Ketergantungan Indonesia terhaÂdap Bahan Bakar Minyak (BBM) dan gas impor ternyata sanÂgat tinggi. Selama ini, unÂtuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, Indonesia haÂrus impor 50 persen dari toÂtal kebutuhan. Sementara, gas harus impor 70 persen.
Seperti diketahui, keÂbutuhan BBM di Indonesia saat ini mencapai 1,6 juta barel per hari (bph). NaÂmun, kapasitas kilang minÂyak di dalam negeri hanya 850.000 bph, sisanya harus dipenuhi dari impor.
“Cadangan minyak bumi kita yang semakin menurun, kapasitas kilang kita yang hanya sekitar 850.000 bph, sementara kebutuhan kita 1,6 juta bph. Ini membuat 50% dari kebutuhan itu harus diimpor,†kata Deputi BiÂdang Usaha Energi, Logistik, dan Pariwisata Kementerian BUMN, Edwin Hidayat Abdullah dalam konferensi pers di Kantornya, JaÂkarta, Jumat (26/2/2016).
Berbagai langkah dilakukan pemerintah untuk mengurangi ketergantungan pada BBM impor. Pertama, dengan program manÂdatori biodiesel 20% (B20), yakni mencampur BBM dengan 20% biodiesel dari minyak sawit yang diproduksi di dalam negeri. “Kita harus komit mengenai program biofuel, yaitu sekarang B20,†tuturnya. Â
Kedua, PT Pertamina sebagai BUMN perminyakan nasional dimÂinta giat mencari cadangan minyak baru. Tak hanya di dalam negeri, Pertamina diminta juga menguasai cadangan minyak di luar negeri.
“Kita kan sudah ada program-proÂgramnya, untuk dari Pertamina itu mengenai continuing exploration, tetap kita harapkan ketika harga seÂdang jatuh di bawah, Pertamina haÂrus mencari sumber-sumber baru untuk minyak. Tidak hanya di dalam negeri tapi juga jika ada sumber yang bisa dibawa pulang dan diakuisisi indonesia kita juga mendorong itu,†tukas dia.
Selain itu, pemerintah juga akan meningkatkan kapasitas kilang-kilang yang sudah ada, dan membanÂgun kilang minyak baru.
“Pembangunan kilang, kalau yang grass root refinery yang sudah dibahas di high level itu ada di dua tempat, di Bontang dan di Tuban. Sementara RDMP, yaitu mengopÂtimalkan kapasitas refinery yang sudah ada itu ada 4, di Cilacap, Balongan, Dumai dan Balikpapan. Yang menjadi first stage mungkin akan di Cilacap sama Balikpapan,†tutupnya.
Gas Juga Impor
Sementara itu, sekitar 70% dari kebutuhan Liquid Petroleum Gas (LPG) di Indonesia harus dipenuhi dari impor. Ketergantungan pada energi impor menggerus cadangan devisa, dan sebenarnya bisa memÂbahayakan kedaulatan negara.
Untuk menekan impor LPG ini, pemerintah mendorong penggunaan gas bumi yang ketersediaannya maÂsih melimpah dari dalam negeri, tak perlu impor. Pembangunan jaringan gas kota akan terus dilakukan, agar konsumsi LPG bisa ditekan.
“Kita akan menggunakan jaringan gas kota. Kenapa gas kota? Dengan adanya sistem jaringan gas kota bisa mengurangi impor LPG yang cukup besar saat ini, selain itu harganya lebih murah. Selama ini kan LPG maÂsih 70% impor, itu membuat defisit di energi kita, kan berat,†kata Edwin Hidayat.
Selain untuk mengurangi impor LPG, dia menambahkan, pengguÂnaan gas bumi juga perlu ditingÂkatkan guna menekan impor BBM. “Untuk kendaraan laut dan darat, pembangunan SPBG (Stasiun PenÂgisian Bahan bakar Gas) juga kita minta untuk tetap dijalankan. SekiÂtar 50% kebutuhan BBM nasional itu impor. Dengan adanya konversi BBM ke BBG tentu kita lebih menÂgoptimalkan keberadaan energi dalam negeri,†paparnya.
Gas bumi juga dibutuhkan unÂtuk bahan bakar pembangkit-pembangkit listrik. Hingga 2025, penggunaan gas dalam bauran enÂergi untuk pembangkit listrik harus mencapai 25%. Untuk itu dibutuhÂkan infrastruktur gas bumi yang terintegrasi agar pemanfaatannya optimal.
“Jadi kita punya target bahwa integrasi jaringan pipa pulau SumaÂtera itu mencapai 2.700 km, juga peningkatan energi yang disalurÂkan sampai juga ke wilayah IndoÂnesia Timur untuk distribusi LNG karena banyak pembangkit pemÂbangkit PLN itu di Indonesia Timur akan menggunakan juga gas,†tuÂtupnya.
(Alfian M|dtc)