presiden-jokowi-nih3_20150812_155503PRESIDEN Joko Widodo (Jokowi) minta agar kepala daerah yang melakukan kesalahan administrasi dalam penggunaan APBN dan APBD tidak dipidanakan. Permintaan presiden ini terkait dengan rendahnya serapan anggaran lantaran banyak kepala daerah takut dikriminalisasi setelah menggunakan dana APBN dan APBD.

RISHAD NOVIANSAH|ALFIAN MUJANI
[email protected]

Pernyataan Presiden Jokowi ini disam­paikan kepada jajaran Gubernur, Kepala Kepolisian Daerah, dan Ke­pala Kejaksaan Tinggi untuk memba­has percepatan pencairan anggaran pembangunan, di Istana Bogor, Jawa Barat, Senin (24/8/2015).

Jokowi sepertinya geregetan ketika me­nyaksikan terjadinya perlambatan ekonomi yang berkepanjangan. Dampak dari kebijakan fiskal global yang dimainkan Amerika Serikat dan Republik Rakyat China, membuat nilai tukar rupiah jatuh di bawah nilai sesungguh­nya (undervalue) yakni Rp 14.000. Ekspor sejumlah komoditas unggulan juga anjlok to­tal. Sementara para eksportir juga cenderung mencari aman sendiri dengan cara menahan valuta asing yang mereka peroleh. Akibatnya perekonomian nasional kian terpukul.

Satu-satunya harapan Presiden Jokowi untuk bisa menggerakkan roda perekono­mian nasional adalah dengan mempercepat penggelontoran dana APBN ke daerah-daerah melalui skema DAK (Dana Alokasi Khusus) dan pembiayaan proyek infrastruktur. Celakanya, banyak kepala daerah tidak mau mencairkan dana tersebut lantaran takut dikriminalisasi oleh aparat hukum.

Ada lima arahan penting dari Presiden Jokowi. Pertama, diskresi keuangan tidak bisa dipidanakan. Kalau terjadi kesalahan admin­istrasi, harus dilakukan aparat internal pen­gawasan pemerintah karena itu dijamin UU 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

Kedua, yakni tindakan administrasi pemer­intahan terbuka juga dilakukan tuntutan se­cara perdata, tidak harus dipidanakan. Sehing­ga dia hanya cukup melakukan pengembalian.

Nah, pada Kemendagri, di antaranya akan diterbitkan PP tentang ganti rugi termasuk Permendagri. Regulasi itu akan mengatur mekanisme dan tata cara mengganti kerugian bagi pejabat yang melakukan kesalahan ad­ministrasi.

Ketiga, dalam melihat kerugian negara ha­rus konkret yang benar-benar atas niat untuk mencuri. Tidak boleh kemudian berdasarkan asumsi, persepsi, praduga, dan sejenisnya.

Keempat, BPK dan BPKP jika melihat ada indikasi kesalahan administrasi keuangan negara, diberi waktu 60 hari untuk perbaikan. Dalam masa perbaikan 60 hari itu, aparat ke­polisian, kejaksaan, aparat penegak hukum tidak boleh intervensi.

Kelima, tidak boleh lakukan ekspose ter­sangka sebelum dilakukan penuntutan. Jangan karena euforia, tuntutan publik, dan ini dan itu. Janganlah seperti itu, karena kita mau jaga pertumbuhan ekonomi,” pungkas Reydonizar.

Langkah Jokowi itu dilakukan lantaran lambatnya penyerapan anggaran karena para kepala daerah takut dipidanakan apa­bila melakukan kesalahan. Solusi yang muncul yaitu agar para gubernur dan kepala daerah tak perlu takut dikriminalisasi, karena jika ada salah administrasi tak akan dijerat pidana.

“Memang wajar saja. Masalah kebijakan negara merupakan wewenang administratif. Dalam hal ada dugaan penyalahgunaan we­wenang dari pejabat negara ini basisnya adalah otoritas dan ranah hukum administrasi negara, kecuali bila terbukti adanya mens rea (niat ja­hat) maupun kickback atau bribery maka hu­kum pidana dapat diterapkan untuk masalah ini,” kata Plt Wakil Ketua KPK Indriyanto Seno Aji ketika dikonfirmasi, Senin (24/8/2015).

BACA JUGA :  Polisi Ungkap Angka Kecelakaan Tahun Ini Menurun 18 Persen

Namun Indriyanto menegaskan KPK tentu akan bertindak tegas apabila ada dugaan tin­dak pidana korupsi dalam praktiknya nanti. KPK tidak akan melunak bila ditemukan pe­nyimpangan. “Kalau itu kan tidak perlu ditan­yakan lagi,” ucap Indriyanto.

Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo di Istana Bogor menyebut solusi yang mun­cul dalam rapat koordinasi dengan presiden yaitu agar para kepala daerah tak perlu takut. Apabila ada kesalahan administrasi maka tak perlu dijerat ke ranah pidana. “Kalau ada ke­salahan dari pihak pemerintah yang sifatnya administratif itu urusan administrasi saja, jan­gan pidana,” kata Ganjar.

Jokowi memang sengaja mengundang para penegak hukum agar terjadi satu keselar­asan langkah. Pasalnya para gubernur ketaku­tan bakal dijerat pidana oleh penegak hukum.

“Makanya ketakutan-ketakutan yang muncul maka serapan menjadi rendah tadi dipahami secara bersama-sama antara para pejabat sehingga kepolisian, kejaksaan, Komi­si Pemberantasan Korupsi semuanya bisa mengerti,” papar Ganjar.

Jokowi juga meminta agar peran para pengawas internal lebih diperkuat. Hal yang sudah diamini oleh para penegak hukum ter­masuk KPK. “Mengoptimalkan dulu pengawas internal dan itu sesuai dengan UU Adminis­trasi pemerintahan sehingga UU inilah yang kita harapkan bisa kita laksanakan. Presiden perintahkan cepat serap anggaran sehingga ekonomi bisa menggelinding karena ini bulan Agustus,” jelas Ganjar.

“Perintah presidennya kalau memang itu nyolong, ya tangkap aja. Tapi kalau salah ad­ministrasi ya coba diberikan ke pengawas in­ternal dulu,” ujar Ganjar.

Ekonomi Melambat

Sebelumnya, Presiden Jokowi menjelas­kan, perekonomian global masih menunjukan kondisi yang tidak menggembirakan. Perlam­batan ekonomi dihadapi oleh berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia.

Menurut Jokowi, semua tahu bahwa ada perlambatan ekonomi yang sedang dialami. Tetapi tidak hanya negara Indonesia yang mengalami. ‘’Hampir semua negara mengala­mi perlambatan ekonomi yang lebih berat dari kita, negara-negara di dekat kita, tetangga kita mengalami,” ujarnya.

Penyebabnya memang sudah terjadi sejak lama. Misalnya terkait dengan krisis utang di Yunani, rencana Bank Sentral Amerika Serikat (AS), yaitu The Fed yang akan menaikkan suku bunga acuannya tahun ini, dan yang baru saja terjadi adalah devaluasi atau pelemahan mata uang yuan oleh China.

“Baik karena krisis Yunani beberapa bulan lalu, baik karena (rencana) kenaikan suku bunga di AS, baik karena depresiasi yuan di China, dan sehari dua hari ini berpengaruh terhadap ekono­mi karena ramainya Korsel dan Korut,” terangnya.

Menurut Jokowi, solusi dari persoalan ini harus datang dari berbagai lini. Tidak hanya pemerintah pusat, namun juga dari pemerin­tahan daerah. “Hal tersebut perlu diantisipasi bersama, semuanya harus mempunyai pemiki­ran bersama, dan kepatuhan terhadap garis yang akan kita sampaikan, apa yang harus kita lakukan. Jangan sampai kita sudah berikan garis, ada yang masih di luar garis,” tukasnya.

Rapat dengan para Gubernur, Kapolda, dan Kepala Kejaksaan Tinggi seluruh Indone­sia ini, secara khusus membahas penyerapan anggaran daerah yang lambat. Rapat dimulai pukul 11.15 WIB . Sedikit lebih mundur dari agenda yang dijadwalkan pukul 10.30 WIB.

BACA JUGA :  Kebakaran Hanguskan Warung Nasi Padang di Bandung, Diduga Gara-gara Bakar Ayam

“Kalau dilihat sekarang ini ada masalah di serapan anggaran, di belanja baik APBN dan APBD,” ungkap Jokowi, membuka rapat.

APBN menjadi tugas pemerintah pusat. Memang ada keterlambatan dalam pencairan anggaran. Namun ini karena ada perubahan nomenklatur untuk Kementerian/Lembaga (K/L) dengan anggaran terbesar. Salah satunya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumah­an Rakyat (PUPR).

Sementara untuk APBD, menjadi ke­wenangan dari Gubernur, Bupati, dan Wa­likota. Sejak awal tahun, transfer ke daerah dijalankan dengan cepat. Namun sayangnya, penyerapan dari pemerintahan daerah (pem­da) tidak sesuai harapan.

Menurut Jokowi, bila belanja tersebut dioptimalkan dengan baik, maka bisa mendo­rong pertumbuhan ekonomi lebih tinggi. Dik­etahui pada semester I-2015, ekonomi secara nasional cuma mampu tumbuh sampai 4,7%.

“Mengenai tujuan kita berbangsa dan bernegara, yaitu masyarakat adil dan makmur. Itu bisa kita capai kalau kita punya ekonomi yang baik, dan pertumbuhan yang baik itu ditopang banyak hal. Oleh APBN, oleh APBD, BUMN, dan juga investasi swasta,” jelasnya.

“Artinya kalau belanja, belanja pemerin­tah baik di APBN, APBD, BUMN, swasta na­sional dan asing bisa bergerak, itu yang akan berikan pertumbuhan pada ekonomi,” tegas Jokowi.

Sebelumnya Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan, salah satu indikasi lemahnya penyerapan anggaran di daerah adalah ketakutan kepala daerah akan krimi­nalisasi dalam penggunaan anggaran. Se­hingga banyak yang hanya menyimpan dana tersebut di bank, tidak disalurkan kepada ma­syarakat.

Total per Juli 2015, dana pemda yang menganggur di perbankan khususnya Bank Pembangunan Daerah (BPD) mencapai Rp 273,5 triliun. Angka itu sangat besar, bila diserap dengan baik seharusnya mampu men­dongkrak pertumbuhan ekonomi sampai den­gan 5%.

Untuk itu, diperlukan koordinasi yang kuat antara kepala daerah, Kepala Kepolisian Daerah, dan Kepala Kej aksaan Tinggi seluruh Indonesia.

Jika Lurus Jangan Takut

Tentang ketakutan kepala daerah akan adanya kriminalisasi setelah mereka mencair­kan anggaran, Plt Ketua KPK Taufiequrachman Ruki berpesan kepada seluruh kepala daerah. Jika tidak ada niat korupsi, para kepala daerah itu tak perlu takut mencairkan anggaran.

“Saya kira itu satu hal yang tidak perlu ditakutkan sepanjang mereka dalam melak­sanakan fungsinya untuk menggunakan ang­garan itu betul-betul proper. Jangan ada niat macam-macam deh, terutama niat untuk nerima sesuatu ya, pemberian atau janji,” kata Ruki di Istana Bogor, Jawa Barat, Senin (24/8/2015).

Jika ada temuan mencurigakan, hal yang pertama dilakukan KPK adalah meminta audit investigasi kepada BPK atau BPKP. Di dalam audit itu, barulah diketahui perbuatan melawan hukum apa yang dilakukan seorang kepala daerah. “Baru kita maju dengan pe­nyidikan,” sambung Ruki. Kalau baru indikasi-indikasi, lanjutnya, lebih baik kita kembalikan dulu pada auditor investigasi.

Ruki menegaskan, hasil rakor dengan ke­pala daerah serta penegak hukum bukan seb­agai toleransi tindak pidana. Namun lebih ke­pada menafsirkan sebuah diskresi kebijakan.

“Jadi bukan perbuatan pidananya yang ditoleransi. Dalam kebijakan itu kan enggak semuanya harus sesuai dengan garis, ada hal-hal yang perlu ditoleransi,” tandasnya.(*)

============================================================
============================================================
============================================================