KETAHANAN pangan pada negeri kita tidak bisa tercapai saat kita bergantung memenuhi makan sendiri dari negeri orang lain. Tindakan impor termasuk perilaku yang memalukan. Menteri perekonomian menargetkan akan mengimpor daging. Rencana pemerintah untuk melakukan impor pangan komoditas daging dan bawang merah harusnya tidak dilakukan.
Oleh: BAHAGIA, SP., MSC.
Dosen Tetap UIKA Bogor
Alasan karena konÂÂsumsi saat puasa dan idulfitri bertÂÂambah bukan lagi alasan yang baru. Bertahun-tahun masalah kita selalu impor pangan. Nampak pemeirntah inginnya untung sendiri. Untuk memenuhi stok pangan bukan impor yang menÂÂjadi solusi.
Kementerian koordinator perekonomian akan mengimÂÂpor bawang merah sebanyak 2.500 ton. Selain itu impor dagÂÂing karena harga yang cukup tinggi mencapai Rp 120 ribu per kg . Pemerintah akan berusaha menurunkan harga daging di kisaran Rp 80 ribu-85 ribu per Kg. Jika dilakukan maka kita beÂÂlum mandiri pangan. Negara maÂÂsih bergantung diri pada negara lain. Masalahnya eksistence dari nama negara pertanian yang mulai pudar. Kita jangan mengÂÂgampangkan impor. MengandaiÂÂkan negara lain yang Impor.
Misalkan, singapura yang tiÂÂdak punya lahan. Persoalannya negara lain itu bukan negara pertanian. Pemeirntah telah mengkhianati nilai-nila pertaÂÂnian pada negeri sendiri. Itu artinya pemerintah selama ini tidak merencanakan secara baik berapa stok pangan yang tersedia, bagaimana sistem sosÂÂial dan bagaimana pasarnya. BuÂÂkankah hal ini sangat sederhana jika ingin diperbaiki. Sekaligus tidak memikirkan perluasan pengembangan kawasan ternak dan pangan. Mereka nampak menggampangkan impor sesaat sehingga wajar pengembangan pertanian dan ternak terlunta-lunta ditanah air.
Pengembangan pangan kini terbentur dengan lahan yang sempit. Lahan yang terus menÂÂciut akibat kalah kepentingan dengan perusahaan properti, industri, dan pembangunan jalan. Satu sisi lahan untuk pangan disingkirikan. Fakta ini membuat tingginya alihfungsi lahan produktif menjadi indusÂÂtri dan lain sebagainya. Jangka panjang tanah ini akan mati dan padat. Akhirnya tanah tiÂÂdak bisa menyerap air. Luasan lahan pangan yang sedikit meÂÂnyingkirkan petani secara langÂÂsung. Terutama buruh tani yang bukan petani. Atau petani yang menjual lahan mereka.
Semuanya karena masa depan yang tidak menjanjikan untuk bertahan dalam pertaniÂÂan. Hal ini diperburuk lagi denÂÂgan persoalan hama dan iklim. Keadaan ekologis seperti banjir yang kadang besar dan kecil. Hujan yang kadang bisa turun kapan saja. Semuanya memÂÂpengaruhi ketahanan pangan pada negeri ini. Masalah itu justru menjadi berkah bagi yang senang impor. Satu sisi petani meratapi masa depan tidak jelas. Ditambah lagi denÂÂgan masalah sistem sosial dan dagang nan belum terbangun. Akhirnya kompleksitas masalah pangan terjadi terus pada negÂÂeri pangan ini. Jika pemerintah memang serius dan lembaga agama kini mau maka kita bisa melirik lahan-lahan wakaf.