Oleh: VITA ALWINA DARAVONSKY BUSYRA
Dosen ilmu komunikasi di London School of Public Relations, Jakarta.
Pengunduran diri DiÂrektur Jenderal Pajak Pajak Sigit Pramudito dan Direktur Jenderal Perhubungan Darat Djoko Sasono baru-baru ini meÂnarik perhatian dan mendapat apresiasi banyak orang.
Sebab, peristiwa ini masih sangat langka di negara kita. Padahal memang inilah yang sesungguhnya diharapkan, ditunggu-tunggu, dan sekaligus dihargai masyarakat Indonesia.
Alasannya sangat sederhana, namun mendasar, yaitu merasa kinerja mereka gagal dan harus dipertanggungjawabkan kepada atasan masing-masing dan maÂsyarakat.
Tidak terpenuhinya setoran pajak 2015 yang ditargetkan Rp 1.294 triliun dan salah prediksi keÂmacetan saat liburan panjang NaÂtal dan Tahun Baru kemarin, ituÂlah pertimbangan dan alasannya.
Kedua pejabat tersebut layak menjadi panutan bagi setiap penyelenggara negara yang mengemban jabatan dan memikul tanggung jawab yang diberikan.
Mereka mengaku bersalah sebelum orang lain memutuskan bahwa mereka salah. Keduanya mundur atas kesadaran sendiri sebelum orang atau pihak lain melengserkan.
Pengunduran diri mereka memang mengejutkan banyak pihak. Namun tentunya ke depan tidak lagi, apabila semakin banyak pejabat pemerintah yang saÂdar dan betul-betul menunjukkan moral dan etika yang baik serta amanah yang memang harus diÂpertanggung jawabkan kepada publik dan negara.
Pengunduran diri pejabat yang tidak kapabel dan bersalah sekaligus meningkatkan apresiasi masyarakat kepada pemerintah. Cita-cita Presiden Joko “Jokowi†Widodo yang ingin menciptakan pejabat pemerintah yang bersih dan berwibawa tentu akan lebih mudah dicapai.
Tanggung jawab moral
Mantan Ketua DPR RI Setya Novanto mengundurkan diri akiÂbat melakukan pelanggaran etik. Foto oleh Akbar Nugroho/Antara
Dalam dunia birokrasi, baik di pemerintahan, korporasi, dan institusi lainnya, tanggung jawÂab baik secara hukum maupun moral, merupakan sesuatu yang mutlak, namun pada kenyataanÂnya memang mahal dan tidak gampang didapatkan.
Mudah diucapkan, namun suÂlit dilaksanakan. Ia tampil sebagai semboyan dan diagung-agungÂkan, tetapi sering terlupakan atau dilupakan karena kepentingan satu atau berbagai pihak.
Dennis F. Thompson (1980), menyebutnya “the problems of many hands.†Sementara itu, pada birokrasi pemerintahan, situasinya lebih tidak mudah karena biasanya sulit menenÂtukan atau melacak siapa yang harus dan pantas memikul tangÂgungjawab tersebut. Yang sering terjadi justru muncul atau dimunÂculkan “aktor†yang menjadi “koÂrban†yang harus memikul tangÂgung jawab pihak lain.
Apakah pengunduran diri peÂjabat karena merasa gagal dalam menjalankan tugasnya sudah menjadi tren di Indonesia? JawaÂbannya belum.
Namun, sejarah mencatat bahwa memang ada sejumlah pejabat yang menunjukkan tangÂgung jawabnya dengan cara munÂdur karena merasa gagal, menilai diri tidak pantas lagi serta untuk kepentingan publik dan negara.
Mereka, di antaranya, manÂtan Wakil Gubernur DKI Jakarta Prijanto, mantan Wakil Bupati Kabupaten Garut Dicky Candra, dan mantan Dirjen PemasyaraÂkatan Kemenkumham Handoyo Sudrajat.
Contoh terakhir adalah Setya Novanto yang mundur dari Ketua DPR RI, meskipun peristiwa ini penuh politisasi dalam proses yang panjang.
Sedikit memang. Padahal masyarakat menilai dan melihat begitu banyak pejabat publik di Indonesia yang sudah terang-terangan gagal atau tidak pantas lagi menjabat, justru dengan seÂgala cara berusaha mempertahÂankan posisi, kedudukan, dan kekuasaan mereka.
Di berbagai negara lain di duÂnia, pengunduran diri pemimpin dan pejabat karena merasa gagal melaksanakan tugas sangat banyak terjadi.
Misalnya, Perdana Menteri Korea Selatan Chung Hong-won mundur karena insiden tengÂgelamnya kapal feri Sewol.
Wali Kota Bucharest di RumaÂnia, Cristian Popescu Piedone, karena puluhan orang tewas akiÂbat kebakaran di sebuah night club. PM Jepang Yukio Hatoyama karena tidak mampu memenuhi janji kampanye untuk menutup pangkalan militer AS di Okinawa. Menteri Pendidikan Jerman AnÂnette Schavan melakukan pelangÂgaran akademis, yaitu plagiaÂrisme.
Sebetulnya tugas dan tangÂgung jawab, baik secara hukum maupun moral, bagi seorang pejaÂbat publik sudah ditegaskan denÂgan jelas dan terang benderang saat mulai memegang jabatan.
Hukum dan etika menÂgaturnya dengan baik. Bahkan janji-janji yang diucapkan dalam sumpah jabatan telah menggariskan tugas-tugas dan memagari tindak tanduk seorang pejabat.
Profesor Mao Shoulong dari Universitas Renmin di Beijing mengatakan seorang pejabat publik harus bisa memikul tangÂgung jawab melalui empat aspek:
Pertama, tanggung jawab moral, seperti jatuhnya banyak korban atau menyebabkan penderitaan pada rakyatnya.
Kedua, tanggung jawab poliÂtik terhadap partai yang berkuasa (ruling party) dan pemerintah.
Ketiga, tanggung jawab deÂmokrasi kepada rakyat dan konÂstituen yang memilihnya.
Dan keempat, tanggung jawab hukum, yang menetapkan terjadi atau tidak kelalaian dan pelanggaran hukum dalam menÂjalankan tugas.
Setiap pejabat harus mengemÂban penuh tugas dan tanggung jawab mereka dengan baik. NaÂmun dalam perjalanannya, sering terjadi konflik antara kewajiban hukum dan moralitas.
Keduanya tidak dapat berÂsanding, apalagi berdamai. SeÂhingga, dalam berbagai situasi genting, Gutman dan Thompson, dalam Sheppard (2009), mengatakan bahwa pilihan untuk mengundurkan diri dinilai satu-satunya jalan yang paling dapat diterima dari aspek moral dan institusional.
Revolusi mental
Sebagai negara besar, tidak hanya di kawasan, Indonesia diliÂhat dengan jelas, serta dipanut banyak orang di dunia dalam banyak hal, termasuk perilaku pejabat, birokrat, dan pemimÂpinnya. Sekarang kita mulai meÂlihat, pejabat Indonesia mengunÂdurkan diri. Apa sesungguhnya yang mendasari pejabat publik mengundurkan diri?
Banyak pemimpin kita yang tergolong penganut shame culÂture (budaya malu), namun tidak diikuti oleh perasaan bersalah karena dibentengi oleh reputasi, hormat, gengsi, dan harga diri.
Kees Berten (2002), berÂpendapat bahwa bahaya terbesar yang dimiliki oleh masyarakat yang level kebudayaannya berada pada level shame culture adalah ketika rasa malu mereka baru muncul apabila kecacatan atau aib mereka diketahui oleh orang lain.
Di saat itulah mereka merasa kehilangan muka dan harga diri jatuh. Jika aib itu tidak diketahui orang, mereka merasa aman dan nyaman saja.
Sanksi dari shame culture datang dari luar, apa yang dipikirÂkan atau dikatakan oleh orang lain. Sedangkan perbuatan jahatnya sendiri tidak dianggap penting.
Lawan dari shame culture adalah guilt culture, atau budaÂya yang didasari rasa bersalah. Guilt culture adalah budaya di mana sekalipun suatu kejahatan maupun kelalaian tidak diketaÂhui oleh orang lain, pelaku tetap merasa bersalah. Pelaku merasa tidak tenang dan sering menyesal atas perbuatannya.
Di kalangan pejabat pemerintah, tindakan yang tidak mengandung unsur kejahatan, seperti prinsip, kewajiban, dan tanggung jawab, sekalipun seorang pejabat publik tidak dapat melakasanakan tugasnya dengan baik, juga dapat digolongkan sebagai guilt culture.
Dalam hal shame culture dan guilt culture, banyak antropolog dunia mempelajari perbedaan budaya antara budaya Barat dan Timur. Mereka menemukan kenyataan bahwa budaya Barat cenderung menganut guilt culÂture, sedangkan budaya Timur lebih dominan menganut shame culture.
Inilah yang menjadikan buÂdaya undur diri pejabat publik di Indonesia karena tanggung jawab moral masih mahal dan langka.
Untuk itu, ternyata memang kita sangat memerlukan guilt culÂture dan perubahan mental. RevÂolusi mental, canang Presiden Jokowi yang harus kita dukung bersama. (*)
sumber: Rappler.com