INDUSTRI makanan dan minuman (mamin) tanah air memperoleh berkah selama Bulan Ramadan 2016. Di tengah bulan puasa yang seharusnya konsumsi akan makanan dan minuman menurun, industri makanan dan minuman justru tumbuh. Kenaikan produksi makanan dan minuman hingga 30% dibandingkan bulan-bulan lainnya.
Oleh : Yuska Apitya
[email protected]
Hal ini diungkapkan oleh Ketua Gabungan Pengusaha MakanÂan Dan Minuman Indonesia (GAPMMI), Adhi S. Lukman di Thamrin City, Jakarta Pusat, Selasa (14/6/2016). “Saya kira ini peningÂkatan cukup baik dan saya meraÂsakan rata-rata dalam tiga bulan Mei, Juni, Juli itu sekitar 30% per bulan. Tetapi khususnya di bulan Juni ini kelihatannya lonÂjakannya lebih besar dibanding rata-rata itu,†ujar Adhi.
GAPMMI pun optimistis bahwa penjualan makanan dan minuman di tahun ini dapat tumbuh hingga 8% dibandÂ
ingkan tahun lalu. “Tahun lalu tumbuh 7,55% atau senilai Rp 1.300 triliun. Target pertumbuÂhan tahun ini sekitar Rp 1.400 triliun (penjualan), target 8%,†kata Adhi.
Pihaknya pun meminta kerja sama pemerintah agar memperÂmudah proses pemberian sertifiÂkat halal. Hal ini bertujuan agar pertumbuhan industri makanan dan minuman tidak berjalan di tempat. “Kami harapkan pemerÂintah mau merevisi menjadi sertiÂfikasi halal bagi yang klaim halal. Wajib sertifikat halal kalau klaim halal,†imbuhnya.
Sertifikasi halal menjadi perÂsoalan utama bagi para pelaku industri makanan dan minuman di dalam negeri. Dengan diperÂmudahnya proses sertifikat haÂlal di makanan dan minuman, diharapkan dapat menjawab keraguan masyarakat terhadap produk makanan dan minuman. “Kami keberatan karena kita meÂlihat ini mandatory untuk semua wajib dan itu tidak mungkin diÂlakukan untuk semua. Karena di dalam perdagangan hanya ada dua halal dan non halal. Padahal produk halal kalau dia tidak bisa disertifikasi dia harus dinyatakan non halal. Ini yang menjadi maÂsalah,†tutup Adhi.
Sementara, Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) meÂnilai perlu kebijakan yang fokus untuk meningkatkan daya saÂing industri makanan minuman (mamin)nasional. Jika RI punya kebijakan yang fokus mala IndoÂnesia berpotensi mengejar keterÂtinggalan dari Thailand sebagai salah negara produsen makanan dan minuman terbesar di ASEAN.
Anggota KEIN, Hendri SapariÂni mengatakan, untuk mengukur daya saing setidaknya ada dua tolak ukur, yakni dari sisi pasar serta dari sisi struktur biaya. Dari sisi pasar, pemerintah perlu memberikan kebijakan perdaganÂgan dalam atau luar negeri yang mampu memberikan pasar bagi industri.
Sementara dari sisi struktur biaya, mencakup pada apa yang sudah diberikan pemerintah agar industri ini bisa kompetitif dari segi biaya, seperti masalah duÂkungan insentif atau dukungan harga energi.
Para pengusaha Thailand, ujar Hendri, oleh pemerintah negara tersebut diberi jalan untuk memasarkan produk-produknya di pasar ASEAN. Sedangkan dari sisi produksi, pemerintah memÂbantu industrinya berinvestasi di Myanmar karena biaya produksi dan tenaga kerja disana hang lebÂih murah.
“Jadi ada perencanaan untuk menyediakan pasar dan memÂbantu produksi. Maka itulah yang disebut daya saing. Jangan kita hanya mengacu pada perinÂgat tanpa kebijakan yang fokus,†ujarnya di sela acara focus group discusion (FGD)KEIN diJakarta, Selasa (14/6/2016).