ANGKA inflasi Kota Bogor tembus 0,88 persen. Ini merupakan angka inflasi terbesar kedua di Jawa Barat setelah Tasikmalaya yang berada di level 0,93 persen.
RISHAD NOVIANSYAH|YUSKA APITYA
[email protected]
Dari tujuh kota pantauan di Jawa Barat, Kota Sukabumi berada di ranking tiga sebesar 0,67 persen, Kota Depok sebesar 0,68 persen, Kota Bandung sebesar 0,53 persÂen, Kota Cirebon sebesar 0,50 persen, dan disusul Kota Bekasi sebesar 0,37 persen.
Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Barat mencatat laju inflasi sepanjang Januari 2016 tembus sebesar 0,59 persen. Adapun laju inflasi dari tahun ke tahun “year on year†( Januari 2016 terhadap Januari 2015) tercatat sebesar 3,72 persen. Tingginya laju inflasi disebabkan karena fluktuasi harga sembako jenis beras dan cabai.
Kepala BPS Jawa Barat, Bachdi Ruswana, mengatakan Kelompok Bahan Makanan menjadi penyumbang inÂflasi tertinggi pada Januari 2016. Kelompok pengeÂluaran ini mengalami inflasi sebesar 2,84 persen. Sub kelomÂpok yang mengalami inflasi tertinggi yakni sub kelompok bumÂbu-bumbuan 8,04 persen. Sementara koÂmoditi yang mengalami inflasi tertinggi dari sub kelompok ini yaitu bawang merah, bawang putih, cabe merah. Disamping juga karena beras.
Adapun komoditas yang mengalami keÂnaikan dan memberikan andil inflasi cukup siginifikan adalah daging ayam ras sebesar 0,18 persen, telur ayam ras (0,10 persen), bawang merah dan tarif listrik masing-masing (0,08 persen), kentang dan beras masing-masing sebesar (0,06 persen). BahÂkan daging sapi yang sempat bergejolak beÂberapa hari termasuk dalam pemberi andil 10 inflasi tertinggi.
Sementara komoditas yang mengalami penurunan dan memberikan andil deflasi signifikan antara lain bensin sebesar 0,14 persen, solar (0,06 persen), bahan bakar rumah tangga (0,04 persen), buncis (0,03 persen), kacang panjang, angkutan udara, bayam, dan ketimun masing-masing (0,02 persen).
Terpisah, Kepala Disperindag Kota BoÂgor, Bambang Budiyanto, membenarkan jika harga komoditi daging dan cabai menÂgalami lonjakan tinggi di pasaran. “Kalau daging akibat pengaruh kebijakan PPN, disÂamping juga ada dugaan permainan pasar. Sementara cabai, saya rasa masih wajar, keÂmungkinan karena gagal panen dampak ElÂnino tahun lalu,†kata dia, Senin (1/2/2016) petang.
Terpisah, Kasi Perdagangan Dalam NegÂeri pada Dinas Koperasi, Perindustrian, UMKM dan Perdagangan Dalam Negeri (Diskoperindag) Kabupaten Bogor, Yatirun mengungkapkan, fluktuatifnya harga semÂbako lantaran barang dagangan dari petani hingga ke tangan konsumen haru melewati perjalanan panjang.
Untuk sampai ke tangan konsumen, kata dia, dari petani harus melewati penÂgumpul besar, kemudian distributor, lalu pasar induk baru sampai ke konsumen. Faktanya, setiap tahapan itu pasti diambil keuntungan harga. Itulah yang menyebabÂkan harga yang sulit dikendalikan. “SekaÂrang begini, dari petani ke pengumpul besar saja sudah ada harganya. Belum dari pengumpul besar ke distributor. Tentunta, distributor mengambil untung juga saat menjual ke pasar induk. Dari situ, pedaÂgang di pasar induk juga pasti mengambil untuk saat orang-orang dari psar tradisionÂal ingin belanja. Belum lagi ada pedagang di warung kecil atau gerobak keliling. Itulah yang sudah dikendalikan,†kata Yatirun.
Ia menambahkan, untuk melakukan efisiensi perjalanan barang dagang, piÂhaknya tengah menyosialisasikan pasar leÂlang kepada para petani. “Jadi petani bisa langsung menjual di pasar lelang langsung ke pengguna akhir. Bisa itu pabrik, atau konsumsi rumah tangga,†jelasnya.
Namun, belum ada pasar lelang dengan sistem online. “Kedepannya sih katanya nanti mau online. Soalnya ini bagus. Petani tidak perlu datang ke pasar lelang memÂbawa puluhan kilo hasil buminya. Cukup membawa sampel saja. Kalau konsumen suka, nanti dela harga, bisa jadi transaksi,†lanjutnya.
Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan laju inflasi di Januari 2016 mencapai 0,51%. Inflasi secara tahuÂnan (year on year) tercatat 4,14%. Inflasi komponen inti di Januari sebesar 0,29% dan inflasi komponen inti Januari yoy sebeÂsar 3,62%. “Dari 2010, 7 tahun lalu, inflasi Januari ini paling kecil, kecuali 2015,†ujar Kepala BPS Suryamin di kantornya, Senin (1/2/2016).
Ia menambahkan, dari 82 kota IHK, 75 kota IHK mengalami inflasi, dan 7 kota IHK tercatat deflasi. Inflasi tertinggi terjadi di Sibolga sebesar 1,82% dan terendah di Padang 0,02%
Kepala BPS, Suryamin menjelaskan, kontribusi bahan terhadap laju inflasi buÂlan lalu sebesar 2,2%. “Ada kenaikan daging ayam ras, telur ayam ras, bawang merah, bawang putih, beras dan daging sapi,†ujarnya dalam konferensi pers di kantor BPS, Jakarta.
Selain bahan pangan, kenaikan tarif lisÂtrik, gas dan bahan bakar juga berkontribuÂsi terhadap laju inflasi Januari, yaitu sebeÂsar 0,53%. “Karena Kenaikan tarif dasar listrik,†kata Suryamin
Selanjutnya diikuti kenaikan harga makanan jadi, minuman, rokok, dan temÂbakau yang berkontribusi sebesar 0,51%. Kemudian, inflasi bulan lalu juga dipicu kenaikan biaya konsumsi sandang sebeÂsar 0,26%, kesehatan sebesar 0,01%, serta pendidikan, rekreasi, dan olahraga sebesar 0,01%.
Suryamin menjelaskan, harga beras preÂmium di Januari 2016 mencapai Rp 9.723/kiÂlogram (kg) atau naik 0,62% dibandingkan Desember 2015 yang sebesar Rp 9.663,57/kg. Kemudian, harga beras kualitas medium di Januari mencapai Rp 9.548,24/kg atau naik 1,03%, dibandingkan Desember 2015 yang sebesar Rp 9.450,66/kg.
Sedangkan harga beras kualitas renÂdah di Januari 2016 mencapai Rp 9.280,39/kg atau naik 0,84%, dibandingkan DeÂsember 2015 yang sebesar Rp 9.208,28/kg. Suryamin meminta pemerintah untuk mewaspadai kenaikan harga beras ini. “Ini (beras) yang cukup banyak dikonsumsi masyarakat. Ini bahan pemerintah untuk warning, akan naik lagi kalau tidak ditekan dari distribusi dan pasokan,†ujar SuryÂamin.
Selain itu, Suryamin menjelaskan, harÂga rata-rata gabah kering panen di tingkat petani sebesar Rp 5.205,73 atau naik 1,72% dibandingkan harga di Desember 2015. Harga gabah kering giling di tingkat petÂani sebesar Rp 5.689,13/kg atau naik 1,2% dibandingkan harga di Desember 2015.
Sedangkan harga rata-rata gabah kering panen di tingkat penggilingan sebesar Rp 5.290,78/kg atau naik 1,71% dibandingkan harga di Desember 2015. Harga gabah kerÂing giling di tingkat penggilingan sebesar Rp 5.805,37/kg atau naik 1% dibandingkan harga di Desember 2015.
Selain beras, cabai merah juga menÂjadi salah satu komoditas yang mendapat perhatian karena cukup sering mengalami lonjakan harga. Penyebabnya dapat terlihat dari rantai distribusi cabai merah.
BPS, dalam risetnya menyimpulkan bahwa rantai distribusi terpanjang berada di Jawa Tengah dan terpendek ada di SuÂlawesi Utara. Untuk yang terpanjang, ada 8 titik harus dilewati. “Kita lihat yang terpanÂjang rantainya ada di Jawa Tengah,†ungkap Suryamin.
Dari petani, cabai merah dibawa ke pedagang pengepul. Kemudian, disalurkan ke distributor dan berlanjut ke sub distribuÂtor. Titik seterusnya adalah agen yang bisa diteruskan ke sub agen dan pedagang groÂsir. Sampai ke pedagang grosir maka diterÂuskan ke pengecer. Baru kemudian diseÂbar ke rumah tangga dan kegiatan usaha lainnya. Dari pedagang grosir, juga bisa ke supermarket untuk dijual ke rumah tangÂga. “Sebenarnya, kalau titik itu dipotong maka besar kemungkinan bisa mengurangi penarikan margin dan harga bisa lebih muÂrah,†jelas Suryamin.
BPS bulan ini meluncurkan pola disÂtribusi perdagangan beras. Tercatat rantai distribusi beras terpanjang terjadi di DKI Jakarta, dan terpendek ada di Sulawesi Utara. Dalam skema yang diperlihatkan, rantai pertama diawali dari penggilingan dan importir yang masuk sampai ke disÂtributor. Kemudian diteruskan ke pedagang pengumpul dan selanjutnya sampai ke sub distributor. Dari titik tersebut berlanjut ke agen dan sub agen terus ke pedagang groÂsir. Kemudian dialirkan lagi ke pedagang eceran, baru terakhir sampai ke tangan konsumen, yakni rumah tangga dan kegÂiatan usaha lainnya.
Akan tetapi dari titik agen juga ada yang langsung ke supermarket/swalayan untuk dijual kepada konsumen. Artinya tidak meÂlewati sub agen dan pedagang grosir.
Suryamin menjelaskan, dari setiap titik tersebut ada margin yang ditarik. Sehingga tidak mengherankan bila harga yang samÂpai ke konsumen cukup tinggi dibandingÂkan pembelian oleh tempat penggilingan dari petani. “Dari setiap rantai, itu ada margin yang ditarik. Semakin banyak yang dilewati ya semakin banyak marginnya,†tandasnya. (*)