alimuOleh: ALI MUTASOWIFIN
Dosen Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB

Santer diberitakan, den­gan hanya membayar sejumlah uang, siapa pun bisa memperoleh gelar dari lembaga abal-abal maupun lembaga resmi yang beroperasi secara tidak wajar.

Munculnya lembaga-lemba­ga abal-abal yang menawarkan gelar-gelar akademik palsu tidak dapat dipisahkan dari kondisi masyarakat saat ini. Gelar aka­demik telah menjadi simbol feo­dalisme baru di masyarakat kita.

Di tengah masyarakat yang masih mendewa-dewakan gelar akademis inilah embel-embel gelar acapkali dianggap lebih penting dibandingkan kapabili­tas. Tidak mengherankan, orang pun berusaha memperoleh gelar, meskipun dengan cara-cara yang tidak benar. K

Kondisi inilah yang diman­faatkan oleh banyak lembaga dengan menawarkan kemudahan meraih gelar tanpa keharusan mengikuti keseluruhan proses yang biasanya melelahkan.

Hasilnya, banyak orang mun­cul dengan gelar mentereng, tapi karya ilmiahnya tak pernah dapat ditemukan. Cara berpikir dan berbicara para penyandang gelar itu pun acap membuat mereka yang mendengarnya bertanya-tanya tentang kualitas dan kelai­kan gelar yang disandangnya.

Gelar dan kompetensi

Keinginan menaikkan status sosial atau harga jual diri mendo­rong orang memajang gelar yang dimilikinya, meskipun sama seka­li tidak berkaitan dengan profesi yang sedang dilakoninya. Pada masa dahulu, misalnya, dikenal seorang artis peran yang selalu menuliskan gelarnya di bidang kesehatan. Padahal, gelar akade­mis yang disandang tentu sama sekali tidak berkaitan dengan ke­lihaiannya dalam berakting.

Fenomena serupa sangat mu­dah kita jumpai di sekitar kita. Di Bekasi, seorang tukang pijat me­majang papan promosi jasanya di pinggir jalan dengan mencan­tumkan gelarnya sebagai sarjana hukum. Apakah makna dan rel­evansi gelar sarjananya itu jika ia tak mampu memijat dengan baik? Pertanyaan yang sama bisa diajukan kepada polisi yang me­majang sederet gelar akademik mengikuti namanya, sementara kriminalitas merajalela di wilayah tugasnya. Daftar ini dapat kita perpanjang dengan beragam con­toh yang berlimpah.

Yang lazim dijumpai adalah pencantuman gelar akademis di undangan pernikahan, baik pada nama mempelai maupun orang tuanya. Sebagai orang yang bekerja di perguruan tinggi, saya kerap menerima undangan dari kolega yang menikahkan anaknya. Biasanya, pada undangan itu dituliskan gelar akademik yang berderet panjang, seolah-olah mereka merasa tidak cakap untuk menikahkan anaknya tan­pa mencantumkan gelarnya.

Begitu salah kaprahnya peng­gunaan gelar akademis di tengah masyarakat, bahkan sang em­punya gelar tetap memakainya meskipun telah meninggal dunia. Lazim dijumpai, sederet gelar akademis yang dimiliki mendiang semasa hidupnya dituliskan ber­jajar di batu nisan.

Tentu tidak mudah untuk ser­ta merta mengubah kebiasaan. Dalam upaya mengikis feodal­isme baru itu, alih-alih terpaku pada gelar seseorang, kita perlu lebih mengedepankan kapabilitas dan rekam jejak. Barangkali perlu diatur dan dibudayakan agar ge­lar cukup dituliskan di ijazah dan biodata saja.

Pada beberapa kondisi, pen­cantuman gelar akademik dan profesi memang justru diper­lukan. Seorang dokter perlu mencantumkan gelar dan spe­sialisasinya di rumah sakit atau tempat praktik agar pasien tahu dan yakin bahwa orang yang menanganinya memiliki kompe­tensi dan keahlian yang sesuai untuk menangani keluhan penya­kitnya.

Sepanjang pengalaman saya tinggal beberapa tahun di luar negeri, guna memberi keyaki­nan kepada pasien, para dokter malah lazim memajang salinan ijazahnya di tempat praktik.

Seorang akuntan juga perlu mencantumkan gelarnya untuk memberikan kepastian ketrampi­lan dan kualifikasinya melaku­kan audit atau atestasi. Seorang pengacara perlu mencantumkan gelar advokat untuk menunjuk­kan kecakapannya beracara di pengadilan.

Akan tetapi, seorang pemasar asuransi mencantumkan gelar sarjana ilmu politik, atau seorang satpam mencantumkan gelarnya sebagai sarjana ekonomi, jelas-jelas tidak perlu dan salah tem­pat. Kompetensi yang tersirat dari gelar yang dia tuliskan sama sekali tak relevan dengan peker­jaan yang digelutinya.

Pada jabatan politis, pencan­tuman gelar akademis sama seka­li tidak relevan. Apalah artinya bergelar doktor, jika seorang ang­gota DPR hanya duduk, dengar, diam, dan (terima) duit? Apalagi jika gelar doktornya pun ternyata abal-abal.

Contoh istimewa untuk ma­salah ini adalah Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, yang meskipun hanya berpendi­dikan formal SMP, namun selalu berada pada urutan pertama be­berapa survei sebagai menteri dengan kinerja terpuji.

Sebaliknya gelar doktor be­berapa menteri, beberapa malah telah profesor, mungkin perlu dan relevan kala menjabat di lingkungan kampus, namun tidak penting pun kurang relevan kala menjabat menteri. Rakyat hanya butuh hasil kerja nyata mereka, tak peduli mereka doktor lulusan universitas ternama kelas dunia atau hanya sarjana dari universi­tas yang nyaris tak terdengar.

Dengan semangat yang sama, Presiden Joko Widodo tak perlu mencantumkan gelar in­sinyurnya pada dokumen, foto, sebutan, dan sejenisnya. Karena, pekerjaannya sebagai presiden toh tidak berkaitan langsung den­gan pengetahuan dan keahlian­nya soal perkayuan dan kehuta­nan. (*)

============================================================
============================================================
============================================================