MENCERMATI eksekusi mati bagi para Bandar NarÂkoba, menuai beberapa tanggapan baik yang pro mauÂpun yang kontra. Hukuman mati selalu menjadi kontroÂversialkarena selalu menjadi pijakan dalam persfektif HAM yang menyatakan bahwa hak atas hidup (right to life) bersifat absolut dan tidak boleh dicabut oleh siaÂpapun termasuk negara lewat instrumen hukum.
Lalu kemudian kenapa pemerintah menjalankan Hukuman mati bagi para bandar narkoba? Ada beÂberapa pertimbangan yakni (1) membuat jera para pengedarnya, (2) menyelamatkan nyawa ataupun koÂrban bahaya narkoba yang dalam setahun ada sekitar 8.000 nyawa yang melayang berdasarkan pernyataan pemerintah tentang bahaya narkoba.(3) mampu memÂperkecil ruang sempit peredaran narkoba, karena seorang bandar narkoba yang hanya dipenjara saja masih mampu mengendalikan jaringan mereka diluar. (4) mampu membuktikan bahwa Indonesia berdaulat secara hukum.
Perdagangan Narkoba telah menjadi ancaman serius bagi masyarakat internasional. Lalu kemudian beberapa kalangan intelektual dan segenap masyarakat bertanya apakah hukuman mati mampu menghentikan sindikat narkoba? Jawabannya adalah iya. Ekesekusi huÂkuman mati berdasarekan UU no. 35 thn 2009 menjadi sebuah upaya pemerintah melawan kejahatan internaÂsional meskipun hal tersebut tidak langsung memotong rantai perdagangan narkoba dalam waktu dekat karena selalu saja ada jaringan baru yang muncul.
Beberapa pertentangan terjadi dari kalangan dalam negeri maupun luar negeri mengecam tindakan eksekusi mati, namun asumsi bahwa menghukum mati bandar narkoba adalah alasan untuk menyelamatkan jutaan nyawa yang terancam menjadi sebuah argumen yang patut ditanggapi positif. Dalam hal ini ada perÂtimbangan jangka panjang dari segi kesehatan, mental dan moral bangsa.
Menarik mencermati eksekusi tahap kedua bandar narkoba pada rabu dini hari 29/04 adalah Myuran suÂkumaran (Australia), MArtin Anderson (Ghana), Zainal Abidin (Indonesia), Raheem Agbaje Salami, Sylvester Obiekwe Nwolise, Okwudili Oyantanze (Nigeria) dan Rodrigo Gularte (Brasil). Ada satu nama yang ditunda dieksekusi mati yakni Mary Jane dari Filipina karena mendapat beberapa protes yang objektif terkait Mary Jane yang kemudain adalah korban perdagangan maÂnusia (Human Traficking) dan bukian seorang bandar.