KESADARAN, wacana dan daya kritis terhadap ruang kota, dibangun bersama oleh para perupa dan seniman Bogor. Melalui even Bogor Art Movement 2015, mereka mencoba menarik gerak bebas kesenian di ruang publik. Semangatbaru ini, sekaligus menjadi ciri perkembangan seni rupa di Kota Bogor.
Oleh: RIFKY SETIADI | [email protected]
Perjalanan kota-kota besar di Indonesia, biasanya berbasis pada kekuatan sejarah yang dibentuk oleh kepentingan budaya hingÂga ekonomi. Di Bogor, kekuatan multietnis ikut menjadi pemÂbentuk kota yang dimanifestaÂsikan pada arsitektur, tata kota dan aliran sungai, keragaman kuliner, bahasa, kesenian, sereÂmoni hingga aturan dan hukum yang seluruhnya membentuk identitas masyarakat.
Sejarah kota mulai dari pra-kolonial hingga kolonial, palingtidak, meninggalkan fakta arkeologisbagaimana logika dan akal sehat membangun kota sebagai ruang mobilitas manusia untuk menjalankan multiaktivitas dan sosial. Di kota, interaksi dijalankan dalam konteks norma, sistem, keyaÂkinan dan nilai-nilai yang tenÂtunya memberi dinamikanya sendiri. Agama, pemerintahan dan terutama ekonomi meruÂpakan tiga aspek interaksi yang umumnya paling menonjol unÂtuk dikenali. Kota sebagai ruang dan tempat interaksi yang serba multi, tentu infrastruktur penÂdukungnya akan sangat berbeÂda dengan desa yang masyaraÂkatnya relatif homogen.
Mencari Karakter Kota
Pasca kolonial, terutama masa Orde Baru, perubahan keÂbijakan ekonomi terbuka baik dalam penanaman modal unÂtuk produksi dan distribusi serÂta persaingan, mengubah nilai yang telah terbentuk sebelumnya, banyak menghilangkan karakter kota sehingga setiap kota memiliki kesamaan yang sebenarnya seragam. AkibatÂnya, pertumbuhan itu tidak memberi identitas bagi maÂsyarakatnya.
Mall adalah salah satu conÂtohnya sebagai tempat menjual barang yang sama bisa diteÂmukan di berbagai sudut kota dan di setiap kota manapun, kemudian wahana hiburan pun menjadi penanda keseragaman. Dalam konteks pembentukan kota, perubahan arah pemÂbangunan ekonomi itu menÂempatkan artefak sejarah kota menjadi situs selain pajangan semata yang cenderung sulit untuk dipahami nilai kesejaÂrahannya, yang paling diruÂgikan adalah kota menjadi ruang eksploitasi ekonomi uang yang jauh dari pemahaÂman budaya sehingga konflik seperti perebutan ruang, penÂgakuan sosial dan penyusutan identitas seolah-olah suatu keÂwajaran.
Pada akhirnya kota meÂnumbuhkan keliaran tanpa nilai. Beberapa contoh yang bisa dikedepankan seperti pembangunan mall, lokasi hiburan, pembangunan pasÂar, tempat peribadatan hingga tempat tinggal yang tumpang tindih ditambah pengelolaan aliran sungai yang dianggap sebagai bagian belakang banguÂnan yang menyebabkan sungai menjadi tempat pembuangan untuk apapun. Belum lagi diÂbebani dengan pelanggaran ruang seperti lahan publik atau bantaran sungai yang dijadikan kawasan hunian kumuh yang dilegalkan oleh aliran listrik dan air konsumsi, serta fasilitas umum yang dijadikan lahan keÂpentingan perorangan hingga kelompok.
Di tengah situasi itu, kita bisa melihat bagaimana resÂpek warga kota mengalami keÂmunduran, padahal bila kita memahami istilah individualÂisme. Seharusnya kota sangat dijaga karena individualisme diciptakan untuk respek keÂpada orang lain termasuk lingkungannya, bahkan sejarah.
Dalam realitas kota yang sekarang kita tinggali, sudah saatnya dipikirkan bagaimana sikap dan peran kita dalam membangun kota tanpa melaÂhirkan konflik baru. Ada beberapacara, yang tentunya harus digarap lebih rinci, seperÂti pola transmisi yaitu menemÂpatkan sejarah, masa lalu dan tradisi untuk membangun keÂkinian dan moderen. Itu bukan pekerjaan mudah, tapi tentu haÂrus diupayakan dalam konteks budaya sehingga hal apapun yang tumbuh di dalamnya akan memiliki karakter dan nilai jual. Pendekatan edukatif kepada warga dengan menekankan aspek logika dan akal sehat, masih memiliki kemungkinan besar untuk mengembalikan kesadarandan sikap terhadap kota yang ditinggali.
Kesenian seperti seni rupa merupakan bagian dari media untuk membangun kekayaan artistik dan estetik masyarakat yang dalam jangka panjang. KeÂhadirannya, diharapkan memÂberi peran dalam keindahan kota. Seni rupa yang saat ini kita jalani, seperti seni-seni tradisi yang kita miliki, akan menjadi milik masyarakat bila ditumÂbuhkan dari issue di lingkungan sekitar kita, hal itu yang menÂjadi faktor penentu bobot muaÂtan karya. Pemikiran sederhana itu mendorong para seniman untuk menghadirkan pembahaÂruan dalam kekaryaan, merespon ruang publik, mendekatÂkan diri kepada masyarakat, yang selama ini sebetulnya suÂdah menjadi salah satu ciri dan bentuk pemikiran dan bagian dari perkembangan seni rupa. Karenanya, dalam skala kota, BAM 2015 diharapkan sebagai langkah awal untuk memperÂlihatkan hal baru di dunia seni rupa yang selama ini belum diÂhadirkan para seniman Bogor.
Tak hanya itu, BAM 2015 juga menjadi ciri keliaran seni rupa Bogor yang mulai menyenÂtuh berbagai media sebagai alÂternatif, termasuk ruang publik. Dulu, para seniman bak seorang empu yang gemar menyepi demi mencari inspirasi, kemuÂdian menempa karya di sanggar yang hening. Kini, perupa mulai melebur dalam geliat kehidupan kota. Mereka menggiatkan kerja kesenian sebagai praksis sosial. Gelaran itu akan berlangsung pada 10-14 Oktober 2015 di tiga tempat sekaligus: Underpass Kebun Raya Bogor (Venue A), Selasar Tugu Kujang/Underpass (Venue B) dan Lantai 4 Botani Square (Venue C). Even ini merupakan program stimulus dari Dinas Kebudayaan, PariÂwisata dan Ekonomi Kreatif (Disbuparekraf) Kota Bogor yang digelar oleh komunitas RUANG 8 dan Komisi Bidang Seni Rupa DK3B Kota Bogor.
Akan ada puluhan seniÂman yang terlibat dalam proyek seni ini. Sebagian dari mereka akan bergerak menÂgubah wajah Underpass KeÂbon Raya Bogor dengan berÂbagai karya instalasi denganmenggunakan elemen gabunÂgan berbagai media yang eksloratif. Sementara, di seÂlasar Tugu Kujang atau selasar Underpass, akan digelar berÂbagai bentuk kesenian mulai dari performing, musik, sastra hingga tradisi. Sedangkan di Botani Square akan ditawarkan ratusan gaya lukis para perupa Bogor. Lewat cara ini, masyaraÂkat luas akan lebih mudah meÂnikmati karya-karya seni. Karya seni tak lagi dipingitdi studio pribadi atau ruang galeri dan museum, melainkan disebar ke tengah masyarakat. Seni pun bakal dinikmati khalayak luas.
Kegiatan yang dimotori oleh RUANG 8 ini mengusung sebuah tema besar “Menilik Ruang Publikâ€. RUANG 8 meruÂpakan ini termasuk salah satu kelompok muda di Bogor yang mengusung arus baru dalam berkesenian. RUANG 8 menÂjadi motor dalam pengorganisasian kesenian, publikasi dan konsisten melahirkan berbagai gerakan baru kesenian. KomuÂnitas ini tumbuh dalam habitat kota, menggalang diri bersama jejaring komunitas lainnya, mendorong dan menggarap karya berbasis urban, dan meÂnyajikannya di ruang publik kota. Cara seperti ini tak dilakuÂkan para seniman sebelumnya yang cenderung berkarya seÂcara individual dan berjarak dari masyarakat. Komunitas dengan spirit serupa tumbuh di Kota Bogor, sebut saja Arteri, Katapel, Bandring, Komunitas Malam Puisi, dan masih banyak lagi.
Pergeseran
Karakteristik generasi baru ini memang berbeda dari apa yang dijalankan para seniman dekade-dekade sebelumnya. Tahun 1930-an hingga 1960-an, misalnya, seni rupa Indonesia banyak didorong sanggar-sangÂgar, seperti Persagi (Persatuan Ahli Gambar) atau SIM (SeniÂman Indonesia Muda), atau Sanggar Bambu. Meski berkeÂlompok, para seniman tetap bekerja dengan orientasi memÂperkuat dirinya sebagai seniÂman dan karyanya secara indiÂvidual, seperti pelukis Affandi atau S Sudjojono.
Tak boleh dilupakan. GerÂakan Seni Rupa Baru (GSRB) juga muncul pada tahun 1975 yang pada dasarnya memiliki cita-cita bahwa seni rupa harus menyuarakan lingkungannya, kondisi masyarakatnya dan menjadi refektor zamannya. Seni Rupa baru mendeklaraÂsikan manifesto GSRB sebagai salah satu penanda dari awal mula kelahiran dari seni rupa kontemporer di Indonesia. MerÂeka membentuk gerakan seni rupa baru di Indonesia sebagai sebuah usaha dari sekelomÂpok akademisi atau mahasiswa seni rupa yang menentang moÂnopoli seni oleh sekelompok seniman saja. Monopoli di sini adalah terlalu kuatnya pengaruh modern dari seniman senior mereka yang sekaligus menjadi pengajar mereka di kampus, yang dalam beberapa hal mengekang kemungkinan akan bentuk-bentuk baru dari kesenian itu sendiri.
Pada dasarnya kelompok seniman ini sangat menentang sikap spesialisasi dalam karya seni rupa dan aliran-aliran seni yang selama ini dikelompokÂkan. Termasuk dalam desain yang digagas sebagai satu ungkapan utuh. Perlawanan seni rupa baru ini muncul sebagai bentuk protes keras terhadap pakar seni rupa atas penjurian karya seni lukis terbaik pada tahun 1974 yang dikenal sebagai (Desember Hitam). Hal ini memberikan dampak bagi penÂdidikan seni rupa yang selama ini terlalu feodalis dan elitis.
Tahun 1980-an, cara berkeÂsenian bergeser. Lewat perupa asal Tulungagung, Moelyono, kita mengenal apa yang disebut â€seni rupa penyadaranâ€. Dia bergerilya menggalang aktivitas seni rakyat di desa. Tahun 1990-an, sejumlah seniman berkeÂlompok untuk membumikan seni di tengah publik. Semangat ini antara lain diwakili Apotik Komik dan Taring Padi di YoÂgyakarta, yang aktif membuat mural, poster, atau grafiti. ReÂformasi 1998 mengubah banyak hal. Seiring runtuhnya rezim Orde Baru dan kian terbukanya pintu demokrasi serta didukung teknologi informasi canggih, bermunculan komunitas seni baru yang disebut tadi. Mereka berkesenian dengan cara yang lebih dekat, baru dan terbuka.
Di masa kini, di Kota Bogor, gerakan serupa yang menguÂsung perubahan lahir sebagai bagian dari pembaharuan atas gaya lama berpameran, berwacana, termasuk bentuk karya yang ditawarkan. Melalui even BAM 2015, para seniman mulai menawarkan gerakan yang agresif dan mulai melihat bahwa karya seni tak lagi diguÂmuli sebagai perkara artistik, termasuk juga tidak membatasi ruang gerak, bentuk dan media seni, sekaligus menjadi media untuk mendorong perubahan. Melalui even ini, seni menjadi media yang luwes untuk memÂperjuangkan terwujudnya keÂhidupan kota yang lebih baik. Seni hidup di tengah kehidupan kota, menyerap kegelisahan warga, lalu menyajikannya seÂbagai karya di ruang publik. Melalui even ini, kita berharap menemukan keajaiban dalam semangat seni urban di Kota Bogor. Mari kita tunggu. (*)