JAKARTA Presiden Jokowi tidak ke forum multilateral PBB untuk berpidato, tapi memilih menghadiri KTT Ekonomi G20 dan pertemuan APEC karena kekuatan multilateral tidak lagi semata berpusat pada kekuatan negara, tapi telah bergeser pada kekuatan non negara –perusahaan besar pemilik sumber daya keuangan, teknologi, dan rantai perdagangan maupun investasi.

Demikian pandangan menarik Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kebijakan (BBPK) Kementerian Luar Negeri Dr Siswo Pramono dalam diskusi Tantangan Kebijakan Luar Negeri Indonesia di Era Presiden Jokowi Jilid II di FISIP Universitas Indonesia, Depok, Kamis (19/9) lalu.

“Fakta belakangan di tengah sederet tantangan ada banyak peluang menyebutkan bahwa dari 100 entitas kekuatan ekonomi dunia ini terbelah 29 dipegang kekuatan negara dan 71 berasal dari kekuatan perusahaan swasta,” demikian Siswo Pramono mengamini tren pergeseran itu.

Oleh sebab itu di tengah kesibukan Menteri Luar Negeri membidani inisiatif resolusi damai di Dewan Keamanan PBB, perluasan perdagangan maupun investasi ke pasar non tradisional menjadi perhatian utama yang juga tidak bisa ditinggalkan. Kunjungan Menlu ke Eropa Timur menjadi bagian dari diplomasi itu.

Dikutip dari Detik.com, Lembaga studi Lowly, Asia Power Index 2019 pun mencatat diplomatic influence index RI meningkat dari 46,2/100 (2018) menjadi 57,5/100 (2019). Peningkatan signifikan lebih dari 10% berkaitan dengan peningkatan aktivitas dan kekuatan jaringan diplomatik, standing kekuatan multilateral, dan juga kepemimpinan politik.

BACA JUGA :  Kemenangan Timnas Indonesia jadi Modal Penentu Kontra Jordania

Ke depan menghadapi kekuatan ekonomi digital (e-commerce) maupun revolusi industri 4.0, Kementerian Luar Negeri dalam satu dasawarsa terakhir melakukan berbagai inisiatif, antisipasi, serta adaptasi di tengah bangkitnya kekuatan perusahaan swasta ini. Revolusi industri 4.0 akan mempercepat akselerasi perubahan dunia dari rentang tiap 100 tahun menjadi hanya setengahnya, 50 tahun. Luar biasa cepatnya; kita harus bersiap diri.

Maka proyek besar Indonesia ke depan 2020-2024 dari rencana tuan rumah KTT APEC (2024), KTT Ekonomi G20 (2023), dan Ketua ASEAN (2022) adalah peta solusi diplomasi RI menyambut sederet peluang ke depan.

Ketika perang dagang AS-China menjadi ancaman baru instabilitas ekonom dengan perang tarif, faktanya memunculkan peluang baru berupa relokasi industri swasta ke wilayah lain. Tidak perlu berkecil hati, merasa kalah, bila Vietnam saat ini seolah berhasil merebut peluang itu. Vietnam bukan raksasa hebat yang mandiri. Struktur industri manufakturnya masih sangat tergantung bahan baku impor dari China. Ketergantungannya pada impor bahan baku melemahkan daya saingnya dalam jangka menengah.

Vietnam dan Indonesia, oleh sebab itu, mencari solusi membidani lahirnya kesepakatan pakta perdagangan Asia terbesar RCEP (Regional Comprehensive Economic Partnership) pada akhir 2019 bersama 16 negara lainnya, di luar Amerika Serikat dan mungkin tanpa India. Nilai total kekuatan swasta RCEP mencapai angka ideal 27 triliun dolar AS, dibandingkan EU hanya sebesar 16 triliun dolar AS.

BACA JUGA :  Laga Penentuan Timnas Indonesia vs Yordania di Piala Asia U-23 2024

Ruang jelajah diplomasi RI menjadi semakin kuat untuk merebut tempat maupun peluang di tengah upaya besar mereduksi tantangan di dalam negeri yang terus dihadapi. Bebas aktif dan kiprah diplomasi RI ke manca negara bisa menjadi agen perubahan, jembatan peluang besar dari luar, dan potensi daya saing domestik yang meningkat.

Presiden Jokowi diharapkan ke depan bisa menempatkan ruang jelajah diplomasi RI ke manca negara menjadi instrumen politik dan ekonomi yang sungguh mendapatkan perhatian utama. Jelajah diplomasi adalah pintu perubahan.

Tujuh puluh empat tahun Kementerian Luar Negeri mengiringi jatuh bangunnya Republik ini tidak saja membebaskan dari kolonialisme, menciptakan perdamaian, dan stabilitas di kawasan, tapi juga memberi solusi membangun rantai peluang kemajuan ekonomi bangsa dan negara. Ke depan, kebijakan luar negeri dan ruang jelajah diplomasi adalah bagian dari jalan keluar dengan sumber daya yang andal.

Ia harus menjadi solusi, dan bukan jalan di tempat, terjebak onggokan masalah dan residu persoalan masa lalu. Jelajah diplomasi RI adalah solusi masa kini dan untuk masa depan. Presiden Jokowi adalah diplomat in chief yang bisa menghidupkan jelajah diplomasi RI menjadi lebih relevan, bersinar, dan bermanfaat bagi rakyat Indonesia.(Net)

============================================================
============================================================
============================================================