Oleh: NURMANSYAH
Mahasiswa program Pasca Sarjana Universitas Paramadina
Jurusan Hubungan Internasional, tenaga ahli DPR FPG.
Terkait peritiwa terseÂbut pakar kelautan InÂdonesia Hasyim Jalal pernah mengungkapÂkan â€Jika pada Sumpah Pemuda (1928) rakyat Indonesia menyatakan diri sebagai suatu bangsa, dan pada 17 Agustus 1945 diproklamasikan kemerdekaan bangsa, maka pada deklasrasi Djuanda wilayah Indonesia dinÂyatakan sebagai tanah air.â€
Deklarasi Djuanda merupakan langkah maju bangsa Indonesia dalam untuk menyatukan dan menjaga keutuhan wilayah NKRI. Lautan tidak lagi mejadi pemisah akan tetapi justru menjadi pemerÂsatu pulau-pulau di wilayah NKRI. Kerangka persatuan yang ditegakÂkan, menjadi langkah awal pemÂbangunan untuk mensejahterakan kehidupan rakyat. Saat ini perisÂtiwa tersebut diperingati sebagai hari Nusantara, yang jatuh pada setiap tanggal 13 Desember.
Peristiwa kedua adalah diakuinya Deklarasi Djuanda oleh dunia Internasional dalam KonÂvensi Hukum Laut Internasional PBB (United Nations Conference on the Law of the Sea – UNCLOS) tanggal 10 Desember 1982 di MonÂtego Bay, Jamaika.
Pasca pengakuan tersebut luas wilayah laut Indonesia bertambah puluhan kali lipat dari + 100 ribu km2 menjadi + 5,8 juta km2 dan menjadikan Indonesia sebagai negara kepulauan yang memilki wilayah laut terluas di dunia.
UNCLOS 1982 telah mengakui hak Indonesia atas laut teritorial sepanjang 12 mil dari garis pantai, serta seluruh wilayah perairan/ lautan yang berada, mengantarai dan menghubungkan pulau-pulau Nusantara sebagai wilayah yang berada di bawah kedaulatan NKRI.
Disamping itu Indonesia juga diberikan hak-hak berdaulat atas sumber daya alam (SDA) dan yurisÂdiksi lainnya di Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) sejauh 200 mil dari garis pantai, dan Landas Kontinen (wilayah dasar laut) serta perpanÂjangan alaminya.
Hak pengelolaan atas wilayah ZEE semakin menambah besar poÂtensi kekayaan alam hayati bangsa Indonesia khususnya di sektor perikanan. Bagaimana tidak, hamÂpir 90 persen hasil tangkapan ikan dunia dihasilkan dari ZEE.
Jika potensi tersebut dikelola seÂcara optimal, seharusnya bangsa InÂdonesia bisa mewujudkan cita-cita Deklarasi Djuanda untuk menyatuÂkan Nusantara dan mejadikan laut sebagai sumber kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Strategi Kebijakan Diplomasi di ZEE
Untuk mendapatkan kekayaan yang terpendam di hamparan luas laut Nusantara, Pemerintah IndoÂnesia membutuhkan instrumen berupa kebijakan dan diplomasi agar kepentingan nasional bangsa mewujudkan laut sebagai sumber kesejahteraan bisa tercapai.
Oleh sebab itu, kebijakan pemÂbangunan Indonesia ke depan perÂlu memperhatikan dua hal pentÂing, yaitu ‘pola dasar’ dan ‘modal dasar pembangunan’.
Sebagai negara kepulauan, Indonesia memerlukan kebijakan pembangunan dengan Pola Dasar Pembangunan Negara Kepulauan. Karakteristik negara kepulauan harus dijadikan landasan penyuÂsunan pola dasar pembangunan di segala bidang, utamanya ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keÂamanan.
Sementara sebagai negara yang sebagian besar wilayahnya adalah laut beserta SDA yang meÂlimpah, laut harus dijadikan salah satu modal dasar pembangunan.
Arah kebijakan tersebut sejalan dengan cita-cita bangsa Indonesia untuk menjadi sebuah negara marÂitim yang maju, mandiri, dan koÂkoh seperti yang digariskan RPJPN 2005-2025. Dasar pemikiran ini harus dapat dituangkan ke dalam kerangka kebijakan kelautan nasiÂonal atau national ocean policy.
Sebagai konsekuensi dari UNCLOS 1982, Indonesia juga diÂtuntut menyelesaikan hak dan keÂwajiban dalam mengelola sumber daya kelautan berdasarkan ketenÂtuan UNCLOS 1982, antara lain menyelesaikan penataan batas maritim (perairan pedalaman, laut teritorial, zona tambahan, ZEE, dan landas kontinen). Karena itu, sangat penting bagi Indonesia unÂtuk meningkatkan diplomasi baik tingkat bilateral, regional maupun internasional.
Di tingkat bilateral, misalnya, Indonesia harus segera menyÂelasaikan penjanjian batas-batas maritim dengan negara-negara tetÂangga, agar tidak ada lagi overlap claiming.
Di wilayah laut (khususnya ZEE), Indonesia masih memiliki permasalahan perbatasan dengan negara tetangga yang masih belum diselesaikan secara tuntas, yaitu dengan Malaysia, Thailand, InÂdia, Singapura, Vietnam, Pilipina, Palau, Papua Nugini, dan Timor Leste. Satu-satunya negara tetangÂga yang sudah tidak ada masalah batas maritim dengan Indonesia adalah Australia.
Selain itu, mengingat luasnya wilayah Nusantara, dan terbaÂtasnya sarana pengamanan yang dimiliki Indonesia, pemerintah harus mengangkat isu pengaman wilayah laut Nusantara sebagai isu regional atau bahkan multirateral.
Mengingat wilayah laut NusanÂtara sangat strategis bagi navigasi internasional, gangguan dan ancaÂman yang terjadi akan berdampak besar bagi kelancaran perdaganÂgan internasional.
Akhirnya, dengan potensi kekayaan laut yang besar serta leÂtak geografis yang strategis sehaÂrusnya Indonesia mampu menjadi negara maritim besar di dunia. Karena itu diperlukan kebijakan yang komprehensif dan diplomasi yang solutif. ***
sumber: suarakarya.id