samÂpai ke stasiun / terminal pengÂumpan yang paling dekat dengan kantornya masing-masing.
Karena itu ada baiknya diÂpertimbangkan pembuatan gerÂbang pintu utama masuk Jakarta dari sisi Timur (arah Bekasi), sisi Selatan (arah Bogor dan DeÂpok), dan dari sisi Barat (arah Tangerang). Gerbang-gerbang pintu itu dilengkapi dengan mass Integrated terminal (MIT), sebuah terminal induk terpadu, yang luÂasnya hektaran dan bertingkat, dan berfungsi sebagai tempat parkir kendaraan bermotor bagi siapapun yang akan masuk ke JaÂkarta. Dari MIT itu, dihubungkan berbagai transportasi massal sepÂerti LRT, bus-way, Trans-Jakarta, commuter-Line dan sebagainya dalam jumlah yang cukup, yang akan membawa penumpang ke berbagai sudut di kota Jakarta, yang memungkinkan orang berÂjalan kaki menuju tujuannya maÂsing-masing.
Seperti di KL Sentral, Kuala Lumpur-Malaysia, MIT dibuat bukan hanya tempat parkir “kerÂingâ€, tetapi dibuat yang menyÂenangkan dengan dilengkapi arena belanja, Mal, entertainÂment, dan sebagainya. Sehingga para pengguna merasa butuh untuk menikmati fasilitas itu. Untuk MIT di daerah timur bisa memakai daerah Cawang yang tanahnya masih luas. Sementara dari Selatan dan Barat, masing-masing bisa menggunakan daeÂrah Cibinong / Cibubur dan SerÂpong.
Untuk membangun fasiliÂtas itu semua, seperti di Negara lainnya, Pemda DKI bisa menÂgundang pihak swasta dengan skema Public Private Partnership dan sistim BOT (Build – Operate – Transfer) dengan konsesi terÂtentu. Sehingga dari segi financÂing tidak ada masalah mengingat banyaknya mobil yang ada di daeÂrah Jabodetabek.
Tentu saja, bagi kalangan tertentu masih tetap saja butuh mobil untuk aktifitasnya di dalam kota walaupun membayar denÂgan mahal. Untuk mengantisipasi dan mengakomodasi kalangan ini, seperti yang telah dilakukan oleh Singapura, maka diberlakuÂkan sistem jalan berbayar atau electronic road pricing (ERP). Sistem ini terbukti akan efektif untuk mengurai kemacetan kota, karena biaya yang akan dikeluarÂkan oleh pemilik kendaraan lebih mahal dibandingkan dengan meÂmarkir kendaraannya di MIT. SeÂmentara itu dana yang diperoleh dari jalan berbayar (ERP) bisa dialokasikan untuk mensubsidi tarif bagi warga pengguna traÂsportasi umum. Dengan demikiÂan, pengguna transportasi umum akan dimanjakan dengan tarif yang murah, aman & nyaman, dan waktu tempuh yang lebih singkat.
Beriringan dengan penataan transportasi massal, penataan wajah kota juga harus dilakukan secara massif pula. Pabrik-pabrik yang masih beroperasi di dalam kota harus diaudit Amdal-nya. Jika terbukti menyalahi aturan, tidak ada pilihan lain kecuali di relokasi ke luar kota dengan mempertimbangkan asas saling menguntungkan. Artinya, meneÂjemen pabrik diberi kompensasi dengan sistem ganti untung. LaÂhan bekas pabrik tersebut diÂubah menjadi Apartemen Umum untuk tempat tinggal golongan bawah atau menengah.
Pemindahan pabrik-pabrik yang saat ini masih berada di dalam kota, akan mempermuÂdah sistem penataan transportasi yang sangat efektif untuk menguÂrangi jumlah kendaraan masuk Ibu Kota Jakarta. Bahkan, penamÂbahan Apartemen diharapkan mengurangi jumlah kendaraan yang masuk ke kota. (*)
Ide yg bagus namun tuk membangun mass integrated terminal itu membutuhkan lahan dan bea yg sangat mahal.Perlu persamaan visi-misi antara eksekutif dan legislatif baik tingkat DKI maupun pusat.