SERING pasangan calon suami istri yang berbeda agama menghadapi berbagai kesulitan ketika harus melangsungkan perkawinan, dimana masing – masing calon masih bersikukuh pada agama dan kepercayaannya sendiri.
BAMBANG SUDARSONO
Pemerhati Hukum dan HAM
Ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merumuskan, bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing – masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Berdasarkan rumusan di atas, maka pasangan calon suami isteri harus satu agama dan kepercayaan pada saat mereka melangsungkan perkawinan. Namun demikian, masih ada upaya hukum lain yang bisa ditempuh untuk mengatasi perkawinan beda agama. PerÂtama, Bila ada cukup biaya tidak ada salahnya jika melangsungkan perkawinanan di luar negeri. LebÂih tepatnya di suatu negara yang memiliki hukum perkawinan yang tidak mempersoalkan agama yang dianut masing- masing calon pasÂangan suami istri, misalnya AustraÂlia atau Singapura.
Pasal 56 ayat (1) UU PerkawiÂnan menegaskan, perkawinan yang dilangsungkan diluar Indonesia antara dua orang warganegara InÂdonesia atau seorang warganegara Indonesia dengan warganegara asÂing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara dimana perkawinan itu diÂlangsungkan, dan bagi warganegÂara Indonesia tidak melanggar ketentuan undang-undang ini. Setelah perkawinan itu dilangsungÂkan maka dalam waktu satu tahun setelah suami isteri itu kembali ke wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarÂkan di Kantor Pencatatan PerkawiÂnan tempat tinggal mereka.
Kedua, berdasarkan yurisÂprudensi Mahkamah Agung (MA), yaitu Putusan MA No. 1400 K/ Pdt/1986. Putusan tersebut dianÂtaranya menyatakan bahwa KanÂtor Catatan Sipil diperkenankan untuk melangsungkan perkawinan beda agama. Ketiga, mengajukan permohonan penetapan pengadiÂlan untuk bisa dilangsungkannya Kawin Beda Agama.
Namun, bila dilihat dari aspek non yuridis, bahwa esensi perkawiÂnan itu bukan hanya sekedar uruÂsan normatif hukum positip, juga persoalan kehidupan berkeluarga yang harus dipertahankan secara langgeng dan bahagia. Maka, tidak ada salahnya bila calon pasangan suami istri mempertimbangkan masak-masak terlebih dulu sebeÂlum melangsungkan perkawinan beda agama. (*)