MENJADI pemersatu rakyat adalah kenisÂcayaan pemimpin di Pajajaran, khasnya di Pakuan. Ini prinsip yang saya yakini. TerÂutama, karena saya tak menemukan satuÂpun referensi, bahwa pemimpin Pajajaran (Sunda) memicu konÂflik. Bahkan, ketika anak keturunannya terbakar guneman (rumors), pun yang diajarkan adalah pengendalian diri.
Oleh :Â Bang Sem Haesy
ITULAH sebabnya, Prabu SurawisÂesa tidak mengerahkan satupun pasukannya untuk menyerang pasÂukan saudara-saudaranya dari CireÂbon dan Banten. Lantas, bagaimana halnya dengan kisah Perang Bubat yang kemudian menjadi mitos itu?
Sampai saya menulis artikel ini, saya masih berkeyakinan, ekÂsplorasi kisah konflik Sunda – Jawa itu, sengaja dibesar-besarkan oleh Belanda yang ingin menguasai NuÂsantara lebih lama. Ini bagian dari politik devide et impera. Boleh jadi, para ilmuwan sejarah menelÂiti lebih mendalam hal ini.
Keyakinan saya adalah : cerita perseteruan itu bagian dari politik penjajah. Logika saya sederhana saja. Pertama, merujuk pada PuÂpuh III yang dikocap dalam langÂgam sinom, tampak kepribadian orang Sunda yang santun, tapi ksatria. Meski punya pengalaman menang perang, tak pernah jumawa. Kepada Gadjah Mada, utusan Pajajaran – ketika henÂdak mengambil pulang Diah Pitaloka – mengatakan, “Ngong iki mangkw angaturana sira sang rajapuÂtri, adulurana bakti, mangkana rakwa karÄ›pmu, pada lan Nusantara dede Sunda iki, durung-durung ngong iki andap ring yuda.†(Kita ingin membawa Tuan Putri, sementara engkau menginginkan kami harus membawa bakti? Sama seperti dari NusantaÂra. Kita lain, kita orang Sunda, belum pernah kami kalah berperang).
Penolakan Pajajaran atas kehendak takluk denÂgan memberi bakti kepada kerajaan yang ‘menguaÂsai Nusantara’ ditampakkan pula dengan sikap yang terjaga, tetapi tegas. “Mong kari sasisih bahune wong Sunda, ra mpak kang kanan keri, norengsun ahulap, rinbateng paprangan, srÄ•ngÄ•n si rakryan apatih, kaya siniwak, karnasula angapi. (MeskiÂpun tinggal satu tangan kami, atau hancur sebelah kanan dan kiri, kami tak akan terpengaruh).
Bagian ini menarik perhatian saya, meskipun merujuk pada Kidung Sunda dan Kidung SundayÂana, tentang peristiwa perang Bubat yang ditulis di kitab Pararaton — yang sudah diubah-suai atas permintaan penjajah — termasuk pemikiran CC Berg yang menekuk begitu saja kedua kidung, itu seolah-olah benar. Apalagi, belakangan ketahuan. JLA Brandes disangka memalsukan kitab Pararaton. Artinya kisah Perang Bubat hanyalah rekayasa BeÂlanda untuk memecah belah bangsa ini.
Melalui pelemahan itu, penjajah Belanda beruÂsaha kuat memperkokoh dominasinya atas NusanÂtara untuk menguasai sumberdaya alam dan ekonoÂmi untuk kepentingan mereka. Pemalsuan kisah Kidung Sunda, Kidung Sundayana, dan Pararaton itu merupakan bagian dari upaya ‘penghancuran mindset’ keluhuran budi orang Jawa dan orang Sunda. Antara lain dengan mereduksi sikap ksatria orang Jawa dan orang Sunda.
Bila hendak direnungkan ke dalam dimensi wakÂtu kini dan masa depan, sikap demikian menjadi penting. Baik dalam konteks menjalin kerjasama di lingkungan internal bangsa dengan spirit kebangÂsaan. Maupun dalam konteks kerjasama internaÂsional.
Kita terbuka dengan kerjasama yang membawa manfaat dan maslahat bagi rakyat, khususnya dalam kerjasama ekonomi, sosial, dan budaya. Tetapi, kita tidak harus punya sikap, tidak akan mengorbankan jati diri dan marwah kebangsaan kita untuk kepentÂingan itu.
Secara spesifik, umpamanya, bisa dikemukakan dengan kalimat, investor asing silakan menanamÂkan modalnya di sini, tetapi keberadaannya harus membawa manfaat bagi lingkungan sekitar.