DANA Moneter Internasional (IMF) angkat bicara mengenai hasil referendum yang memutuskan Inggris keluar dari Uni Eropa (Brexit). IMF meminta otoritas Inggris dan Uni Eropa segera merampungkan transisi ekonomi agar tak berdampak massal ke sejumlah negara di Dunia.
Oleh : Yuska Apitya
[email protected]
Direktur IMF, Christine Lagarde mengatakan piÂhaknya bisa memahami keputusan yang diamÂbil oleh warga Inggris. Atas dasar hal tersebut, ia meminta otoritas Inggris dan Uni Eropa untuk meÂnyiapkan segala hal dengan baik. «Kami mencatat keputusan maÂsyarakat Inggris. Kami mendesak otoritas Inggris Raya dan Eropa untuk bekerja sama guna memastiÂkan kelancaran transisi hubungan ekonomi yang baru antara Inggris dan Uni Eropa, termasuk dengan memperjelas prosedur dan tujuan yang luas yang akan memandu proses transisi,» ujarnya dalam keterangan resmi, kemarin.
Christine menjelaskan, ia mendukung bank sentral kedua belah pihak, baik Inggris dan Uni Eropa yang berkomitmen menjaga kondisi likuiditas dan kesehatan
keuangan wilayahnya. “Kami sangat mendukung komitmen dari Bank of England dan bank sentral Eropa untuk memasok likuiditas ke sistem perbankan dan mengurangi volatiliÂtas keuangan yang berlebih. Kami akan terus memantau perkembanÂgan dan siap untuk mendukung anggota kami apabila diperlukan,†jelasnya.
Sebelumnya, hasil referendum Brexit membuat nilai tukar pound sterling anjlok ke level terendah sejak 1985 dibarengi dengan meÂnukiknya harga saham berjangka Inggris pada Jumat (24/6). Aksi jual obligasi juga meningkat tajam dan mendongkrak biaya pinjaman Pemerintah Inggris.
Nilai tukar pound sterling anjlok hampir 10 persen kemarin, yang merupakan kejatuhan terdalam sepanjang sejarah Inggris. Tepatnya sejak rezim nilai tukar mengambang bebas diperkenalkan pada awal 1970-an.
Depresisi kurs saat ini dinilai lebih parah dibandingkan dengan tragedi ‘Black Wednesday’ pada September 1992, ketika miliarder George Soros melakukan aksi jual pound sterling besar-besaran seÂhingga melumpuhkan pertahanan Bank Sentral Inggris (BOE).
“Ini seperti kembali dari masa depan, kita seperti kembali ke era 1985,†kata Nick Parsons, Wakil KeÂpala Strategi Mata Uang Global di NAB. Pound sterling tercatat jatuh ke level US$1,33, yang merupakan level terendah terhadap dolar seÂjak September 1985. Sementara terhadap Euro, pound sterling meÂlemah 6 persen dan terhadap yen terdepresiasi 15 persen. Sementara itu, harga saham berjangka turun 7 persen di Bursa London. «Pound sterling sudah anjlok 10 persen dalam enam jam. Itu sangat luar biÂasa, dan referendum Inggris telah menciptakan krisis di Eropa,†kata Nick.
Sementara itu, keresahan juga dialami Menteri Keuangan China Lou Jiwei. Lou menilai keputusan Inggris untuk meninggalkan Uni Eropa semakin menambah tinggi faktor ketidakpastian ekonomi duÂnia. Ia menyebut, imbas dari hasil referendum tersebut diperkirakan bakal memberi implikasi bagi ekoÂnomi Inggris dan dunia sampai 10 tahun ke depan.
“Brexit akan mengaburkan panÂdangan atas ekonomi dunia. Akibat dan dampak dari Brexit itu akan kita rasakan dalam 5 sampai 10 taÂhun,†ujar Jiwei saat berpidato di pertemuan tahunan perdana Asian Infrastructure Investment Bank di Beijing, dikutip dari Reuters, MinÂggu (27/6).