ARSITEKTUR masjid-masjid tua di Indonesia memiliki ciri khas lokal yang kental terlihat pada komponen-kompoÂnen bangunannya, meskipun sederhana. Ada asumsi bahwa arsitektur masjid di suatu tempat/wilayah dipengaruhi oleh arsitektural yang berkembang di tempat itu, sebelum Islam masuk. Termasuk masjid di Bogor. Benarkah?
Oleh: RIFKY SETIADI
[email protected]
Gairah menciptakan karya seni bangkit keÂtika raja atau penguasa muncul. Teori ini menÂjadi salah satu alasan mengapa di setiap wilayah memiliki arsiÂtektur masjid yag berbeda. TeoÂri yang disampaikan Wiyoso Yudoseputro (1986: 13) tersebut bisa diartikan karya cipta seni, termasuk arsitektur perlu ada rangsangan. Namun begitu, rupa-rupanya kondisi kebudayÂaan kurang menguntungkan pada waktu itu untuk mendiriÂkan bangunan-bangunan yang serba megah dan serba besar dengan nilai-nilai monumenÂtal. Sutjipto mengemukakan gagasan bahwa model masjid kuno di Indonesia berasal dari bangunan tradisional Jawa yang bernama pendopo (Dendapa). Istilah pendopo berasal dari kata mandapa dalam bahasa Sangsekerta yang mengacu pada suatu bagian dari kuil Hindu di India yang berbentuk persegi dan dibangtm langsung di atas tanah. Di Indonesia, arsitektur mandapa tersebut dimodifikasi menjadi sebuah ruang besar dan terbuka yang sering digunakan untuk menerÂima tamu yang kemudian dinamakan pendopo. Denah pendopo yang bujur sangkar itulah yang menjadi alasan bagi Sutjipto untuk menduganya seÂbagai model masjid-masjid tua di Indonesia. Mengenai atap yang bertingkat, rupanya dapat diwakili oleh bangunan Jawa lainnya, yang disebut rumah joglo. Tipe atap rumah joglo ini menjadi benih atap tumpang pada masjid. Alasan estetika kemudian menjadikan bentuk atap rumah joglo pada masjid memakai bentuk tingkat untuk mengimbangi ukuran ruangnya yang besar.
Selain masjid, bangunan lain yang digunakan untuk ibadah Islam, yaitu langgar, tajug, dan bale yang biasanya dibangun di atas tiang, masih terus mengikuti pola banguÂnan Indonesia kuno. Hal ini juga terdapat di daerah Pulau Jawa dengan rumah-rumahnya yang tidak lagi dibangun di atas tiang. Atap masjid terdiri dari beberapa tingkat yang meruncÂing dan di puncaknya terdapat hiasan. Mungkin atap masjid yang bersusun di Pulau Jawa itu merupakan sisa meru dari penÂgaruh arsitektur Bali. Kita dapat menyaksikannya pada masjid kuno di Banten, yang berasal dari zaman Kesultanan Banten, dan bentuknya yang sekarang ini mungkin berasal dari zaman abad 16. Atap masjid ini terdiri dari lima tingkat, tiga tingkat yang teratas sama kecilnya.
Selain atap, salah satu ciri khas masjid kuno di Jawa adalah tembok yang mengelilinginya. Hanya di kota-kota yang jarang terdapat tempat luas, aturan ini diabaikan. Tetapi pada masjid tipe Jawa yang murni, tempat ini mesti ada; yang memisahÂkan daerah suci dengan daerah kotor. Di depan ada pintu gerÂbang, bentuknya bermacam-macam. Kita dapat menemukan sebuah bentuk yang disebut `tembok bentar’, tidak beratap tetapi juga ada pintu gerbang yang beratap (Jawa=gapura; Sansekerta=gopura), yang keÂmudian kerapkali berkembang menjadi bentuk pintu gerbang yang tinggi. Serambi yang sekaÂrang dibangun pada tiap-tiap masjid, merupakan tambaÂhan path bangunan pokok. Ini terbukti, karena adanya atap tersendiri yang tidak mempuÂnyai hubungan dengan masjid. Juga yang merupakan jalan maÂsuk ke dalam. Suatu yang pentÂing ialah bahwa pemerian lama tidak pemah menyebut adanya serambi.
Kemungkinan besar menÂara tertua di Pulau Jawa berada di Banten. Sebuah menara puÂtih tidak ramping bersegi-segi berclin di muka masjid KesulÂtanan Banten. Bangunan yang besar ini dilihat dari jauh mengÂingatkan kita pada sebuah banÂgunan menara soar Belanda. Menurut cerita, menara masjid tersebut dibangun oleh seorang arsitek Belanda yang bernarna Lucas Cardeel. Bentuk banÂgunan yang masih ada adalah tiamah (terletak di sebelah seÂlatan masjid) juga merupakan hasil serambi pada kebanyakan masjid di Jakarta. Di wilayah ini pengaruh bangsa Arab dalam soal keagamaan sangat besar, termasuk juga di Bogor. Juga di kota-kota lain tempat bangsa Arab mendirikan masjid sendiri dengan gaya mereka sendiri, tiÂdak ditemukan serambi.
Di Bogor, kawasan Empang merupakan salah satu kamÂpung atau pemukiman awal yang menjadi inti dari perÂtumbuhan Kota Bogor. Sejarah perkembangan kawasan yang cukup panjang serta adanya akulturasi budaya antara etÂnis Sunda dan etnis Arab sejak masa Kolonial Belanda menÂjadikan kawasan Empang sebÂagai kawasan pemukiman yang memiliki karakter khas dan keunikan budaya yang berbeda dengan pemukiman lain yang terdapat di Kota Bogor. AwalÂnya, kawasan Empang meruÂpakan bagian dari sebuah alun-alun luar Kota Pakuan yang membentang dari tepi Sungai Cisadane sampai ke CipakanciÂlan. Sejak masa Pemerintahan Belanda, kawasan Empang muÂlai membentuk pola-pola ruang yang menjadi dasar perkemÂbangan kawasan selanjutnya. Tahun 1754, pemerintah koloÂnial Belanda menjadikannya sebagai pusat pemerintahan Karesidenan Kampung Baru. Kebijakan wijkenstelsel mengÂkhususkan kawasan ini sebagai pemukiman bagi masyarakat etnis Arab.
Pada masa sekarang, kaÂwasan Empang berkembang seÂbagai kawasan pemukiman dan perdagangan dengan nilai sejaÂrah penting bagi perkembanÂgan Kota Bogor serta memiliki potensi budaya khas yang dapat dilihat pada keragaman corak arsitektur, aktivitas budaya dan keagamaan, serta aktivitas ekonomi yang kental dengan kebudayaan masyarakat Arab. Secara administratif kawasan ini berada di wilayah Kelurahan Empang, Kecamatan Bogor SeÂlatan, Kota Bogor.
Pengembangan tata ruÂang kawasan Empang tidak lepas dari arahan kebijaksaÂnaan Kota Bogor dan diarahÂkan untuk dapat mewujudkan fungsi Kecamatan Bogor SeÂlatan sebagai kawasan pemuÂkiman yang ditunjang oleh keÂgiatan perdagangan dan jasa serta merupakan kawasan konservasi ekologi sungai. HaÂsil identifikasi tatanan lanskap sejarah menunjukkan bahwa kawasan Empang memiliki karakteristik yang terbagi ke dalam tiga zona berdasarkan fungsi kawasan di masa lalu, yaitu zona I berupa zona pusat pemerintahan Kampung Baru (1754-1872) dengan pola ruÂang konsentrik yang berpusat pada alun-alun, zona II berupa zona pemukiman Arab dengan pola ruang linearkonsentrik menempatkan masjid sebagai pusat pemukiman, serta zona III berupa zona pemukiman pribumi dengan pola ruang linear yang tidak memiliki elÂemen lanskap sebagai pusat pemkiman dan berkembang sepanjang aliran sungai.
Identifikasi elemen lansÂkap sejarah kawasan Empang menghasilkan 32 elemen lanÂskap yang berperan dalam pembentukan karakter sejarah pada ketiga zona di kawasan Empang. Elemen lanskap sejaÂrah pembentuk zona I adalah Alun-alun Empang, Masjid Agung Empang, Pasar Bogor, Kediaman Resmi Bupati KamÂpung Baru, dan Kediaman ResÂmi Kapiten Arab. Elemen lansÂkap sejarah pembentuk zona II adalah Pemakaman Arab, MasÂjid At Taqwa, Masjid An Nur, Makam Habib Abdullah bin Mukhsin al Attas, serta banguÂnan rumah tinggal dengan corÂak bangunan khas di Pekojan (4 bangunan), Kaum (1 banguÂnan), dan Lolongok (6 banguÂnan). Sedangkan elemen lansÂkap sejarah pembentuk zona III adalah Makam Keluarga Dalem Shalawat, bangunan rumah tinggal dengan corak banguÂnan khas di Sadane (10 banguÂnan), dan Bendungan Empang. Mereka berpendapat bahwa kawasan ini memiliki karakter sebagai pemukiman Arab denÂgan masjid dan makam sebagai landmark.
Masjid Agung Empang (Masjid-At-Thohiriyah) disebut sebagai masjid tertua di wilayah ini. Tak susah menemukan masjid ini. Letaknya tak jauh setelah memasuki Jalan EmÂpang, atau lebih tepatnya di sisi timur alun-alun. Masjid ini sudah berdiri dua abad yang lalu, didirikan tahun 1817. Tak berlebihan, jika masjid ini diseÂbut-sebut sebagai masjid tua di Kota Bogor. Dulu masjid ini didirikan oleh RH Muhammad Thohir, cucu dari Dalem CikunÂdul Cianjur (R. Arya WiratanuÂdatar II). Beliau mewakafkan sebidang tanah yang dimiliki untuk pendirian masjid ini. Tapi beliau meninggal dunia dan pembangunan masjid diÂlanjutkan oleh cucunya, Raden Arya Wiranata, atau lebih dikeÂnal dengan Dalem Wiranata atau Dalem Sepuh.
Tapi, pengamat mencatat Masjid Al Mustofa yang terleÂtak di Bagian Utara Kota Bogor tepatnya di wilayah Kampung Bantarjati Kaum, Kelurahan Bantarjatii, Kecamatan Bogor Utara adalah salah satu masjid tertua di Kota Bogor. Masjid Al-Mustofa yang di perkirakan dibangun pada abad ke-17 itu dapat dilihat berdasarkan struktur bangunan yang sudah menggunakan bata merah.
Masjid Al-Mustofa didirikan sekitar tahun 1740-an. “Masjid tersebut bisa dipastikan tertua karena dapat dilihat dari strukÂtur bangunan dan Toponini, asal usul nama serta topografis letak geografisnya,†ungkap Rachmat Iskandar, salah satu pemerhati benda-benda Cagar Budaya (BCB). Masjid Al-MusÂtofa juga memiliki Al Quran tuÂlis tangan di atas kulit binatang yang kini tersimpan di masjid tersebut yang diperkirakan di tulis pada ratusan tahun silam. “Namun sampai saat ini belum diketahui siapa penulis dan perkiraan tahun penulisanÂnya karena belum dilakukan penelitian terhadap tulisan Al-Quran tersebut,â€lanjutnya. Sedangkan Masjid Empang sendiri diterangkan Rachmat, dibangun di pusat kota pada jaman kolonial Belanda sekitar abad ke 18 yakni sekitar tahun 1800an. Selain itu, dilihat dari struktur bangunan yang ada di masjid empang sudah memiliki struktur betonisasi yang mulai di gunakan pada abd ke delaÂpan belas,†terangnya.
Rachmat menuturkan, pada jaman kolonial Belanda dikenal adanya tiga kawasan pemukiman bergengsi kala itu di Bogor. Menurut Jeams Loudon ada tiga kawasan pemukiman yaitu, Kedung HaÂlang Land, Empang, Kawasan China. Rachmat menandasÂkan, dengan perbandingan kedua masjid bersejarah itu, Masjid Al-Mustofa merupakan masjid tertua yang ada di Kota Bogor. (*)