BOGOR TODAY– Sesuai ketentuÂan Undang-Undang (UU) Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, sebagai tenaga pengajar di perguruan tinggi (PT), maka dosen tidak boleh bergelar strata satu (S1). Akan tetapi, fenomena tersebut tidak terjadi di dunia pendidikan PT di Indonesia.
Ali Gufron Mukti, direktur JenÂderal (Dirjen) Sumber Daya Ilmu Teknologi (Iptek) dan Pendidikan Tinggi (Dikti), Kementerian Riset Teknologi (Ristek) dan Pendidikan Tinggi (Dikti) menyebutkan, di InÂdonesia masih banyak ditemukan dosen PT yang hanya mengenyam pendidikan sampai S1.
Menurut Gufron, langkah yang akan diambil pemerintah untuk mencetak tenaga pengajar PT minimal mengenyam pendidikan S2, maka pihaknya menyediakan program beasiswa bagi sarjana muda. Program beasiswa itu menÂcakup pendidikan untuk program S2 dan S3. â€Melimpahnya tenaga pengajar di PT menyandang S1 karena jumlah S1 kita banyak. Oleh karenanya, kita berlakukan setelah 10 tahun tidak boleh lagi S1,†ujar Ali Gufron, kemarin.
Gufron juga menyebutkan, kualifikasi jabatan akademik di PT sudah cukup. Akan tetapi, jumlah dosen yang belum S2 masih banyak, yakni sekitar 40,5 persen. Sementara untuk dosen bergelar S1, menurut Gufron, ada 50 persen belum memiÂliki sertifikasi dosen. Tentunya kondisi itu akan berdampak beÂsar pada kualitas pendidikan di PT. â€Bagaimana pendidikan PT akan bagus kalau sebagian dosen PT kita masih menyanÂdang S1. Kesannya pendidikan di PT nggak serius,†ungkapnya
Data dari Kementerian Ristek dan Dikti menyebutkan, jumlah dosen untuk PT sebanyak 280 ribu. Dari jumlah tersebut, baru 46,5 persen mengantongi sertiÂfikasi dosen. Untuk mengejar kekurangan tenaga pengajar di PT, menurut Gufron, tahun 2016 ini Kementerian Ristek dan Dikti mengalokasikan anggaran unÂtuk 20 ribu dosen bersertifikasi. â€Peserta akan mendapat tunjanÂgan 1 kali gaji. TOEFL harus 450. Kalau tidak sertifikasi, berarti tidak bisa profesor,†katanya.
(Yuska Apitya)