BOGOR TODAYÂ – Provinsi Jawa Barat lagi-lagi tercatat sebagai provinsi yang intoleran atau menolak kebebasan beÂragama.
Komisi Nasional Hak Asasi ManuÂsia di Kongres Kebebasan Beragama 2016 menyatakan, bahwa Jawa Barat jeblok dalam penanganan keberagaÂman etnis dan agama. “Dari 87 aduan yang masuk ke kami, 20 di antaranya terjadi di Jawa Barat,” ujar Komisioner Komnas HAM untuk bidang KebeÂbasan Beragama, Imdadun Rahmat, kemarin.
Sejak tahun 2011, Jawa Barat berkaÂli-kali masuk daftar teratas daerah denÂgan masyarakat yang tidak menghargai kebebasan beragama. Salah satu yang terbesar adalah pada 2013 ketika SeÂtara Institute mencatat ada 80 kasus pelanggaran kebebasan beragama di Jawa Barat.
Menurut Imdadun, contoh kasus nyata pelanggaran kebebasan beragaÂma di Jawa Barat adalah penyegelan Gereja Kristen Indonesia di Bogor yang hingga sekarang belum usai. Selain itu, ada pelarangan terhadap tujuh gereja di Bandung pada pertengahan Juni 2015.
Ahmadiyah termasuk salah satu yang mendapat perlakuan tak enak di Jawa Barat. Kelompok tersebut kerap mengalami diskriminasi di Jawa Barat, mulai larangan beribaÂdah hingga berkumpul. Padahal, dalam Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri tahun 2008 kelompok tersebut hanya dilarang menyebarkan ajarannya.
Masih bertahannya Jawa Barat sebÂagai wilayah intoleran, menurut ImdaÂdun, karena berbagai faktor. Hal yang paling kentara adalah belum adanya formula efektif untuk masyarakat dan pemerintah menyelesaikan konflik agama. “Sehingga banyak perkara agaÂma yang berlarut-larut di sana dan tak kunjung usai,” ujarnya.
Hal senada diungkapkan Direktur The Wahid Institute Yenny Zannuba Wahid. Mengacu pada aduan yang diterima lembaganya, ada 46 aduan pelanggaran kebebasan beragama di Jawa Barat.
Meski begitu, Yenny punya panÂdangan berbeda soal penyebab sikap intoleran itu. Menurut dia, masih maraknya pelanggaran kebebasan beragama di Jawa Barat karena masifÂnya pertumbuhan kelompok intoleran dan kecilnya kesadaran terhadap hak kebebasan beragama. “Kelompok inÂtoleran sering kali menggunakan isu keagamaan, seperti penertiban rumah ibadah tidak berizin dan pemberanÂtasan aliran sesat sebagai jargon-jargon mereka,” tandasnya.
(Yuska Apitya)