Foto : Antara
Foto : Antara

BILA disebut Jalan Satapak dalam konteks Pajajaran dan Pakuan, yang memaknainya dari dua pemahaman sekaligus : harafiah dan maknawi. Se­cara harafiah, terkait pembangunan infrastruktur jalan sekaligus penghi­jauan yang menyertai. Secara maknawi, Jalan Satapak merupakan lintas panjang perjalanan menembus masa : dari masa lalu ke masa depan.

Oleh : Bang Sem Haesy

PRABU Siliwangi dan Prabu Surawisesa memberi contoh, pembangunan infrastruktur harus mempertimbangkan dengan seksama, paling tidak tiga hal. Pertama, terkonek­sinya antar ruang wilayah berdasarkan fungsinya masing-masing. Kedua, terkoneksinya sentra produksi ekonomi rakyat dengan pasar dan pelabuhan melalui sungai. Ketiga, terkoneksin­ya pembangunan infrastruk­tur dengan pertumbuhan ekonomi.

Di sisi lain, upaya pemban­gunan sekaligus mendorong kemauan dan kemampuan bersikap dan bertindak man­diri, dengan memanfaatkan sumberdaya alam secara efek­tif, efisien, dan tidak serakah. Prabu Siliwangi dan Pabu Sura­wisesa memperhatikan den­gan seksama kondisi alam dan lingkungan sebagai ruang ke­hidupan paripurna yang harus dikelola secara proporsional dan fungsional.

Itulah sebabnya, Prabu Surawisesa berani menjalin kerjasama bilateral dengan bangsa asing (Portugis). Per­soalan baru timbul di penghu­jung masa kepemimpinan dan akhir hidupnya. Persisnya, ke­tika Cirebon dan Banten, atas desakan Demak memandang hubungan bilateral itu meru­pakan ancaman atas kedaula­tan mereka.

BACA JUGA :  KURANG ELOK PRAMUKA BERUBAH DARI EKSKUL WAJIB JADI PILIHAN

Penyerbuan simultan yang dilakukan Cirebon dan Banten atas Sunda Kelapa, menandai babak baru Pakuan. Terutama, ketika Ratu Dewata yang mel­anjutkan kepemimpinannya mempunyai orientasi lain.

Ratu Dewata mengabai­kan urusan dunia dan sibuk dengan persoalan-persoalan spiritual. Antara lain menasbi­hkan diri sebagai ngarajarési. Bertindak sebagai raja sekali­gus pendeta. Sikap itu (dalam pandangan Saleh Danasasmita – Yoseph Iskandar dan Enoch Atmadibrata), akibat Ratu De­wata muak dengan suasana konflik dan perang, yang me­lumpuhkan jalannya pemerin­tahan dan pembangunan.

Ratu Dewata hanya men­gandalkan perjanjian antara Prabu Surwisesa dengan Susu­hunan Jati. Ia pun melanjutkan perjanjian itu dengan Panger­an Pasarean (Cirebon), Sultan Hasanuddin (Banten), dan Fa­dillah Khan (Sunda Kelapa).

Ratu Dewata tidak meny­iapkan pasukan apapun. Se­dangkan Sultan Hasanuddin yang membentuk laskar Bant­en yang dalam catatan Belanda disebut sebagai “Bantam Rov­er.” Kelak, oleh VOC laskar ini dianggap sebagai pengganggu. Belanda mengakui, Laskar Banten terbilang pasukan yang sangat cepat bergerak dan tidak gentar menghadapi sen­jata orang-orang Eropa.

BACA JUGA :  Wajib Coba! Menu Makan Siang dengan Semur Daging Istimewa yang Lezat dan Nikmat

Ratu Dewata lengah, karena sibuk dengan upacara-upac­ara spiritual, lalu mengandal­kan pasukan Indraprasta dan Tanjung Barat. Dalam situasi semacam itu, Pakuan diserang pasukan tak beridentitas. Peny­erbuan itu gagal, walaupun me­makan korban dua tokoh utama.

Dalam Carita Parahiyan­gan dicatat, “Datangna banca­na musuh ganal, tambuh sang­kane. Prangrang di burwan ageung. Péjah tohaan Ratu Sarendet deung Tohaan Ratu Sanghiyang.” Datang bencana dari laskah musuh. Tak dike­tahui asal-usulnya. Terjadi perang di alun-alun. Gugurlah Tohaan Ratu Sarendet dan To­haan Ratu Sanghiyang.

Juru pantun menulis syair tentang jalan masa lalu ini, dalam nada sansai, begini : “Jalan satapak paranti kuring ngaprak, estu lantung tambuh laku. Heunteu puguh nu di­jugjug. Leumpang sakaparan-paran. Jalan satapak nu matak ngarakcak..” [Jalan setapak tempatku berkelana, sungguh – mencatat – perjalanan sia-sia. Berjalan sesuka hati. Jalan se­tapak membuat hati masygul. Ingat kepada tingkah laku – masa lalu..]

============================================================
============================================================
============================================================