Untitled-8PRESIDEN Joko Widodo (Jokowi) bertekad menghapus 42.000 aturan perizinan yang menyulitkan dunia usaha. Jokowi berkomitmen mempermudah investor dengan tidak membuat proses berbelit-belit. Tujuannya agar peringkat daya saing bisa naik.

YUSKA APITYA AJI ISWANTO
[email protected]

Saya suruh Kepala Bappenas hi­tung berapa regulasinya, ada 42 ribu. Saya suruh potong. Buat apa banyak aturan? Me­nyulitkan kita sendiri, dalam persaingan global,” jelas Jokowi, saat meluncurkan Program Investasi Men­ciptakan Lapangan Kerja Tahap III dan Peresmian Pabrik PT Nesia Pan Pacific Clothing, serta Peresmian Aka­demi Komunitas Industri TPT (Tekstil dan Produk Tekstil) Surakarta, Jumat (22/1/2016).

Selain itu, ujar Jokowi, ada juga sekitar 3.000 peraturan daerah (Perda) yang menumpuk di Kementerian Dalam Negeri dan perlu dievaluasi. “Saya suruh nggak usah dievaluasi, dihapus saja. Setahun cuma dapat evaluasi 10-15, kalau 3.000 kapan rampungnya? Ada perda pungutan, perda tarif. Po­koknya yang menyulitkan rakyat, sudah hapus saja, nggak usah dikaji-kaji,” ujar Jokowi. “Bayangkan, 42.000 aturan ng­gak pernah diapa-apain. Perintah saya simple saja, hapuskan!” tegas Jokowi.

Peningkatan daya saing menjadi fokus Presiden Jokowi. Cara yang di­lakukan, mulai dari pembangunan in­frastruktur, peningkatan skill tenaga kerja, hingga pemangkasan birokrasi atau perizinan.

“Di pemerintahan harus kita rom­bak besar-besaran. Tidak ada lagi yang namanya izin berbulan-bulan, ber­tahun-tahun. Semua harus satu garis kalau kita mau memenangkan persaingan,” tegas Jokowi.

Jokowi mengatakan, saat ini sudah ada perizinan usaha 3 jam yang diluncur­kan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), untuk izin di kawasan industri. “Kemarin teman saya sudah coba, saya sendiri belum ngecek. Saya telepon teman saya, dia bilang sudah selesai dalam 3 jam. Kalau yang datang saya bisa saja disiap-siapin. Tapi kalau yang datang pengusaha benar,” ujarnya.

Pada kesempatan itu, Jokowi juga bercerita soal pengurusan izin mendiri­kan bangunan (IMB) di DKI Jakarta. “Kemarin dengan gubernur DKI juga saya sampaikan sama. Dulu mengurus IMB bertahun-tahun, sekarang online, langsung tarik jadi. Saya pernah nyoba sendiri, saya cek, saya masuk ke kan­tor, saya coba minta SIUP perlakukan saya sebagai pemohon, saya tungguin. Dua menit jadi,” kata Jokowi.

Jokowi mengaku tak habis pikir, mengurus surat izin usaha perdagangan (SIUP) 1 lembar bisa hingga berminggu-minggu. “Saya bilang ke Mendag, dibuat SOP-nya dari pusat, bikin jadi 3 jam. Begitu Permendag terbit, ke­pala dinas harus selesaikan dalam 3 jam karena sudah SOP,” ucap Jokowi. “Itulah penyelesaian-penyelsaian yang terus kita benahi. Sekali lagi ini era per­saingan, era kompetisi,” imbuhnya.

Hapus AMDAL

Gebrakan juga dilakukan Gubernur DKI, Basuki Tjahaya Purnama. Ahok, sapaan akrabnya, meminta kewajiban izin Analisis Mengenai Dampak Ling­kungan (AMDAL) di wilayah DKI diha­puskan. Ahok mengaku telah menyam­paikan usulan tersebut ke Presiden Joko Widodo dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya.

BACA JUGA :  SPBU di KM 42 Rest Area Tol Japek Disegel Usai Melakukan Kecurangan

“Kan kita buat Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) sudah ada AMDAL. Se­harusnya untuk mendirikan sesuatu hanya butuh Upaya Pemantauan Ling­kungan (UPL) atau Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) saja,” ujarnya, Ju­mat (22/1/2016).

Menurut Ahok kebijakan AMDAL saat ini tidak efisien dan membuat ma­salah perizinan menjadi lama. “Masak ini udah AMDAL elo bikin AMDAL lagi, ini kan copy paste juga. Izinnya jadi lama,” katanya. Dia pun mencontoh­kan izin AMDAL untuk sebuah gedung. “Gedung ini sudah bikin AMDAL sekel­iling, masa bikin gedung sebelah pakai AMDAL lagi. Diuji apa yang mau diuji?”

Ahok menuturkan pengecualian izin AMDAL tetap diperlukan untuk kebu­tuhan reklamasi pulau. Menurut Ahok, urusan izin AMDAl yang berbelit-belit, juga menghambat pengembangan eko­nomi wilayah Ibu Kota. “Bagaimana kita mau mengejar ease of doing business (EODB) yang peringkat 40, kalau urusan AMDAL harus berbulan-bulan untuk si­dang macem-macem,” ucapnya.

Ahok menyatakan usulnya terse­but mendapat dukungan dari Presiden Jokowi. Ahok berujar, Jokowi menye­but izin semacam itu merupakan izin gangguan yang akhirnya menyusahkan diri sendiri. Izin tersebut dibuat pada zaman penjajahan Belanda dulu. “Jadi Presiden perintahkan yang nggak pent­ing dibuang aja lah, zaman penjajahan beda dong. Namanya juga penjajah mau batasin gerak gerik kamu,” katanya.

Sementara itu, Kepala Badan Pelay­anan Terpadu Satu Pintu (BPTSP) Edy Junaedi mengiyakan permintaan Ahok. Edy menambahkan, DKI sudah mem­punyai Peraturan Daerah Nomor 1 Ta­hun 2014 tentang Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) dan Peraturan Zonasi. Ada pula Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 2012 tentang izin lingkungan.

Dalam PP tersebut diatur bahwa daerah yang sudah memiliki RDTR dan Peraturan Zonasi maka dapat dikecu­alikan dari kewajiban izin AMDAL. Dia menyatakan lingkungan Jakarta relatif seragam. Jakarta tak punya hutan lind­ung, batu bara, dan tambang minyak. Maka urusan AMDAL seharusnya bisa lebih sederhana. “Dan di RDTR itu su­dah sangat detail dibahas, kalau kita membangun seperti ini bakal seperti apa dampaknya,” kata dia.

Bila sudah memenuhi RDTR maka otomatis izin mendirikan bangunan su­dah memenuhi AMDAL. Terlebih lagi, izin AMDAL dirasa menjadi hambatan tersendiri bagi aktivitas investasi dan bisnis di Jakarta. “Saya tidak katakan menghambat, tapi kalau dituntut cepat maka Izin Mendirikan Bangunan (IMB) harus selesai dalam berapa hari gitu, kalau harus mendapatkan AMDAL maka menjadi terkendala,” tutur Edy.

BACA JUGA :  Bejat, Cabuli 2 Bocah Laki-laki, Pemilik Bengkel di Solok Ditangkap

Edy menuturkan investasi secara makro juga berhubungan dengan hal ini. Ahok ingin agar izin bisa diproses cepat layaknya Singapura, yang disebut sebagai negara dengan izin pendirian bangunan tercepat di dunia.

Menurut Edy, pengganti izin AMDAL adalah mekanisme Upaya Pemantauan Lingkungan dan Upaya Pengelolaan Ling­kungan (UPL/UKL). Dia menjelaskan, izin AMDAL bisa menghabiskan waktu tu­juh hingga delapan bulan. Padahal UPL/UKL hanya butuh waktu satu bulan.

Tetapi menurut Edy, usulan Ahok untuk menghapus kewajiban izin AM­DAL baru saja mendapat jawaban di­tolak oleh KemenLHK. Sebab, Menteri Siti Nurbaya belum mengeluarkan Per­aturan Menteri tentang hal tersebut. “Ditolak karena di PP Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan , ada tam­bahan ‘ketentuan lebih lanjut soal AM­DAL akan dibuat dalam Peraturan Men­teri Lingkungan Hidup’. Nah Peraturan Menterinya yang nggak ada,” kata Edy.

Di Kota Bogor, aturan perizinan juga masih berjalan ribet. Padahal, iklim investasi di Kota Hujan sangat tinggi. Pada 2015, Badan Pelayanan Perizinan Terpadu dan Penanaman Modal (BPPT-PM) sudah menerima pengajuan izin sebanyak 2.040. Mulai dari rumah tinggal, pertokoan, mal, hotel dan lainnya. Namun, tak semua izin diterima BPPT karena disesuaikan dengan syarat perizinannya.

Kepala BPPT-PM Kota Bogor, Den­ny Mulyadi mengatakan, pihaknya su­dah menolak sebanyak 216 pengajuan karena tidak memenuhi syarat. “Dari 2.040 pengajuan izin, di antaranya se­banyak 83 persen adalah rumah ting­gal. Sisanya untuk perizinan bangu­nan komersil seperti toko, hotel, mal, apartemen dan lainnya,” ujarnya.

Perizinan yang diajukan masyara­kat meningkat setiap tahunnya. Tak hanya itu, terutama untuk perizinan rumah tinggal sudah mulai disadari se­hingga banyak yang mengajukan untuk pengurusan izin tersebut.

Dari segi mekanisme, BPPT-PM Kota Bogor telah meluncurkan pendaf­taran perizinan secara daring (online). Dengan sistem baru ini, pemohon per­izinan pun bisa mengecek dan menelu­suri berkas perizinannya secara daring. “Jadi bisa dicek hanya dengan menge­tik nama atau nomor pendaftarannya. Prosesnya sampai mana, apakah ada masalah atau tidak. Jadi semua jelas dan terukur. Tidak ada lagi main-main di belakang,” kata Denny.

Wali Kota Bogor Bima Arya Sug­iarto, mengatakan, sistem baru ini di­luncurkan untuk meningkatkan pelay­anan pengurusan perizinan di Kota Bogor. Dengan demikian, masyarakat lebih mudah, cepat, dan murah dalam mengurus perizinan. “Aturan ini men­dorong agar pelayanan perizinan mu­lai menggunakan sistem elektronik sehingga lebih transparan dan mudah diakses oleh pemohon,” kata Bima.

Penggunaan teknologi informasi ini, sekaligus mendorong reformasi birokrasi. Sebab sistem daring mengu­rangi tatap muka dan transaksi antara pemohon dengan petugas perizinan. Seluruh pembayaran dilakukan me­lalui bank. (*)

============================================================
============================================================
============================================================