PADA masanya, di paruh kedua abad ke 16, Pajajaran yang berkedudukan di Pakuan, menjadi salah satu penentu di Nusantara. Penobatan Prabu SuraÂwisesa menggantikan Sri Baduga Maharaja (1522) dihadiri oleh berbagai utusan penguasa di Nusantara, tak terkecuali Hendrique de Leme, utusan khusus Alfono d’Albuquerque pemimpin benteng Portugis di Melaka. Dalam naskah Wangsakerta, Hendrique disebut dengan julukan Endrik bule.
Oleh :Â Bang Sem Haesy
SEBELUMNYA, Surawisesa memang telah memainkan peran diplomatik, khususnya dalam melancarkan diplomasi dagang internasional. Diplomasi dagang internasional itulah yang membuat produk hasil bumi dari Pajajaran berhasil diekspor ke Maladewa, Afrika, dan Eropa.
Dalam Pustaka Nusantara III/1 disebutkan, Surawisesa berhasil meyakinkan para petinggi (nrpaÂti) Portugis, khasnya Laksamana Bungker. Surawisesa juga mendaÂpat jaminan, bahwa Portugis akan memperkiuat hubungan dagangnya dengan PaÂjajaran.
Diplomasi dagang itu kemudian yang menjadi alaÂsan pertama Portugis membentuk tim ekspedisi ke Pajajaran pada 1513. Hubungan dagang internasional ini, sempat membuat Sabrang Lor – Putera Mahkota Demak, kecewa. Terutama, karena sudah dua kali SaÂbrang Lor menyerang Melaka dan gagal. Begitu juga ketika Sabrang Lor memimpin penyerbuan ke Pasai yang dikuasai Portugis.
Ketika Portugis menawarkan bantuan untuk memperkuat pertahanan Pajajaran di sepanjang SunÂda Kalapa, Banten, Pontang, dan Karawang, Prabu Surawisesa menolak dengan halus. Penolakan itu dilakukan untuk menunjukkan daya Pajajaran dalam mengelola kerajaannya secara mandiri.
Prabu Surawisesa sudah menunjukkan bukti, keÂtika masih sebagai Putera Mahkota, seperti utercatat dalam Carita Parhyangan, dia telah memimpin langÂsung dan memenangkan pertempuran. Antara lain dengan Saung Agung — yang kini kita kenal dengan Wanayasa – Purwakarta dan Medang Kahiyangan – di sebelah utara Gunung Tampomas.
Prabu Surawisesa lebih menggunakan pendekaÂtan rasa, sehingga dalam banyak dapat mengindari peperangan dengan Cirebon dan Banten, yang diinÂgatkan oleh Prabu Siliwangi sebagai saudara sendiri. Karena itu, ketika mendapat ancaman dari PakungÂwati, misalnya, Prabu Surawisesa sebagai komandan perang, tidak mengirim pasukan.
Ia hanya mengirim utusan dengan membawa surat ajakan damai. Ajakan ini yang membuat SuÂsuhanan Jati memilih jalan yang sama. Pendekatan Prabu Surawisesa ini di era kini boleh disebut sebagai pendekatan diplomasi politik.
Sikap Prabu Surawisesa mengagumkan para petinggi Portugis. Kendati demikian, ia juga menunÂjukkan sikap yang jelas tentang kekuatan Pajajaran. Carita Parahyangan menulis : “Kadiran, kasuran, kuwanen. Prangrang lima welas kali, henteu eleh.†(Kalimat ini menggambarkan, Prajurit Pajajaran: perÂwira, perkasa, dan pemberani. Lima belas kali perang tak pernah kalah).
Prabu Siliwangi mendidik Prabu Surawisesa, seÂbagai orang Sunda, harus selalu siap berperang dan berkompetisi (Sinatria Pilih Tanding). Pegangannya adalah pekerti baik dan kejujuran. Oleh para juru pantun, pekerti baik yang diajarkan Prabu Siliwangi itu diterjemahkan dalam kalimat : andap asor pamÂakena, bubuden teu ieu aing. Berbasis akhlak dan buÂkan dengan sikap jumawa.