Sikap Ratu Dewata sangat disayangkan rakyatnya. Tetapi, dia sendiri malah bangga, karena musuh gagal menaklukan Pakuan berkat benteng yang dibangun Prabu Siliwangi dan dilanjutkan di masa Prabu Surawisesa. Carita Parahiyangan menyebut perilaku Ratu Dewata, lumaku ngarajarési tidak pada tempatnya.
Oleh : Bang Sem Haesy
Ya.., bagaimana mungkin keÂtika negara sedang dalam anÂcaman, Raja malah melakukan tapa brata. “Nya iyat-iyat sang kawuri, haywa ta sira kabalik pupuasaan.†Berhati-hatilah orang yang (memimpin) keÂmudian, janganlah engkau kalah perang hanya karena rajin puasa. Selama masa kepemimpinannya, Ratu DeÂwata (1535-1543) relatif tak ada prestasi berarti.
Sejumlah wilayah kekuaÂsaan Pajajaran, seperti Muara Beres, Muara Gembong, Ujung Karawang, Karadenan, Tigaraksa, dan lainnya lepas dari tangan. Ratu Dewata wafat dan diÂmakamkan di Sawah Tampian Dalem.
Tipologi kepemimpinannya buÂkan merupakan contoh yang baik. Itu sebabnya, ketika puteranya Ratu Sakti naik tahta, terjadi perubahan mendasar di Pakuan. Spirit membangun yang nyaris terabaikan selama sewindu, diÂhidupkan kembali. Tak hanya itu, Ratu Sakti memusatkan perhatian pada keÂmajuan ekonomi (meski sudah terbatas aksesnya) dan membangun kembali sistem pertahanan Pajajaran. Dari PaÂkuan, Ratu Sakti membentuk pasukan.
Semangat besar melakukan recovÂery, khususnya di bidang ekonomi, membuatnya mengambil tindakan yang kala itu dianggap kejam. Ratu SakÂti mendorong pendapatan dari pajak, menurut caranya sendiri. Para pemÂbayar pajak yang tak memenuhi kewaÂjibannya, seluruh asetnya diambil alih oleh pemerintah.
Carita Parahiyangan mencatat, Ratu Sakti melakukan aksi yang bertolak berlakang dengan Ratu Dewata, tetapi juga tidak seperti Prabu Siliwangi dan Prabu Surawisesa. Gaya kepemimpiÂnannya keras. Terutama kepada para pemalas yang tidak mengolah lahan mereka secara produktif. Ia juga mengÂabaikan nasihat para pendeta, yang menurutnya, sebagai penyebab meroÂsotnya Pajajaran di bawah kepemimpiÂnan ayahnya. Sikapnya itu ditunjukkan dengan menikahi estri larangan ti kaluÂaran, perempuan yang termasuk dalam kategori tawanan.
Beberapa catatan menyebut Ratu Sakti pemimpin yang kejam dan mengÂabaikan tata krama kepemimpinan. Kendati demikian, beberapa catatan lain menyebut, Ratu Sakti adalah pemimpin cerdas dan yang memimpin tepat waktu. Ia berhasil memperkuat pasukan PajajaÂran, ketika pasukan Banten dan Cirebon banyak dikerahkan untuk membantu penyerangan Trenggono ke Pasuruan.
Bila Ratu Dewata mencerminkan kepemimpinan yang lemah dan terlalu halus budi. Ratu Sakti digambarkan seÂbagai pemimpin yang keras dan otoritÂer. Selama delapan tahun masa kepemÂimpinannya, yang dilakukan Ratu Sakti lebih banyak melakukan konsolidasi untuk memperkuat pemerintahan.
Dalam banyak hal perekonomian Pajajaran bangkit, tetapi dia tak meÂmanfaatkan momentum untuk mereÂbut kembali Sunda Kelapa. Ia juga tidak memanfaatkan situasi konflik internal yang terjadi di Demak. Ia terlena oleh dirinya yang tak kuat menahan meletÂupnya nafsu, khususnya kepada peremÂpuan. Lalu memuncak, ketika dia meniÂkahi ibu tirinya, isteri Ratu Dewata.
Karena gaya pemerintahannya yang sedemikian rupa, terjadi perlaÂwanan dari rakyat yang didukung oleh sejumlah kalangan pemerintahan yang dipecatnya. Para pemilik lahan yang tanahnya diambil alih oleh Ratu Sakti, membantu orang-orang yang dipecat itu melakukan perlawanan.
Catatan dalam Carita Parahiyangan menduga, telah terjadi pemberontakan melawan Ratu Sakti. Termaasuk pengÂhianatan yang dilakukan oleh tawanan yang diperisterinya, juga ibu tirinya. Ratu Sakti turun tahta, karena “kabanÂcana ku estri larangan ti kaluaran deÂung ku na ambu tere.†(bencana yang melanda akibat perempuan tawanan dan ibu tirinya)