PEMERINTAH berencana sekuat tenaga untuk mewujudkan jawa sebagai sentra produksi. Hal ini wajar karena jawa termasuk kawasan luasan sawah yang luas pada saat dibandingkan dengan wilyah lain di Indonesia. Jika kita buat peringat ada tiga propinsi dengan sawah terluas diIndonesia. Menurut BPS (2014), luas sawah dipropinsi jawa barat 180952 Ha, jawa timur 240273 Ha, jawa tengah 268790 Ha.
Oleh: Bahagia, SP., MSc. S3 IPB
Peneliti, dan Dosen tetap Universitas Ibn Khaldun Bogor
Cita-cita kita untuk mewujudkan sentra pangan menemui jaÂlan buntu pada saat kota-kota pangan diatas dihadapkan dengan benÂcana iklim. Banjir, sebagai damÂpak anomali iklim yang ekstrim, dapat menyebabkan tergangguÂnya produksi pertanian.
Perubahan Iklim itu sendiri diakibatkan meningkatnya gas emisi termasuk CO2 dan CH4 di udara. Lima tahun terakhir gas emisi ini meningkat diudara. Menurut BPS (2013), tahun 2007 (849882 ton), 2008 (890334 ton), 2009 (972887 ton). Sedangkan untuk CH4 tahun 2007 (125226 ribu ton), 2008 (123218 ribu ton), 2009 (127120 ribu ton), 2010 (131146 ribu ton). Jika diuangkan maka kita telah merugi sampai dengan 5.808 Milir untuk jumÂlah emisi CO2 CH4 diudara. Dua sumber emisi ini dihasilkan dari penggunaan pupuk yang tidak ramah lingkungan. Disamping itu emisi juga dihasilkan dari sisi pembakaran kendaran berbahan bakar fosil. Termasuk juga IndusÂtri. Artinya peningkatan emisi akan berdampak terhadap penÂingkatan panas global. PerubaÂhan iklim tampak juga dari banjir yang terjadi kini.
Berdasarkan data Potensi Desa pada tiga periode (2003, 2005 dan 2011), sekitar 20 persen desa mengalami banjir setiap taÂhunnya. Dari jumlah tersebut, 37 persennya gagal panen (puso) (Kementan, 2011). Secara spesiÂfik, Menurut BPS (2011) di Jawa Timur terjadi genangan seluas 174 Ha dengan kerugian material Rp. 2.963.725.500,00. Berdasarkan SLHD Kab/Kota (2010), luas areal yang tergenang adalah 957,28 Ha, 4020 orang mengungsi, 2 orang meninggal dunia dengan keruÂgian material Rp. 35.997.195.000.
Dua permasalahan ini menyeÂbabkan kita pesimis untuk menÂjadikan pertanian sebagai ikon pembangunan. Justru sentra-sentra produksi padi di jawa tadi mengalami banjir kini dan dilanÂda masalah perubahan iklim. ArtÂinya tidak mungkin terwujud jika masih belum mau memperbaiki alam demi keberlanjutan pertaÂnian masa mendatang. Prubahan iklim itu akan menyebabkan meÂningkatnya panas secara global dan berdampak global sehingga menyebabkan kacaunya sistem alam. Suhu bumi juga bisa meninÂgkat dan menurun. Hujan kadang turun dan kadang tidak. Hujan juga turun dengan instensitas tinggi dan terkadang tidak.
Hama juga berkembang biak dengan pesat. Jadwal tanam para petani akan sulit untuk ditentukan pada saat perubahan iklim itu terÂjadi. Sulitnya menentukan jadwal tanam menyebabkan petani sulit memprediksi apakah tanamanÂnya berhasil atau tidak. Bisa saja hujan dan banjir waktu padi maÂsih berumur kecil sehingga padi tidak bisa hidup. Meningkatnya gas emisi penyebab perubahan iklim akibat banyaknya sumber emisi CO2. Sumber emisi seperti CO2 yang berasal dari transporÂtasi terus meningkat. TransporÂtasi termasuk pengkontribusi CO2 dan CH4 karena permintaan akan kendaraan tidak bisa diturunkan.
Satu sisi dampaknya berpenÂgaruh terhadap meningkatnya emisi. Bertambahnya emisi meÂnyebabkan perubahan iklim. Perubahan iklim berdampak terÂhadap produksi pertanian. DisÂamping trasnportasi, pertanian yang tidak organik penyebab banyaknya pelepasan CO2 dan CH4 ke udara. Terutama akibat penggunaan pupuk pabrik yang tidak ramah lingkungan. Banjir juga berkaitan dengan perubaÂhan iklim. Banjir itu juga disebabÂkan oleh tanah yang sudah jenuh akibat penggunaan pupuk yang tidak organik. Akibatnya pori-pori tanah tertutup, saat hujan tiba justru hujan tak dapat masuk ke dalam tanah. Kedua, tingginya alihfungsli lahan pertanian untuk jalan raya.
Secara bersamaan transporÂtasi selain menghasilkan emisi juga mengurangi ruang terbuka hijau. Lahan luas dipergunakan untuk jalan, bandara dan lain-lain sehingga luasan sawah semakin semput. Masalah ini berdampak terhadap tergenangnya air dijaÂlan. Banjir juga disebabkan oleh minimnya ruang terbuka hijau untuk perkotaan di jawa teruÂtama daerah sawahnya yang luas.
Dampaknya, petani pastinya gagal panen, kesejahteraan petÂani menurun, impor pangan, dan kerusakan lingkungan. Secara sosial, hal ini juga berdampak terÂhadap perpindahan profesi petÂani kepada profesi lain. Misalkan petani lebih memilih menjadi tuÂkang dagang. Jangka panjangnya, menyebabkan langkanya tenaga kerja dibidang pertanin. LangÂkanya petani dan pekerja pertaÂnian berdampak pula terhadap tingginya upah pertanian. AkhÂirnya setiap tahun minat menjadi petani menjadi menurun sebab semua hidupnya ketidakpastian.
Sebagai solusi, pemerintah harus segera mengganti kerugian pupuk petani dan benih petani yang terbuang. Hal ini karena pemerintah gagal untuk mnÂecarikan cara adaptasi sebelum terjadinya banjir dan perubahan iklim. Pemerintah harus menyeÂdiakan dana untuk mereka. KetiÂga, pemerintah harus memfokusÂkan kepada perbaikan lingkungan bukan mengejar kuantitas atau produksi pertanian saja. Hal itu tidak berarti jika lingkungan tidak diperbaiki. Keempat, pemerintah harus mengatur kembali ruang terbuka hijau dan mengurangi alihfungsli lahan ke pembanguÂnan perumahan dan mall.
Kelima, pemerintah harus bisa menciptakan transportasi yang ramah lingkungan. Selama ini jumlah kendaraan belum bisa diatasi padahal kendaraan terÂmasuk pengkontribusi gas emisi yang tinggi. Emisi itu berdamÂpak serius terhadap pertanian. Keenam, pemerintah harus bisa mewujudkan pertanian yang tiÂdak intensif. Caranya, penanaÂman padi hanya sekali setahun bukan ditanami sepanjang taÂhun. Hal ini akan memperburuk kondisi lingkungan terutama kesÂuburan tanah. Selain itu, dengan cara ini emisi dapat dikurangi jumlahnya di udara. (*)