Oleh: ITO PRAJNA-NUGROHO
Peneliti Lembaga Studi Terapan Filsafat dan alumnus STF Driyarkara

Jika memang kesatuan se­jati yang kalian inginkan dalam percintaan, mari biar kubantu kalian den­gan alat-alat logamku agar kulebur menjadi satu dalam keabadian yang tak akan terpisah­kan selamanya!”

Pasangan yang sedang kasma­ran pun dibuat tergagap dalam ke­bingungan. Mereka tidak mampu menjawab apa yang sebetulnya mereka inginkan satu sama lain.

Terintimidasi oleh pertanyaan Hephaestus, ngeri dengan sangar­nya tampilan Sang Vulcan sebagai dewa logam, mereka pun terpisah lari terbirit-birit tanpa peduli lagi dengan cinta mereka sebelumnya.

Kisah ini dapat kita jumpai dalam Symposium, salah satu karya terkenal filsuf Plato yang di­tulis lebih dari 2.400 tahun silam. Plato rupanya terusik oleh satu ke­nyataan sederhana, yaitu keban­yakan manusia, termasuk kaum cerdik-pandai dan kaum religius, tidak sungguh mengerti apa itu cinta dan abai tentang apa yang menggerakkan mereka untuk sal­ing mencinta.

Lebih jauh lagi, hasrat-hasrat dasar yang menggerakkan hidup kita ternyata tidak kita ketahui dan tinggal dalam kegelapan bagi diri kita sendiri (Symposium, 192c5).

Cinta dan Mania

Kegelisahan Plato menjadi san­gat nyata untuk kita sekarang di Abad ke-21 ketika kedekatan dan keintiman dengan orang lain se­makin dipermudah oleh teknologi komunikasi di media-media so­sial. Di situlah mungkin terletak paradoksnya: semakin mudah seseorang menikmati keintiman cinta lewat berbagai cara, intisari persahabatan dan cinta justru se­makin luput dari genggaman. Kita pun dibuat semakin abai diri.

Pada titik terburuk ketika hasrat pencarian cinta menemui kegagalan maka kegalauan bahkan konflik, entah konflik batin atau konflik dengan orang lain, menjadi konsekuensi tak terhindarkan.

Padahal, seperti dikatakan Pla­to, hasrat (eros) dan cinta (philia) yang kita miliki sebenarnya secara alamiah menghasrati kebahagia­an, kedamaian, dan kebaikan.

Erotika cinta, hasrat pencar­ian cinta, memang selalu mendua: hasrat itu membahagiakan sekal­igus menjadi sumber segala keben­cian, penderitaan, bahkan perang.

Dalam filsafat Plato, tatanan cinta di tingkat personal mencer­minkan juga tatanan keadilan di tingkat sosial politik. Mungkin aneh bagi kita sekarang jika mendengar cinta dikaitkan dengan politik.

Tetapi patriotisme misalnya, rasa cinta tanah air yang bahkan bisa membuat seseorang rela mati, adalah bentuk cinta yang meluas ke tingkat politik. Demiki­an juga cinta akan Tuhan Allah adalah bentuk cinta yang menjadi dasar seluruh bangunan agama.

BACA JUGA :  KURANG ELOK PRAMUKA BERUBAH DARI EKSKUL WAJIB JADI PILIHAN

Maka kualitas keadilan dan kedamaian tatanan sosial politik mencerminkan juga kualitas peng­hayatan cinta manusia-manusia di dalamnya.

Persoalannya, cinta memang mudah bergeser menjadi mania, eros sebagai hasrat kehidupan mudah bergeser menjadi tanathos, hasrat akan kematian. Kegilaan dalam ben­tuk cinta diri berlebihan, obsesi, dan kesewenganan hasrat adalah kenis­cayaan dari pergeseran tersebut.

Ketika cinta bergeser menjadi mania, maka cinta bukan saja buta, tetapi berubah menjadi ses­uatu yang sama sekali lain fitrahn­ya, yaitu kebencian, kekerasan, dan kebinasaan.

Pada titik ini, persahabatan beralih bentuk menjadi relasi ob­sesif demi kepuasan diri sendiri. Demikian juga cinta akan Tuhan beralih bentuk menjadi obsesi pendakuan Tuhan yang membe­dakan Tuhan-ku dan Tuhan-mu.

Pada situasi batas peralihan itu cinta akan Tuhan sebetulnya tidak lagi berkaitan dengan Tuhan, melain­kan lebih berkaitan dengan kenya­manan psikologis seseorang semata.

Hasilnya tentu saja ketertutu­pan diri dari segala keberlainan, dan kecenderungan menihilkan kekhasan manusia lain demi ‘cin­ta’. Apalagi perbedaan dan keber­lainan, jika tidak dimengerti secara baik memang menggelisahkan.

Pada setiap konflik sosial dan kekerasan berlatar agama – di Indonesia seperti pembakaran rumah doa aliran kebatinan Sapto Dharmo di Rembang, konflik di Aceh Singkil dan Tolikara, atau pembantaian warga Paris oleh kelompok teror pada 14 Novem­ber ini – jauh sebelum konflik me­letus sebenarnya dapat terlihat bagaimana hasrat-hasrat manu­sia mulai saling berbenturan dan bergeser menjadi mania.

Memutus Siklus Kekerasan

Berkat kecermatan P. J. Zoet­mulder, dalam Manunggaling Kawula Gusti ([1935] 1990), kita mengetahui bahwa dalam aliran-aliran keagamaan tradisional, ter­masuk Islam Nusantara, kesatuan antara manusia yang terbatas dan Tuhan yang tanpa batas menjadi tujuan orang beragama.

Kesatuan yang sama juga menjadi tujuan hasrat mencinta menurut Plato dalam Symposium. Kesatuan itu melampaui kesatuan badaniah dan mewujud di dalam relasi dengan orang lain, relasi dengan komunitasnya, atau pun relasi dengan dirinya sendiri.

Dalam tradisi filsafat Platoni­sian, Askesis menjadi jalan berat yang menuntun pada kesatuan tersebut, yaitu keandalan melatih diri mengelola perbedaan dan pertentangan di dalam diri atau pun komunitas.

BACA JUGA :  KUSTA, KENALI PENYAKITNYA RANGKUL PENDERITANYA

Maka jalan cinta sesungguh­nya adalah jalan yang berat, baik dalam hidup pribadi, sosial poli­tik, atau pun keagamaan.

Bukan tanpa alasan jika Plato menyebut kebahagiaan cinta nis­caya berujung pada kesatuan di antara keelokan, kebaikan, dan keadilan.

Di tingkat relasi sosial politik, negara yang mencintai rakyatnya adalah negara yang adil secara so­sial dan mampu secara baik men­gelola saling pertentangan serta perbedaan di antara warganya.

Maka utuhnya kesatuan negara terjadi dengan sendirinya karena cinta rakyat terhadap negaranya.

Di Indonesia relasi cinta di an­tara negara dan rakyat sepertinya berada dalam posisi yang tidak seimbang: rakyat dituntut mencin­tai negaranya jauh lebih besar dar­ipada negara mencintai rakyatnya.

Pemenuhan rasa keadilan para korban konflik menjadi salah satu contoh ketimpangan tersebut, khu­susnya konflik-konflik agama yang menyudutkan kelompok-kelompok ‘liyan’ sebagai ‘kaum minoritas’.

Tentunya kita tidak ingin ke­satuan yang terbentuk di Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan kesatuan semu lay­aknya cinta semu dua sejoli di nas­kah Symposium yang harus dile­bur oleh lava panas dewa Vulcan.

Untuk itu, tidak ada salahnya jika masing-masing pihak berkon­flik, termasuk negara, mulai memutus siklus konflik dan ke­kerasan dengan belajar dari tradi­si-tradisi lampau tentang keampu­han jalan cinta.

Sebab di jantung tradisi jalan cinta itu tersimpan satu teknik disiplin yang berdaya-guna kuat dalam memutus siklus kekerasan dan konflik, baik di tingkat prib­adi, sosial, maupun politik, yaitu askesis atau disiplin hasrat.

Askesis, yang dalam duaribu tahun sejarah panjang tradisi Kekristenan disebut sebagai Spiri­tual Exercise, memiliki muatan praktis yang kuat sebagai jalan cinta yang menekankan pada lati­han mawas-diri.

Marcus Aurelius, tokoh filsafat Stoa sekaligus salah satu kaisar Romawi yang terbesar, menyebut askesis sebagai jalan kewarasan yang memampukan seseorang memeriksa secara rasional dan emosional keputusan-keputusan yang telah dan akan diambilnya.

Michel Foucault, tokoh filsafat aliran Pasca-Strukturalis, menyebut askesis sebagai ‘pratiques de soi’, yaitu teknologi pembongkaran diri yang secara bersamaan memam­pukan seseorang terarah ke dalam dirinya sekaligus keluar dari egoisme diri dalam suatu cara yang radikal.

sumber: Satuharapan.com

============================================================
============================================================
============================================================