Untitled-12MENJADI pemersatu rakyat adalah kenis­cayaan pemimpin di Pajajaran, khasnya di Pakuan. Ini prinsip yang saya yakini. Ter­utama, karena saya tak menemukan satu­pun referensi, bahwa pemimpin Pajajaran (Sunda) memicu kon­flik. Bahkan, ketika anak keturunannya terbakar guneman (rumors), pun yang diajarkan adalah pengendalian diri.

Oleh : Bang Sem Haesy

ITULAH sebabnya, Prabu Surawis­esa tidak mengerahkan satupun pasukannya untuk menyerang pas­ukan saudara-saudaranya dari Cire­bon dan Banten. Lantas, bagaimana halnya dengan kisah Perang Bubat yang kemudian menjadi mitos itu?

Sampai saya menulis artikel ini, saya masih berkeyakinan, ek­splorasi kisah konflik Sunda – Jawa itu, sengaja dibesar-besarkan oleh Belanda yang ingin menguasai Nu­santara lebih lama. Ini bagian dari politik devide et impera. Boleh jadi, para ilmuwan sejarah menel­iti lebih mendalam hal ini.

Keyakinan saya adalah : cerita perseteruan itu bagian dari politik penjajah. Logika saya sederhana saja. Pertama, merujuk pada Pu­puh III yang dikocap dalam lang­gam sinom, tampak kepribadian orang Sunda yang santun, tapi ksatria. Meski punya pengalaman menang perang, tak pernah jumawa. Kepada Gadjah Mada, utusan Pajajaran – ketika hen­dak mengambil pulang Diah Pitaloka – mengatakan, “Ngong iki mangkw angaturana sira sang rajapu­tri, adulurana bakti, mangkana rakwa karěpmu, pada lan Nusantara dede Sunda iki, durung-durung ngong iki andap ring yuda.” (Kita ingin membawa Tuan Putri, sementara engkau menginginkan kami harus membawa bakti? Sama seperti dari Nusanta­ra. Kita lain, kita orang Sunda, belum pernah kami kalah berperang).

BACA JUGA :  Ampuh Turunkan Berat Badan, Ini Dia 10 Minuman Diet Alami dan Sehat

Penolakan Pajajaran atas kehendak takluk den­gan memberi bakti kepada kerajaan yang ‘mengua­sai Nusantara’ ditampakkan pula dengan sikap yang terjaga, tetapi tegas. “Mong kari sasisih bahune wong Sunda, ra mpak kang kanan keri, norengsun ahulap, rinbateng paprangan, srĕngĕn si rakryan apatih, kaya siniwak, karnasula angapi. (Meski­pun tinggal satu tangan kami, atau hancur sebelah kanan dan kiri, kami tak akan terpengaruh).

Bagian ini menarik perhatian saya, meskipun merujuk pada Kidung Sunda dan Kidung Sunday­ana, tentang peristiwa perang Bubat yang ditulis di kitab Pararaton — yang sudah diubah-suai atas permintaan penjajah — termasuk pemikiran CC Berg yang menekuk begitu saja kedua kidung, itu seolah-olah benar. Apalagi, belakangan ketahuan. JLA Brandes disangka memalsukan kitab Pararaton. Artinya kisah Perang Bubat hanyalah rekayasa Be­landa untuk memecah belah bangsa ini.

BACA JUGA :  Timnas Indonesia Menuju Vietnam, Lanjutan Kualifikasi Piala Dunia 2026

Melalui pelemahan itu, penjajah Belanda beru­saha kuat memperkokoh dominasinya atas Nusan­tara untuk menguasai sumberdaya alam dan ekono­mi untuk kepentingan mereka. Pemalsuan kisah Kidung Sunda, Kidung Sundayana, dan Pararaton itu merupakan bagian dari upaya ‘penghancuran mindset’ keluhuran budi orang Jawa dan orang Sunda. Antara lain dengan mereduksi sikap ksatria orang Jawa dan orang Sunda.

Bila hendak direnungkan ke dalam dimensi wak­tu kini dan masa depan, sikap demikian menjadi penting. Baik dalam konteks menjalin kerjasama di lingkungan internal bangsa dengan spirit kebang­saan. Maupun dalam konteks kerjasama interna­sional.

Kita terbuka dengan kerjasama yang membawa manfaat dan maslahat bagi rakyat, khususnya dalam kerjasama ekonomi, sosial, dan budaya. Tetapi, kita tidak harus punya sikap, tidak akan mengorbankan jati diri dan marwah kebangsaan kita untuk kepent­ingan itu.

Secara spesifik, umpamanya, bisa dikemukakan dengan kalimat, investor asing silakan menanam­kan modalnya di sini, tetapi keberadaannya harus membawa manfaat bagi lingkungan sekitar.

============================================================
============================================================
============================================================