DEPOK, TODAY—Bank Dunia kembali menyatakan kekhawatiran atas rapuhÂnya pertumbuhan ekonomi dunia yang disertai dengan gejolak.
Direktur Operasional Bank Dunia Sri Mulyani InÂdrawati, mengatakan, perÂekonomian negara berkemÂbang, termasuk Indonesia, tengah menghadapi tanÂtangan berat. “Padahal, seÂlama dua dekade terakhir, negara berkembang meruÂpakan mesin pertumbuÂhan ekonomi dunia,†ujar mantan Menteri Keuangan tersebut pada seminar di Fakultas Ekonomi UniverÂsitas Indonesia Depok, SeÂlasa (26/7/2016).
Bank Dunia sendiÂri, sambung dia, sudah melakukan revisi proyeksi pertumbuhan ekonomi duÂnia berkali-kali. Terakhir, Bank Dunia memangkas pertumbuhan ekonomi duÂnia tahun ini menjadi hanya 2,4 persen dari sebelumnya yang sebesar 2,9 persen.
Sri Mulyani mengibaratÂkan, tantangan tersebut sebagai perfect storm alias badai sempurna.
Perfect storm ini datang dalam bentuk lemahnya ekonomi dan perdaÂgangan dunia, perlambatan, dan peÂrubahan struktural ekonomi China disertai rendahnya harga-harga koÂmoditas. “Melambatnya pertumbuÂhan ekonomi di China dan perubaÂhan struktural ekonomi China sangat memengaruhi ekonomi dunia,†terang dia.
Negara pengekspor komoditas mendapatkan hantaman paling keras dari situasi ini. Sebanyak 40 persen pemangkasan pertumbuhan ekonomi dunia berasal dari kelompok negara tersebut.
Ia menceritakan, dari kunjunganÂnya ke Argentina pekan lalu, pelemaÂhan ekspor telah merontokkan ekoÂnomi Argentina yang memiliki porsi ekspor ke China hingga 35 persen. “Kondisi serupa juga dialami negara-negara di Amerika Latin, Afrika, Asia Tengah, serta Asia Tenggara, tak terÂkecuali Indonesia, di mana China menerima 11 persen dari ekspor Indonesia,†imbuh Sri Mulyani.
Tak sampai di situ, hantaman perÂfect storm, lanjut dia, juga memengaÂruhi aliran modal ke negara berkemÂbang, meluasnya konflik dan serangan terorisme, termasuk perubahan iklim global. Ia menilai, diperlukan kerja sama yang semakin erat dan koorÂdinasi kebijakan antar negara untuk menghadapi perfect storm dalam perekonomian global ini. “Kerja sama ini dapat membangun kembali keperÂcayaan dan menghilangkan halangan perdagangan dan investasi untuk menunjang produktivitas dan memuÂlihkan pertumbuhan ekonomi,†katÂanya.
Sayangnya, yang terjadi di duÂnia malah sebaliknya. Sri Mulyani mengungkapkan, kerja sama antar negara justru berada di titik terendah di sepanjang sejarah. Sebagai bukti, keluarnya Inggris dari persekutuan Uni Eropa atau dikenal dengan istilah Brexit.
Sri Mulyani juga menyatakan, meÂningkatnya ketimpangan masyarakat Indonesia merupakan kekhawatiran terbesarnya saat ini. Hal tersebut tercermin dari melebarnya angka inÂdikator kesenjangan (koefisien gini) Indonesia secara tajam selama periÂode 2003-2014 dari 0,3 menjadi 0,41. “Suatu negara yang memiliki koefisien gini yang sangat tinggi atau ketimpanÂgan yang sangat tinggi bisa melemahÂkan kemampuan negara itu untuk tumbuh dalam jangka panjang,†ujarnya.