Oleh: IRFAN NUR RACHMAN
Peneliti pada Mahkamah Konstitusi RI
Semula, berdasarkan PasÂal 245 Ayat (1) Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), pemanggilan dan perminÂtaan keterangan untuk penyidiÂkan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan terÂtulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Ketentuan ini keÂmudian dinyatakan MK inkonstiÂtusional bersyarat sepanjang frase “persetujuan tertulis dari MahkaÂmah Kehormatan Dewan†tidak dimaknai “persetujuan tertulis dari Presidenâ€.
Artinya, pemanggilan dan perÂmintaan keterangan untuk penyiÂdikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan terÂtulis dari Presiden. Dalam konteks inilah MK telah merekonstruksi mekanisme “izin MKD†menjadi “izin Presidenâ€. Setidaknya terÂdapat tiga hal yang menjadi perÂtimbangan hukum mengapa MK menetapkan pemeriksaan anggota DPR perlu mendapat izin Presiden.
Esensi Persetujuan Tertulis
Pertama, sebagaimana diaÂtur dalam Pasal 20A UUD 1945, anggota DPR mempunyai hak interpelasi, angket, menyatakan pendapat, mengajukan pertanÂyaan, menyampaikan usul dan pendapat, serta imunitas. PelaksaÂnaan fungsi dan hak konstitusionÂal anggota DPR harus diimbangi dengan perlindungan hukum yang memadai dan proporsional sehingga anggota DPR tidak denÂgan mudah dan bahkan tidak boÂleh dikriminalisasi pada saat dan/ atau dalam rangka menjalankan fungsi dan kewenangan konstituÂsionalnya.
Hal itu juga merupakan politik hukum (legal policy) pembentuk undang-undang yang mengonÂstruksikan upaya perlindungan bagi pejabat negara agar tidak muÂdah dikriminalisasi. Ada beberapa jabatan yang mensyaratkan perÂsetujuan tertulis Presiden, seperti hakim Mahkamah Agung, hakim Mahkamah Konstitusi, pimpinan dan anggota BPK, serta pimpinan dan anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia. Hal ini berbeda dengan jabatan kepala daerah yang sudah tidak memerlukan persetujuan tertulis Presiden pada tahap penyelidikan dan peÂnyidikan karena, meski tindakan hukum ini mungkin mengganggu kinerja kepala daerah dalam menÂjalankan pemerintahan daerah, tidak ada halangan bagi yang berÂsangkutan untuk menjalankan tugas. Namun, jika kepala daerah akan ditahan, persetujuan tertulis dari Presiden diperlukan.
Memang dalam amar putuÂsan Nomor 73/PUU-IX/2011, MK membatalkan Pasal 36 Ayat (1) dan Ayat (2) UU Pemda yang mengatur persetujuan tertulis Presiden bagi kepala daerah. Namun, dalam pertimbangan hukumnya, MK menegaskan masih perlu persetuÂjuan tertulis Presiden untuk prosÂes penahanan karena tindakan hukum itu akan mengganggu dan menghambat tugas menjalankan pemerintahan daerah. Dengan demikian, sejatinya persetuÂjuan tertulis dari Presiden dalam pemeriksaan kepala daerah masih diperlukan jika ada penahanan.
Kedua, persyaratan persetuÂjuan tertulis dari MKD dalam hal pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR bertentanÂgan dengan prinsip persamaan kedudukan di hadapan hukum dan pemerintahan. Lagi pula, hal ini dipandang tidak tepat karena MKD, meskipun disebut “mahkaÂmahâ€, sesungguhnya adalah alat kelengkapan DPR yang meruÂpakan lembaga etik dan tidak meÂmiliki hubungan langsung dalam sistem peradilan pidana.
Proses pengisian anggota MKD yang bersifat dari dan oleh angÂgota DPR akan menimbulkan konÂflik kepentingan. Oleh karena itu, menurut MK, proses persetujuan tertulis terhadap anggota DPR yang akan disidik harus dikeluarÂkan oleh Presiden dalam keduduÂkannya sebagai kepala negara dan bukan oleh MKD. Oleh karena itu, putusan MK yang merekonÂstruksi izin anggota DPR-semula kewenangan MKD menjadi keÂwenangan Presiden-sudah tepat.
Ketiga, dalam upaya menegakÂkan mekanisme checks and balÂances antara pemegang kekuasaan legislatif dan pemegang kekuaÂsaan eksekutif. Dengan demikian, MK berpendapat bahwa izin terÂtulis a quoseharusnya berasal dari Presiden dan bukan dari MKD.
Adanya persyaratan izin atau persetujuan tertulis dari Presiden dalam hal anggota DPR dipanggil dan dimintai keterangan dalam konteks adanya dugaan tindak pidana diharapkan, di satu pihak, tetap dapat melaksanakan fungsi dan kewenangannya sebagai angÂgota DPR. Di lain pihak, tetap menjamin kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana diÂjamin UUD 1945.
Meski demikian, tindakan penyÂidikan yang dilakukan sebagaimana diatur dalam Pasal 245 UU MD3 yang memerlukan persetujuan tertulis dari Presiden tersebut haÂrus diterbitkan dalam waktu yang singkat. Hal itu dilakukan untuk mewujudkan proses hukum yang berkeadilan, efektif, efisien, serta menjamin kepastian hukum.
Oleh karena Pasal 245 Ayat (1) telah diubah oleh MK, dalam membaca dan memaknai Pasal 245 Ayat (2), frase “Mahkamah Kehormatan Dewan†harus diÂmaknai “Presidenâ€. Maka, apabila Presiden tidak memberikan perÂsetujuan tertulis paling lama 30 hari terhitung sejak diterimanya permohonan; pemanggilan dan permintaan keterangan untuk peÂnyidikan tetap dapat dilakukan. Dengan demikian, putusan MK telah menjamin adanya kepastian hukum atas pemanggilan dan peÂnyidikan terhadap anggota DPR.
Rekonstruksi yang dilakukan MK untuk memosisikan persetuÂjuan tertulis yang semula merupakÂan kewenangan MKD menjadi keÂwenangan Presiden tak diperlukan manakala anggota DPR tertangkap tangan melakukan tindak pidana, disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara, dan diÂsangka melakukan tindak pidana khusus, termasuk korupsi.
Oleh karena itu, putusan MK ini hendaknya tidak dimaknai sebagai upaya menghambat penÂegakan hukum, terlebih dianggap sebagai upaya pelemahan pemÂberantasan korupsi dan upaya menghambat kinerja KPK. Di sisi lain, putusan inkonstitusional berÂsyarat MK terhadap Pasal 245 Ayat (1) mesti dipandang sebagai tindaÂkan proporsional untuk menjaga keluhuran martabat anggota DPR sehingga mereka dapat dengan tenang menjalankan tugas dan weÂwenang konstitusionalnya.
Konsekuensi hukum apabila MK membatalkan Pasal 245 Ayat (1) adalah tidak ada mekanisme yang mengatur mekanisme penyidikan terhadap anggota DPR. Hal ini tentu berpotensi menjadi bola liar yang mereduksi kepastian hukum dan menimbulkan ketidakadilan terÂhadap anggota DPR sebagai jabatan negara karena diperlakukan berÂbeda dengan jabatan lain, misalnya hakim Mahkamah Agung, hakim Mahkamah Konstitusi, pimpinan dan anggota BPK, serta pimpinan dan anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia, meski ada perbeÂdaan kapan dan pada tahap mana persetujuan tertulis diberikan PresÂiden kepada pejabat negara.
Pengaturan proses penyidikan khususnya terkait dengan adanya syarat persetujuan tertulis dari Presiden juga harus diberlakukan bagi anggota MPR dan anggota DPD. Sementara pemanggilan dan permintaan keterangan unÂtuk penyidikan terhadap anggota DPRD provinsi dan anggota DPRD kabupaten/kota yang disangka melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis Menteri Dalam Negeri dan bagi anggota DPRD kabupaten/kota haÂrus mendapat persetujuan tertulis dari Gubernur. (*)