Opini-1-Abdul-Rohim-TualekaAngka kerugian beru­pa nyawa melayang, kerugian secara fisik dan material sangat besar. Itulah risiko kecelakaan di pesawat. Tingkat risikonya tinggi bila dibanding­kan dengan risiko moda trans­portasi yang lain. Karena tingkat risikonya tinggi maka penerapan aspek keselamatan di maskapai penerbangan harus menjadi pri­oritas utama. Sedikit saja terjadi kesalahan menyebabkan ke­celakaan maka akan memberikan efek yang luar biasa baik terha­dap animo penumpang maupun kerugian secara finansial yang bisa membuat maskapai bangk­rut. Kasus ini telah dialami oleh salah satu maskapai penerbangan di Indonesia.

Visi Selamat

Dalam tataran aspek kesela­matan penerbangan tampaknya maskapai masih berorientasi pada konsep-konsep keselamatan yang telah kedaluwarsa. Seperti human error yang sering dikamb­inghitamkan sebagai penyebab utama keselamatan. Manusialah, pemberi kontribusi 88% dari se­tiap kejadian kecelakaan.

Faktor human error ini meng­ganti aspek mechanical error yang pada 10 tahun sebelumnya sering dijadikan penyebab utama kecelakaan. Namun, tidak pernah disangka ibarat tubuh manusia, human error masih merupakan bagian terluar dari penyebab kecelakaan. Bagian yang lebih dalam dari tubuh manusia adalah perilaku, lebih dalam yaitu struk­tur sistem, lebih dalam lagi yaitu mental model, dan lebih dalam lagi yang merupakan inti penye­bab semua kejadian adalah visi. Daniel Kim (2010) mengatakan visi merupakan pengungkit uta­ma dari semua kejadian yang ada.

Adanya visi sehat dan selamat akan melahirkan kejadian yang selamat, begitu pula visi tidak se­hat dan tidak selamat akan men­jadikan kejadian tidak sehat atau tidak selamat. ”Anda adalah apa yang anda pikirkan,” ini adalah kata-kata mutiara yang sering di­ungkapkan. Kita dapat melihat bahwa banyak perusahaan, ter­masuk maskapai penerbangan yang tidak memiliki visi selamat.

Para maskapai banyak yang memiliki visi komersial, finan­sial, karena itulah yang dikejar. Target utama maskapai adalah jumlah seat atau tempat duduk yang digunakan, selalu diharap­kan 100%. Target tempat duduk memang wajar bagi suatu peru­sahaan maskapai. Namun, harus diketahui bahwa tingkat risiko kecelakaan pesawat (dilihat dari aspek peluang dan konsekuensi) termasuk tinggi. Tingginya risiko kecelakaan pesawat disebabkan faktor frekuensi bukan probabili­tas. Probabilitas kecelakaan me­mang rendah, namun konsekue­nsi kejadiannya, yakni kerugian secara finansial dan imej perusa­haan sangat besar. Ini yang sering menjadikan maskapai bangkrut. Untuk menurunkan konsekuensi kecelakaan dari tinggi menjadi rendah dibutuhkan kekuatan visi keselamatan maskapai.

BACA JUGA :  SAHUR OF THE ROAD RAWAN DENGAN TAWURAN PELAJAR

Dengan visi keselamatan maskapai akan memberikan anggaran yang tinggi untuk pro­gram keselamatan, membuat standar-standar keselamatan, serta berbagai pelatihan untuk meningkatkan kepatuhan terha­dap standar-standar keselamatan yang telah ditetapkan.

Apa yang pernah terjadi pada kasus hilangnya pesawat AirA­sia dengan nomor penerbangan QZ8501 adalah indikasi lemahnya program keselamatan dan ti­dak adanya kepatuhan terhadap standar keselamatan yang telah ditetapkan, bisa juga karena le­mahnya standar keselamatan penerbangan.

Telah jamak diketahui sep­erti yang disinyalir oleh para ahli penerbangan bahwa hilangnya pesawat tersebut karena tidak mampu keluar dari awan cumu­lonimbus yang sering dikatakan sebagai raja segala awan, penye­bab terjadinya kecelakaan pe­sawat. Bagaimanapun besarnya atau luasnya awan itu bukanlah menjadi akar utama terjadi ke­celakaan.

Penyebabnya yakni tidak ad­anya kepatuhan terhadap standar (yaitu harus men-delay penerban­gan karena adanya awan), karena begitu teridentifikasi keberadaan awan tersebut apalagi diketahui jarak awan sekitar puluhan mil maka seharusnya tidak bisa dija­dikan lintasan penerbangan. Pe­nyebab perilaku tidak patuh ter­hadap standar karena lemahnya struktur sistem maskapai dalam memberikan reward dan punish­ment (reinforcing factor), juga karena sikap atau mental model. Berdasarkan hasil riset, 85% men­tal model orang Indonesia adalah mental model negatif, termasuk di dalamnya mental model tidak selamat. Walaupun secara teknis pesawat layak terbang, adanya mental model tidak selamat seb­agai penyebab utama kecelakaan. Pemaksaan pesawat untuk ter­bang dalam kondisi cuaca darurat karena ada raja awan di area lint­asan pesawat adalah bagian dari mental model tidak selamat. Apa­lagi di atasnya terdapat pesawat lain yang juga melintas membuat pesawat mudah terjebak bila ter­bang dalam kondisi cuaca darurat. Mental model negatif disebabkan oleh visi negatif. Visi inilah yang menjadi akar dari setiap kejadian. Dengan visi selamat akan melahir­kan kejadian selamat.

BACA JUGA :  SAHUR OF THE ROAD RAWAN DENGAN TAWURAN PELAJAR

Dengan visi tidak selamat akan melahirkan kejadian tidak selamat, karena visi merupakan akar dari setiap kejadian maka visi maskapai sebenarnya harus menjadi fokus utama pemerintah dalam menilai kelayakan suatu maskapai. Visi selamat telah men­jadi visi bersama semua kary­awan maupun manajemen, ter­masuk pilot, kopilot, dan penjaga menara. Visi selamat merupakan doa selamat bila didengungkan secara terus menerus pada se­tiap individu di maskapai ketika berkomunikasi dengan seseorang maupun lebih akan melahirkan budaya selamat di maskapai. Lewat visi atau doa selamat ini, salah satu ketua ormas besar Islam di Indonesia mengimbau agar para penumpang pesawat senantiasa berzikir kepada Allah.

Budaya selamat adalah perilaku selamat yang dilak­sanakan secara otomatis, karena kejadiannya di bawah sadar. In­siden AirAsia mengindikasikan belum adanya budaya selamat di maskapai tersebut. Pada 2015 pemerintah Indonesia telah men­canangkan sebagai tahun Indo­nesia berbudaya K3. Adanya ke­celakaan pada maskapai AirAsia ini memberikan umpan balik ke­pada pemerintah bahwa Indone­sia memang belum berbudaya K3.

Pemerintah harus bekerja keras untuk menciptakan bu­daya K3 bagi semua lapisan ma­syarakat di Indonesia, khususnya perusahaan- perusahaan yang memiliki risiko tinggi terjadi ke­celakaan seperti maskapai pen­erbangan. Pemerintah harus fokus pada pembenahan visi pe­rusahaan agar semua perusahaan memiliki visi selamat. Visi itu harus menjadi visi bersama yang akan melahirkan budaya selamat. Visi selamat melahirkan mental model selamat, mental tersebut akan melahirkan struktur sistem selamat. Struktur sistem selamat akan melahirkan budaya selamat, budaya selamat akan melahirkan kejadian selamat. Dengan buda­ya selamat pada maskapai akan memberikan kenyamanan pada semua penumpang.

Ditulis oleh: Dosen Departemen Kesehatan dan Keselamatan Ker­ja Fakultas Kesehatan Masyara­kat Universitas Airlangga (*)

============================================================
============================================================
============================================================