palu_hakimTIDAK ada yang menyangkal, langkah cepat pembangunan yang dicita-citakan pemerintahan saat ini haruslah tetap diawasi ketat. Percepatan penyerapan anggaran pembangunan yang terus digelorakan mesti terus diimbangi dengan kontrol dan kewaspadaan tingkat tinggi. Dua hal tersebut idealnya dijalankan dalam garis sejajar, dalam irama senada. Tidak boleh salah satu menginterupsi yang lain. Atas nama kecepatan pembangunan, tak semestinya pengawasan diabaikan karena itu akan menciptakan celah-celah korupsi anggaran.

Sebaliknya, kontrol yang terlalu bersemangat tidak boleh sampai membuat proses pembangunan menjadi terhambat. Pesan itu tergambar jelas dari uraian Presiden Joko Widodo dalam pengarahan kepada kapolda dan kepala kejaksaan tinggi se-Indonesia di Jakarta beberapa waktu lalu. Dalam kesempatan itu Presiden lebih menekankan poin kedua. Ia mengingatkan kedua institusi penegak hukum itu agar mendukung pembangunan dengan tidak memidana atau mengkriminalisasi kebijakan kepala daerah.

Dengan nada keras, Presiden meminta kepolisian dan kejaksaan mampu membedakan mana tindakan yang memang betul-betul nyolong (korupsi), mana yang pelanggaran administrasi. Ia menegaskan kebijakan diskresi dan tindakan administrasi tidak bisa dipidanakan, sebaliknya kalau nyolong dan sejenisnya harus dipidanakan. Kegusaran Presiden itu bisa dimaknai bahwa ia kecewa karena kebijakannya selama ini seperti tak mendapat dukungan penuh dari jajaran di bawahnya.

BACA JUGA :  JELANG LAGA MALAM INI, TIMNAS VS AUSTRALIA

Pemerintah yang merasa sudah susah payah ‘mencari uang’ akhirnya harus rela melihat sebagian uang itu hanya diparkir di bank daerah karena kepala daerah takut menggunakannya. Di sisi yang lain, Presiden tampaknya ingin sekaligus menantang para kepala daerah untuk lebih bergas dan bernas dalam menjalankan roda pembangunan di daerah. Kepala daerah mestinya tidak takut menggunakan anggaran kalau memang tidak untuk disalahgunakan.

Tidak seharusnya mereka terus berlindung di balik alasan ‘takut menggunakan anggaran’ untuk menutupi ketidakgesitan mereka mengakselerasi pembangunan. Namun, harus tegas kita katakan, imbauan Presiden agar kebijakan diskresi tidak dipidana itu ialah dalam konteks pelayanan kepada kepentingan publik. Jangan sampai justru imbauan itu dimanfaatkan para pengambil keputusan di daerah dengan semena-mena untuk kepentingan mereka sendiri.

BACA JUGA :  KURANG ELOK PRAMUKA BERUBAH DARI EKSKUL WAJIB JADI PILIHAN

Tidak seyogianya perlindungan terhadap diskresi kepala daerah itu malah menjadi bibit korupsi baru. Demi menutup celah itu, untuk mengiringi imbauan Presiden kepada kapolda dan kajati, pemerintah sebaiknya segera membuat pedoman tentang syarat-syarat pejabat daerah boleh melakukan diskresi. Betul bahwa soal itu diatur UU No 30/2014 tentang Admninistrasi Pemerintahan, tetapi syarat-syarat terperincinya belum diuraikan.

Itulah salah satu cara agar di masa depan tidak ada moral hazard yang menyertai imbauan Presiden itu. Negeri ini memang butuh kecepatan pembangunan yang tinggi untuk mengatasi ketertinggalan. Segala halangan, apalagi yang prosedural, mesti dibabat habis. Namun, tidak pada tempatnya pula bila demi mengejar kecepatan dan percepatan pembangunan itu kita menanggalkan kewaspadaan dan membiarkan bibit-bibit korupsi tumbuh subur.(*)

 

============================================================
============================================================
============================================================