MENKO Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, di sektor keuangan termasuk pasar modal, perekonomian Indonesia rentan dan gampang terguncang, terutama karena pengaruh dari guncangan ekonomi global.
ALFIAN MUJANI
[email protected]
Ekonomi kita itu rentan. Kita merasakan hari-hari ini seperti apa kerentanan itu. Semakin lama semakin tinggi kerenÂtanannya. Sebagian hasil dari pengaÂruh ekonomi global, sebagian lagi dari diri kita,†kata Darmin, dalam seminar Perekonomian Indonesia dari Masa ke Masa -Tantangan, Strategi dan Pembelajaran Bangsa, di Gedung Dhanapala, KemenÂkeu, Jakarta, Senin (31/8/2015).
Darmin yang juga Ketua Umum IkaÂtan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) mengatakan, saat kuliah di Fakultas EkoÂnomi Universitas Indonesia, dia pernah diajari soal defisit kembar (twin deficit), yaitu defisit anggaran dan defisit transÂaksi berjalan.
“Saya bingung kalau ternyata itu yang terjadi sekarang. Kalau melihat ekonomi beberapa puluh tahun yang lalu, pernah kita mengalami defisit transaksi berjalan, walaupun dulu tidak besar. Dulu defisit 0,5% dari PDB. PerÂnah dua kali melonjak ketika 1983-1984 agak tinggi, melampaui 5% dari PDB,†jelas Darmin.
Untuk memberantas defisit kemÂbar saat itu, pemerintah kala itu menÂgubah kebijakan di sisi industri. Dibuat kebijakan industri yang berorientasi ekspor. Dalam 2-3 tahun defisit kembar ini sembuh.
“Waktu 1994 datang lagi, itu disuÂsul dengan deregulasi besar-besaran dan kelihatannya menjawab persoalan. Waktu itu CAD (defisit transaksi berjaÂlan) kita 3,5 – 4%. Itu tidak terlalu panÂjang, ini jadi banyak yang bisa dibicaraÂkan,†katanya.
Soal kerentanan pasar modal, DarÂmin mengatakan, dana asing di sektor keuangan Indonesia memang banyak jumlahnya, namun sedikit instrumenÂnya. Sehingga bila ada gejolak dan penarikan dana asing, pasar keuangan dalam negeri mudah bergejolak.
Belajar dari Minyak
Sementara itu, Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro menÂgungkapkan sejarah perekonomian Indonesia selama 70 tahun, banyak peÂlajaran yang bisa didapat. Ia menconÂtohkan kejatuhan harga minyak dunia sudah pernah terjadi pada era 1980-an.
Saat itu, harga minyak jatuh hingga di bawah level USD 10 per barel. Indonesia yang saat itu mengandalkan ekspor minÂyak bumi sebagai sumber utama pendapaÂtan negara cukup terpukul. Sedangkan saat ini harga minyak sudah turun dari beberapa tahun lalu yang mencapai USD 100/barel menjadi USD 40/barel.
“Sejarah mengajarkan kita harga minyak pernah di bawah USD 10 per barel waktu tahun 1980-an. Waktu itu APBN kita tergantung pada PNBP migas, sampai kondisi memaksa kita melakuÂkan perubahan,†tutur Bambang yang juga berbicara dalam Seminar ‘PerekoÂnomian Indonesia dari Masa ke Masa.
Setelah jatuhnya harga minyak duÂnia itu, Indonesia melakukan perubaÂhan struktural perekonomian. Negara tak lagi mengandalkan pemasukan dari minyak bumi, sektor pajak dan sektor riil dibenahi. Pajak dan industri manuÂfaktur menjadi sumber pertumbuhan ekonomi yang baru.
“Yang terjadi saat itu perubahan struktural ekonomi, yakni pajak direÂvitalisasi karena APBN saat itu sangat bergantung pada PNBP migas. Sektor riil mulai dikembangkan karena harga minyak fluktuatif, maka harus didoÂrong manufaktur,†ujarnya.
Dengan adanya perubahan terseÂbut, perekonomian Indonesia berÂtumpu pada industri manufaktur yang padat karya pada era 1990-an sampai krisis menghantam pada 1998, industri padat karya pun terpukul. “ManufakÂtur menjadi tulang punggung ekonomi sampai 1998,†tukasnya.
Sesudah 1998, ekonomi Indonesia tidak lagi berbasis migas ataupun indusÂtri manufaktur, tapi berbasis komoditas. Harga batu bara dan minyak sawit menÂtah (Crude Palm Oil/CPO) yang menanÂjak membuat penerimaan negara dari komoditas amat dominan. “Sesudah reÂcovery (setelah 1998), ekonomi kita berÂbasis komoditas, batu bara dan sawit. Harga batu bara dan sawit memang luar biasa waktu itu,†paparnya.
Sama halnya dengan minyak bumi, harga komoditas tidak stabil, ekonomi Indonesia terganggu ketika harga koÂmoditas anjlok. “Sejarah mengingatkan kita lagi, harga komoditas tidak selaÂmanya tinggi, tidak berbeda dengan minyak. Kita terlambat mengantisipaÂsi,†ucapnya.
Sekarang, Indonesia sudah tak bisa lagi mengandalkan migas, manufaktur padat karya, dan komoditas. Harga minyak dan komoditas makin tak meÂnentu. Sedangkan di sektor manufakÂtur padat karya, kini kondisi perburuÂhannya sudah jauh berbeda, tidak bisa lagi mengandalkan upah buruh murah seperti di era Orde Baru.
Pasca jatuhnya harga komoditas, menurut Bambang, ada 3 sektor yang bisa menjadi tumpuan ekonomi IndoÂnesia di masa mendatang. Ketiga sektor ini diyakininya bisa membuat ekonomi Indonesia tetap tumbuh tinggi dalam beberapa tahun ke depan.
Pertama, adalah infrastruktur, denÂgan pembangunan infrastruktur besar-besaran yang dilakukan pemerintah saat ini, bisnis infrastruktur menjadi amat menjanjikan. “Ekonomi kita akan diwarnai infrastruktur. Infrastruktur lebih sebagai bisnis dari pihak swasta,†kata Bambang.
Kedua, industri pengolahan berbaÂsis sumber daya alam. “Sawit itu masa depannya sangat bagus tapi harus diÂarahkan ke industri pengolahan. Kita juga masih punya karet, kakao, kayu, belum lagi perikanan. Kita kan nggak mau cuma jual ikan mentah, harus dioÂlah, dikalengkan. Smelter, industri besi baja, dan sebagainya yang bahan bakuÂnya dari Indonesia sendiri itu bisa jadi industri masa depan,†kata Bambang.
Ketiga, sektor industri yang pasar di dalam negerinya sangat besar, misalÂnya elektronika dan otomotif. Dengan pasar di dalam negeri yang besar, biaya produksi barang-barang tersebut bisa mencapai skala ekonomi sehingga biÂaya produksinya rendah, daya saingnya pun menjadi tinggi. (*)