61c9bea5-8f51-4ab2-86b1-21bbae32259e_169Namanya mungkin tak setenar Wiranto, Prabowo, Tri Sutrisno ataupun Moeldoko. Namun, apa yang telah diperbuatnya, pa­tut diacungi jempol. Apa yang telah diperbuat Pembantu Letnan Satu (Peltu) Riyono Suhadi, setidaknya bisa menjadi kado istimewa di Hari Ulang Tahun (HUT) TNI ke-70.

(Yuska Apitya Aji/detik)

PERJUANGAN Peltu Riyono Suhadi (45) membangun pesantren di ru­mahnya di Cilodong, Kota Depok tak semudah membalikan telapak tangan. Mulai dari menjual rumah hingga menggadaikan SK tentara­nya ke bank.

Lika-liku ini diceritakan Riyono dan sang istri, Yuniarsih (43). Riyo­no dan Yuniarsih awalnya tinggal di rumah kontrakan dan berpindah-pindah. Mulai dari Cilandak, Jong­gol, Serab hingga Cilodong, Depok.

Hidup berumah tangga dengan dua anak yang masih kecil dan gaji pas-pasan membuat keduanya ter­paksa berhemat. Yuniarsih saat itu bekerja sebagai PNS.

Riyono yang memang memiliki latar belakang pendidikan agama Islam karena kuliah jurusan Tarbiyah itu sering diminta untuk berceramah. Dia tak meminta tarif, namun terka­dang ada saja yang memberikan amplop. Dia juga bek­erja menawarkan jasa jual beli mobil, tanah atau hewan kurban. Semua pekerjaan dilakukan yang penting ha­lal. “Bapak kerjanya ceramah dan jual beli mobil. Tapi nggak ngawal-ngawal atau backingin orang ya,” ucap Yuniarsih.

“Kalau kalkulasi secara logika dan matematika nggak akan masuk akal. Tapi rezeki ada saja, Allah yang nga­tur,” ucap Yuniarsih sambil tersenyum.

BACA JUGA :  Resep Membuat Sayur Gurih Nangka Muda, Dijamin Keluarga Nambah Terus

Usaha yang mereka lakukan maju hingga bisa punya rumah sendiri di Serab, Depok. Rumah di Serab itu di­jual seharga Rp 300 juta. Dua mobil miliknya juga ikut dijual. Uangnya digunakan untuk membeli rumah seluas 1.500 meter di Jl Haji Kocen, Kampung Kebon Duren, Ka­limulya, Cilodong, Depok. Di lahan itu Riyono memban­gun TK Islam, pesantren dan majelis taklim. “Masa-masa sulit itu pasti ada. Misalnya kesulitan ekonomi, tapi ter­lewatkan alhamdulillah ada jalannya. SK tentara kita ga­daikan, istilahnya kita sekolahkan di bank. Awalnya itu habis Rp 300 jutaan, rumah di Serab dan mobil saya jua­lin, terus saya pindah ke sini,” kenang ayah dua anak ini.

Riyono mengaku dalam sebulan dia biasa menge­luarkan uang sebesar Rp 4-5 juta untuk operasional pesantren. Biaya itu untuk menggaji 3 orang guru dan keperluan pesantren. Kalau dihitung-hitung pemasukan Riyono dan biaya yang dikeluarkan untuk membiayai pesantren, sekolah dua anaknya dan operasional rumah tangga tidak akan cukup. Namun dia merasa rezeki bisa datang dari mana saja dan sudah ada yang mengatur.

“Kalau ekonomi rezeki dari mana saja. Kayak kema­rin itu satu hari sebelum Idul Adha saya bengong nggak ada program apa-apa di sini. Tahu-tahu ada yang telp “No ini ada sapi ambil” kemarin saya potong dua sapi, sumbangan orang-orang. Potong sapi buat orang-orang sini, buat santri. Itu contoh kecil yang nggak disangka-sangka,” ucapnya.

BACA JUGA :  Menu Makan Malam dengan Sup Tofu dan Jamur Bekuah Gurih

Soal tantangan dalam membangun pesantren ini, Riyono mengaku tak ada tantangan dari masyarakat sekitar. Justru hal itu datang dari dalam dirinya. Tantan­gan itu adalah rasa kurang sabar, kurang ikhlas dan riya. Sebagai manusia biasa, Riyono terkadang dihampiri perasaan itu. “Saya itu termasuk manusia yang kurang sabar. Kita kan ngatur anak orang, banyak lagi dan kelakukan beda-beda. Kemudian kurang ikhlas, grundel dalam hati kok begini yah. Saya grundel sama istri saya kok begini jadi berisik, kotor. Terus istri saya ngomong “Kan Mas yang mulai, masa Mas yang akhiri”. Saya sadar sendiri, kadang-kadang rasa iklas itu kan berat banget,” papar Riyono yang saat ini berdinas di Korp Marinir, Kwitang, Jakpus ini. “Yang paling berat itu sabar sama ikhlas. Kan kita korbanin segalanya, harta, waktu, uang, kalau nggak ikhlas gimana, itu tantangannya. Walla­hualam saya serahkan kepada Allah SWT,” tambahnya.

Riyono berharap pesantren dan majelis taklim ini bisa mencetak generasi yang berakhlak mulia dan cer­das dalam mengatur kehidupan bermasyarakat dan be­ragama. Bukan hanya cerdas logika tapi juga akhlak dan agamanya baik. “Paling tidak salat nggak usah disuruh, bisa baca Alquran. Minimal seperti itu, nggak muluk-muluk,” tutupnya.

============================================================
============================================================
============================================================