Indonesia menempati peringkat ke 109 dalam indeks ease of doing business atau kemuÂdahan berusaha. Memang ada sedikit peningkatan dari tahun sebelumnya, namun IndoÂnesia masih jauh tertinggal dibandingkan Singapura, Malaysia, bahkan Thailand.
Oleh : Alfian Mujani
[email protected]
Andry Asmoro, Head of MacroecoÂnomic and Financial Market ReÂsearch Mandiri, menyatakan indeks tersebut menjadi acuÂan bagi para investor. Indonesia masih akan sulit bersaing dengan negara-negara kawasan untuk memperebutÂkan investor saat ini.
“Kan sekarang kita bicara ASEAN Economic Community (AEC) itu kan kita saling rebutan tempat untuk basis investasi,†ujarnya di kantor pusat Bank Mandiri, Jakarta, Kamis (21/1/2016).
Dari data yang dirilis Bank DuÂnia, Thailand berada di urutan 49. Di depannya ada Malaysia dengan urutan ke 14, sedangkan Singapura berada pada urutan pertama. Ini menandakan ketertinggalan IndoÂnesia masih cukup jauh.
Andry menilai paling tidak posisi Indonesia harus berada di sekitar negara-negara tersebut. Sangat disÂayangkan ketika Indonesia dengan berbagai potensi ekonomi yang beÂsar, harus kehilangan peluang menÂarik investasi.
Investor memiliki optimisme yang tinggi terhadap pemerintah an Presiden Joko Widodo ( Jokowi) denÂgan target-target yang ditetapkan. Pemerintah hanya perlu merealisaÂsikan, sehingga optimisme tersebut dapat terus terjaga.
“Pak Jokowi kan sudah jelas kan targetnya bahwa Indonesia harus memangkas paling tidak selevel sama kawasannya, itu adalah ASEÂAN. Ya realisasikan,†tegasnya.
Kebutuhan Indonesia akan inÂvestasi memang masih cukup beÂsar. Baik dari sisi infrastruktur hingga industri manufaktur. Hal tersebut, menurut Andry yang mampu meningkatkan perekonoÂmian Indonesia. “Kan memang selam target itu di bawah ASEAN, daya saing masih tantangan manÂufaktur Indonesia,â€terang Andry.
Tertinggal Singapura
Indonesia masih tertinggal jauh dari Singapura dan MalayÂsia dalam kemudahan berusaha. Kondisi ini tentu saja membuat Indonesia menjadi tidak menarik bagi investor.
Untuk itu, ada banyak hal yang harus dibenahi oleh pemerintah ke depannya. Paling utama adalah kepastian hukum. “Untuk swasta, mereka butuh kepastian regulasi dari pemerintah,†ungkap Andry.
Kemudian adalah pengurangan biaya logistik perdagangan denÂgan konektivitas dari infrastruktur. Konektivitas ini menjadi fokus perÂhatian para investor beberapa tahun terakhir.
“Kalau udah investasi logistic cost nya itu yang terutama. Indonesia will be the story of infrastructure masalahnya. Jadi itu sampai kapanÂpun yang perlu harus ditekankan itu adalah infrastruktur. Ya logistik itu harus ditekan,†paparnya.
Pemerintah, menurut Andry, sudah cukup bagus dalam setahun terakhir, meski dalam kemudahan berusaha hanya naik ke 109 dari peringkat 120. Namun, pencapaÂian peringkat itu belum cukup menyalip negara-negara ASEAN lainnya.
“Sebenarnya ada improvement is good. Tapi sebenarnya yang harus dilihat perbandingan denÂgan negara lain. Selama itu masih dibawah negara ASEAN, memang kita kalau untuk bersaing di AEC (ASEAN Economic Community) ada tantangannya. Kalau 40 itu harus ada extra effort,†kata Andry.
Terlihat pada beberapa paket keÂbijakan yang dikeluarkan sejak SepÂtember 2015 lalu. Hanya perlu diperÂhatikan sekarang dari sisi efektivitas di tataran teknis.
“Kan Pak Jokowi menekankan ada perubahan, kalau dilihat dari kemaren paket kebijakan sudah positif, cuma memang yang harus dikawal itu adalah detailnya nanti, sampai ke aturan yang lebih teknis. Dari semua itu sudah ada belum yang sampai ke level teknis. Kan harus cari tahu,†terangnya.
Sebelumnya, Bank Dunia merilis peringakat kemudahan bisnis atau ease of doing business di berbagai negara. Indonesia berada di peringÂkat 109, jauh di bawah beberapa negÂara ASEAN seperti Singapura, MalayÂsia, Thailand dan Vietnam.