1407040jokowi34780x390JAKARTA, TODAY — Niatan Fraksi PDIP DPR untuk merevi­si Undang Undang (UU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan membuat UU Pengam­punan bagi koruptor, belum direstui Presiden Joko Widodo ( Jokowi). Bekas Walikota Solo itu tak mau gegabah menyetu­jui aspirasi partainya, apalagi usul kon­troversial itu memanen keca­man dari se­gala penjuru.

Sekre­taris Kabinet Pramono Anung men­gatakan, pemer­intah belum bersikap soal re­visi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi yang diusulkan DPR. Menurut dia, sikap Istana akan disampaikan setelah ada undangan resmi dari parlemen.

“Ini merupakan inisi­atif DPR, belum masuk pada bagaimana sikap pemerintah. Pemerintah akan menentukan sikapnya kalau DPR secara resmi sudah memerlukan kehadiran pemer­intah,” kata Pramono di Kompleks Istana, Ja­karta, Jumat(9/10/2015).

Menurut Pramono, revisi UU KPK saat ini masih berupa usulan untuk masuk ke pro­gram legislasi nasional (prolegnas). “Kemudi­an diagendakan tahapan-tahapan lain, baru di situ pemerintah menentukan sikapnya,” kata Pramono. Dia menilai terlalu dini jika pemer­intah diminta menyimpulkan sikap pemerin­tah. “Sekarang kan belum diundang,” katanya.

Badan Legislasi DPR telah menggelar rapat membahas usulan perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 ten­tang Komisi Pemberantasan Korupsi. Usulan itu masuk ke Prolegnas prioritas tahun 2015. Perubahan beleid itu diklaim untuk menguat­kan lembaga antirasuah. Draft revisi UU KPK disusun oleh DPR.

Disebutkan dalam draf itu KPK hanya berusia 12 tahun. Pembatasan masa kerja KPK itu tertulis dalam Pasal 5 RUU KPK yang menyatakan KPK dibentuk untuk masa waktu 12 tahun sejak UU itu diundangkan. KPK juga disebut hanya bisa menangani kasus korupsi dengan kerugian Rp 50 miliar ke atas.

Soal rencana ini, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly juga cari aman. Ia menyatakan draf revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi yang diusulkan DPR bukan milik pemerintah. Menurut dia, draf revisi Undang-Undang No­mor 30 tahun 2002 itu milik legislator sendiri. “Bukan. Dari dulu kan revisi garis besarnya diusulkan oleh DPR,” kata Yasonna di kantor Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia di Jakarta, kemarin.

BACA JUGA :  Pj. Bupati Bogor Apresiasi Dompet Dhuafa Beri Akses Masyarakat Sekitar dan Pengungsi Anak-Anak Pendidikan Berkualitas

Namun, ujar dia, saat pemerintah men­gajukan peraturan pemerintah pengganti un­dang-undang (Perpu) tentang pengangkatan pelaksana tugas pemimpin KPK, DPR menga­jukan syarat. “Komisi III DPR menginginkan, mereka menerima perpu KPK. Tapi, ada usu­lan revisi. Jadi seolah-olah (revisi) datang dari kami,” kata Yasonna.

Yasonna enggan mengomentari poin-poin revisi yang diusulkan beberapa ang­gota DPR. Menurut dia, pasal-pasal yang beredar saat ini tidak pasti karena DPR belum mengajukan revisi secara resmi. “Jadi kami nanti mengomentari sesuatu yang belum pasti kan gak enak juga. Kalau pun pada akhirnya DPR mendorong kepada pemerintah, kami berharap itu penyempur­naan, bukan melemahkan,” ujar politikus PDIP itu.

Dari jajak pendapat, beberapa anggota DPR yang sepakat merevisi UU KPK ini dian­taranya 15 orang dari PDI Perjuangan, 9 dari Partai Golkar, 2 kader Partai Kebangkitan Bangsa, 5 kader Partai Persatuan Pemban­gunan, 12 kader Partai NasDem, dan 3 kader Partai Hati Nurani Rakyat.

Sementara itu, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengaku tak setuju usia KPK dibatasi hanya 12 tahun. Dia hanya meminta komisi anti rasuah itu dievaluasi secara berkala. “Arti­nya dalam jangka waktu tertentu dievaluasi, jangan ditentukan umurnya 12 tahun,” kata Kalla di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Ju­mat(9/10/2015).

Menurut Kalla, sejak awal KPK memang bersifat ad hoc atau sementara. Namun, kata dia, bukan berarti statusnya yang sementara itu membuat KPK mudah dibubarkan. “Di­evaluasi saja, misalnya setiap lima atau sepu­luh tahun,” katanya.

Terkait usulan perubahan fungsi KPK hanya sebagai lembaga pencegahan, Kalla juga tak sepakat. Sebab dalam undang-undangnya KPK didirikan untuk melakukan pencegahan sekaligus penuntutan. Namun dia menghormati jika DPR kemudian men­gajukan usulan untuk mengubah KPK hanya sebagai organisasi pencegahan.

Kecaman keras juga dilontarkan Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muham­madiyah, Dahnil Anzar. “Ketika kelompok agama seperti Muhammadiyah dan NU ingin mendorong hukuman yang berat, yang mam­pu memberikan efek jera kepada koruptor, sekelompok anggota DPR RI justru melaku­kan hal yang sebaliknya memberikan kabar gembira kepada koruptor,” kata Dahnil Anzar, Jumat (9/10/2015).

BACA JUGA :  Lokasi SIM Keliling Kota Bogor, Selasa 26 Maret 2024

Menurut Dahnil, upaya revisi UU KPK dan mendorong UU pengampunan Nasional atau pengampunan pajak bagi Mereka yang selama ini telah merugikan negara dengan melakukan manipulasi dan korupsi, mem­buktikan bahwa beberapa anggota DPR abai pada suara publik yang sudah sangat marah.

Meski dikecam habis-habisan dari segala penjuru, Fraksi PDIP sebagai yang terdepan mendukung revisi ini memastikan wacana ini berlanjut. “Pembahasan isu revisi UU KPK ini, dia sampai kapanpun akan ada yang me­nolak. Mau kapanpun, dia (revisi UU KPK) pasti sensitif dan kontroversi. Tapi bagi saya, isu sensistif ini penting dalam konteks ketata negaraan dan tata pondasi hukum,” kata poli­tikus PDIP Masinton Pasaribu di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Jumat (9/10/2015).

Masinton yang merupakan salah satu inisiator revisi UU KPK ini menyebut ada kon­sepsi besar pemberantasan korupsi. Oleh sebab itu, penolakan yang disampaikan juga harus sesuai dengan konsepsi tersebut. “Jadi yang menolak itu harus ada konsepsi pem­bahasan ini dalam desain pemberantasan korupsi,” ucap Masinton.

Pelemahan KPK yang dimaksud adalah ‘kebiri kewenangan’ lewat revisi UU KPK. Ada 7 pasal yang dikecam oleh berbagai kalangan karena dianggap sebagai pengantar kiamat KPK. “Langkah yang dilakukan KPK tentu tidak disukai oleh para koruptor dan para pendu­kungnya. Mereka terus melakukan berbagai cara untuk membunuh KPK atau setidaknya melemahkan KPK. Kini KPK kembali terancam dilemahkan lewat Revisi Undang-Undang KPK (RUU KPK) yang akan dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),” demikian antara lain tulisan di petisi itu.

(Yuska Apitya Aji)

============================================================
============================================================
============================================================