AKHIR-AKHIR ini umat dihadapkan pada dua narasi besar tentang Islam Indonesia. Dua narasi besar itu adalah Islam berkemajuan dan Islam Nusantara. Narasi Islam berkemajuan sangat lekat dengan Muhammadiyah. Bahkan Muhammadiyah telah menjadikan kata â€berkemajuan†sebagai tagline tema Muktamar Ke- 47 di Makassar, 3-7 Agustus 2015.
Oleh: BIYANTO
Dosen UIN Sunan Ampel; Ketua Majelis Dikdasmen PWÂ Muhammadiyah Jatim
Tema yang diusung Mu h a m m a d i y a h dalam muktamar kali ini adalah Dakwah Pencerahan untuk InÂdonesia Berkemajuan. Melalui tema ini Muhammadiyah ingin mewujudkan Islam masa depan yang modern, universal, dan mendunia. Muhammadiyah sejak awal memang telah mengenalkan diri sebagai gerakan Islam berkeÂmajuan. Pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan, mengatakan bahwa Islam merupakan agama berkemajuan. Ungkapan Islam berkemajuan juga pernah dikeÂmukakan Presiden Pertama RI, Soekarno. Senada dengan Kiai Dahlan, Soekarno juga menenÂtang kekolotan, kejumudan, takhayul, dan kemusyrikan yang terjadi di tengah-tengah maÂsyarakat. Pandangan Sukarno ini merupakan buah dari interaksinÂya dengan tokoh-tokoh MuhamÂmadiyah, terutama Kiai Dahlan dan KH Mas Mansur. Saat masih tinggal di Surabaya, Sukarno terÂgolong rajin mengikuti pengajian Kiai Dahlan.
Dalam amatan Kiai Dahlan, umat saat itu sudah jauh tertingÂgal dan enggan mengejar keterÂtinggalan karena maraknya budaÂya takhayul, bidah, dan churafat (TBC). Dampaknya, umat sulit membedakan antara praktik budaya yang menghambat keÂmajuan dengan ajaran agama yang sebenarnya. Kiai Dahlan menyadari betul bahwa mewuÂjudkan Islam berkemajuan meruÂpakan suatu keniscayaan. Spirit membumikan Islam berkemajuan pun terus digelorakan Kiai Dahlan dan tokoh-tokoh Muhammadiyah generasi awal.
Di tengah masyarakat yang belum memiliki kesadaran memÂbayar zakat, Muhammadiyah membentuk panitia zakat (amil). Di tengah masyarakat yang maÂsih mengandalkan dukun untuk menyembuhkan penyakit, MuÂhammadiyah mendirikan rumah sakit. Di tengah masyarakat yang masih mengabaikan nasib anak yatim, Muhammadiyah mendiriÂkan panti asuhan. Di tengah maÂsyarakat yang fanatik berpedoman pada kalender urfi warisan Sultan Agung, Muhammadiyah menawarÂkan ilmu hisab astronomi.
Saat banyak kalangan muslim memperdebatkan apakah sekoÂlah modern kafir atau tidak, MuÂhammadiyah terus membangun sekolah-sekolah modern. Bahkan sebelum Muhammadiyah lahir, Kiai Dahlan telah mendirikan maÂdrasah diniyah sebagai cikal bakal sekolah modern. Modernisasi pendidikan yang diprakarsai Kiai Dahlan merupakan terobosan penting pada masanya. Bagi MuÂhammadiyah, pendidikan modÂern merupakan metode yang jitu untuk memajukan umat.
Saat pendidikan masih diberiÂkan secara terbatas pada elite priÂyayi, Muhammadiyah membuka kesempatan kepada anakanak dari masyarakat luas untuk belaÂjar. Kiai Dahlan juga merumuskan tujuan pendidikan yang begitu ideal, yakni melahirkan individu yang tampil sebagai ulama-intelek atau intelek- ulama. Profil luluÂsan pendidikan ala Kiai Dahlan menunjukkan semangat mewuÂjudkan Islam berkemajuan. LuluÂsan pendidikan diharapkan meÂmiliki keteguhan iman dan ilmu yang luas serta kuat jasmani dan rohani. Pembaruan MuhammadiÂyah di segala bidang itu menunÂjukkan dengan jelas visi Islam berkemajuan.
Sementara itu, wacana Islam Nusantara sangat popular di kaÂlangan Nahdlatul Ulama (NU). DisÂkursus Islam Nusantara juga dibiÂcarakan dalam berbagai forum ilmiah. Bahkan dalam banyak keÂgiatan pengajian tidak jarang kiai-kiai NU menekankan pentingnya Islam yang berwajah Nusantara. Wacana Islam Nusantara menÂemukan momentum yang tepat, yakni jelang Muktamar Ke-33 NU di Jombang pada 1-5 Agustus 2015. Muktamar NU juga mengusung tema Meneguhkan Islam NusanÂtara, Merawat Indonesia untuk Membangun Peradaban Dunia. Melalui tema ini NU ingin menÂjadi gerakan Islam yang ramah terhadap berbagai budaya di NuÂsantara.
Pendiri dan ideolog NU, KH Hasyim Asyari, dikenal luas sebÂagai ulama yang sangat akomoÂdatif terhadap berbagai budaya agama populer (popular religion).
Hal itu dilakukan Kiai Hasyim untuk menjaga kekhasan Islam di Nusantara. Sementara ketua umum PBNU, KH Said Aqil Siradj, meniscayakan Islam Indonesia harus mencerminkan perilaku sosial budaya yang moderat (taÂwassuth), seimbang (tawazun), dan toleran (tasamuh). Menurut Kiai Said, tiga prinsip ini sekaligus menjadi solusi warga nahdliyin dalam menghadapi tantangan libÂeralisme, kapitalisme, sosialisme, serta radikalisme bernuansa agaÂma yang kian marak.
Konsepsi Islam Nusantara seakan menjadi narasi besar NU untuk membumikan ajaran Islam di Indonesia dan negara tetangga. Wacana Islam Nusantara kian populer setelah Presiden Jokowi turut memberikan dukungan. Saat hadir di tengah-tengah warga nahdliyin, Jokowi mengatakan bahwa Islam kita adalah Islam Nusantara, yakni Islam yang raÂmah dan moderat. Pernyataan Presiden dikemukakan untuk membandingkan wajah Islam InÂdonesia dengan nasib Islam di SuÂriah, Irak, dan Libya, yang hingga kini terus membara akibat konflik berkepanjangan.
Pertanyaannya, bagaimana menyandingkan narasi agung IsÂlam berkemajuan dan Islam NuÂsantara? Idealnya dua narasi IsÂlam Indonesia ini tidak dipahami secara binaris sehingga terkesan berhadap-hadapan. Keduanya harus dipahami secara utuh seÂhingga bisa saling melengkapi. Membumikan ajaran Islam di Nusantara dengan tetap mengaÂkomodasi budaya sebagai benÂtuk kearifan lokal (local wisdom) terasa sangat penting. Tetapi haÂrus tetap dibedakan ajaran agama yang sebenarnya dan budaya agama. Sepanjang tidak bertenÂtangan dengan jiwa ajaran Islam, budaya agama termasuk dalam kategori boleh (ibahah). Jika buÂdaya agama itu bertentangan dengan ajaran Islam, maka harus dikoreksi.
Narasi Islam Nusantara juga harus dimodernisasi agar sesuai dengan konteks kekinian. Islam Nusantara tidak boleh berwajah sinkretis, berpandangan romanÂtis, dan antiperubahan. Islam NuÂsantara harus menampilkan waÂjah yang modern, mendunia, dan berpandangan futuristik. Pada konteks inilah Muhammadiyah dan NU harus bersinergi untuk mendakwahkan Islam di NusanÂtara yang berkemajuan dengan penuh optimistik. Dengan meÂminjam kata-kata bijak di dunia pesantren, dua ormas terbesar di Tanah Air itu harus mengamalkan ajaran al-muhafadhah ala al-qadÂim al-shalih wa al-akhdz bi al-jadid al-ashlah (menjaga tradisi lama yang masih baik dan mengambil budaya baru yang lebih baik).
Dengan cara tersebut rasanya proses membumikan Islam dalam bingkai budaya Nusantara yang maju dan modern akan menjadi kenyataan. Jika kondisi ini terjadi, maka wajah Islam di Nusantara akan menjadi laboratorium duÂnia. Islam Indonesia juga akan menjadi lokomotif kebangkitan Islam. (*)