Untitled-13APA yang kita saksikan dalam peristiwa di Jakarta, Selasa (22/3/16)? Mengapa para anggota Paguyuban Sopir Taxi Jakarta dan beberapa komunitas pengemudi angkutan umum DKI Jakarta sampai sedemikian rupa melu­apkan amarahnya terhadap pelaku bisnis angkutan umum online?

Bang Sem Haesy

PERSOALANNYA tentu tak hanya sekadar perut. Bu­kan sekadar beban berat ke­hidupan yang menghimpit. Melainkan, jauh dari itu, yakni gamang terhadap perubahan yang sangat cepat.

Sikap menghadapi peruba­han inilah, yang dalam artikel terdahulu diisyaratkan dalam kalimat sederhana, “Ulah ung­gut ka linduan ulah geudag kaanginan.” Jangan limbung karena guncangan (gempa), jangan pula bersikap sok hebat menantang angin. Jangan mudah terguncang oleh perubahan, jangan pula sok jago menantang perubahan. Boleh diingat ulang, bagaimana Pakuan Pajajaran di bawah kepemimpinan Pra­bu Siliwangi dan Prabu Sura­wisesa mengingatkan raky­atnya, untuk menjaga diri dari catur buta (empat hal yang paling mengerikan). Yaitu: burangkak, marende, mariris, danwirang.

Burangkak adalah ekspresi egoisme (dalam hal ini pemer­intah) dalam menyikapi pe­rubahan. Termasuk keraguan dalam menerapkan hukum (pamali). Ketika Menteri Per­hubungan Ignasius Jonan ingin menerapkan Undang Undang Lalu Lintas dengan menunda pelaksanaan layanan transpor­tasi umum berbasis aplikasi teknologi informasi (online), tiba-tiba saja Presiden Jokowi memintanya menarik keputu­san tersebut.

BACA JUGA :  Tape Ketan Ternyata Miliki Banyak Manfaat untuk Kesehatan, Simak Ini

Dampaknya adalah ketidak-adilan. Khasnya, karena pem­berlakuan transportasi online yang disetujui Presiden, tidak mempertimbangkan aspek keadilan di antara pelaku bisnis transportasi umum tersebut. Ketidak-adilan ini berbuntut pada kuatnya tekanan be­ban hidup terhadap kalangan bawah (sopir atau pengemudi). Padahal sudah ada contoh, bagai uber taxi, sebelumnya menimbulkan aksi pengemudi taksi yang berakhir ricuh di London, Paris, Brussel, dan se­jumlah kota lain di Eropa.

Dan ketika hal ini mencuat ke permukaan, yang diperoleh bukan komunikasi yang me­nyejukkan. Melainkan ekspresi egoisme kekuasaan yang yang ketus, marah, memaki, bicara kasar, dan menghina. Ekspresi kemanusiaan seketika lenyap, dan akhirnya ditiru oleh para pengemudi taksi dengan sikap yang sama: berhati panas dan anarkis. Akhirnya, pemerintah dan pengemudi taksi sama-sa­ma menjadi durgi, durga, kala, dan buta.

Ajang bisnis transportasi umum berubah menjadi la­dang kehidupan yang setara dengan sodong, sarongge, ca­das gantung, mungkal pat­egang, lebak, rancak, kebakan badak, catang nunggang, cat­ang nonggeng, garunggungan, garenggengan. Setara dengan lemah sahar, dangdang warian, hunyur, lemah laki, pitunahan celeng, kalomberan, jaryan, kuburan, dankelompokladang terbuang.

BACA JUGA :  Es Merah Delima, Santapan Segar di Siang Hari, Wajib Cobain Ini

Pemerintah tidak mendu­ga, keputusan Presiden Jokowi menarik keputusan Menteri Perhubungan Ignasius Jonan, yang bisa disebut marende. Diduga ayem, tentrem, dan dingin-dingin saja, ternyata panas membara dan meledak dalam bentuk luapan emosi, menimbulkan friksi dan kon­flik sosial. Ketimpangan yang tampak di depan mata sengaja tak hendak dilihat, akhirnya menjadi tegal si pantana (sum­ber kehancuran) yang mema­kan korban.

Lalu, melalui layar tel­evisi kita saksikan situasi yang mariris : perbuatan yang sung­guh ‘menjijikkan’ keseraka­han, merampas ladang hidup orang lain secara tiba-tiba. Meskipun diisyaratkan sebagai bagian dari perubahan. Karena sangat meyakini, siapa yang tidak ikut berubah, maka dia akan dilibas oleh perubahan itu sendiri.

Pangkal mulanya adalah wirang, ketidakjujuran dalam memahami situasi dan kondi­si di lapangan dan kebijakan yang belum sungguh berpihak kepada rakyat. Kita berharap, apa yang terjadi di Jakarta itu tidak terjadi di Bogor. Karena orang Bogor punya nilai seba­gaimana diwariskan Prabu Sili­wangi dan Prabu Surawisesa, tentang bagaimana mengelola perubahan.

============================================================
============================================================
============================================================